Cari Blog Ini

Selasa, 08 Desember 2015

Natal: Momen Memaknai Kembali Toleransi Beragama

NATAL: MOMEN MEMAKNAI KEMBALI TOLERANSI BERAGAMA


Hari ini umat Kristen di seluruh dunia merayakan kelahiran Yesus, Sang Juruselamat pembawa berita gembira. Ia lahir lebih kurang dua milenium yang lalu di Betlehem, Palestina, negeri yang ketika itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi dengan rajanya Herodes.

Kelahiran Yesus Sang Mesias telah lama ditunggu-tunggu oleh Bani Israil (orang Yahudi), sebagaimana telah dinubuatkan dalam Taurat, Kitab Daniel, maupun oleh perkataan Nabi Yahya (Yohanes Sang Pembaptis). Kelahirannya diharapkan dapat menyelematkan Bani Israil dari penjajahan Romawi dan mengajak mereka untuk kembali di jalan Tuhan.

Dalam kurun waktu kurang lebih lima abad setelah kelahirannya, ajaran Yesus telah menyebar ke berbagai penjuru dunia: kawasan Timur Tengah, Asia Barat, Afrika Utara dan negara-negara Eropa terutama di kawasan Mediterania.
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau tinggal dalam komunitas yang multietnik dan multiagama. Di sini ada suku-suku Yahudi, termasuk juga kaum Nasrani di dalamnya.

Untuk menjamin kelangsungan hidup yang damai dan harmonis, maka dibuatlah sebuah perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Inti dari pernjanjian itu adalah agar tercipta kerukunan, saling hormat-menghormati, toleransi dan keamanan. Semua bersepakat untuk bahu-membahu dan bekerjasama untuk membangun dan memajukan Madinah.

Masing-masing pemeluk agama di Madinah diberi kebebasan penuh untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya. Tidak boleh mengganggu, melakukan kekerasan, apalagi melakukan pemaksaan terhadap agama lain. Masing-masing mendapat perlindungan, rasa aman, termasuk tanah dan harta benda mereka. Sekalipun demikian, Rasul pun tak segan-segan memberikan hukuman dan sanksi yang tegas bagi kelompok yang melakukan pengkhianatan terhadap isi perjanjian tersebut.

Demikianlah Nabi saw telah memberikan contoh dan keteladanan kepada kita, bagaimana bersikap dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Dalam Al Qur’an pun kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada siapapun yang berbeda agama dan mau mengembangkan sikap toleransi.

Demikian halnya pada masa setelah Rasul wafat, beberapa khalifah Islam memiliki dokter pribadi yang beragama Kristen atau Yahudi. Tidak sedikit pula para pegawai pemerintahan yang beragama Kristen. Khalifah Muawiyah memiliki dokter pribadi yang beragama Kristen Nestorian. Bahkan, ada seorang khalifah yang ketika itu sedang berseteru dengan saudaranya perihal kekuasaan, menyuruh dokter pribadinya yang beragama Kristen untuk meracun saudaranya itu. Tapi si Kristen menolak dengan alasan itu adalah perbuatan dosa besar dan ia masih takut kepada Allah. Sayang, saya lupa nama khalifah itu.

Toleransi Agama di Indonesia
Secara umum, selama ini kerukunan antarumat beragama di Indonesia cukup baik. Setiap agama yang diakui di Indonesia, dijamin kebebasannya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Semua mendapat hak yang sama dan perlindungan dari negara. Para pemeluk agama di Indonesia dapat hidup berdampingan dalam suasana yang rukun dan damai.

Namun, beberapa waktu belakangan ini, keharmonisan tersebut sempat terusik oleh beberapa peristiwa yang seharusnya tidak terjadi. Penyerangan tempat ibadah, penyegelan, kekerasan terhadap minoritas tertentu, konflik yang berbau SARA dan sebagainya. Ada pihak-pihak yang ingin turun tangan dan main hakim sendiri, padahal masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tanpa kekerasan. Demikian halnya, semua konflik dan persoalan yang terjadi  akan lebih baik jika diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, karena pemerintahlah yang memiliki kewenangan penuh di negeri ini untuk mengurusi kehidupan umat beragama.

Apalagi ada yang sampai melakukan tindak terorisme dengan melakukan pengeboman ke sejumlah tempat ibadah yang justru menewaskan orang-orang yang tak berdosa. Agama mana pun tidak membolehkan umatnya melakukan pembunuhan, apalagi secara massal.

Saya pribadi hidup di tengah-tengah kelurahan yang cukup banyak pemeluk Kristennya. Bahkan, tidak sedikit dari pelanggan saya juga beragama Kristen. Ada pendeta, penatua, suster, pegawai gereja, atau orang Kristen pada umumnya. Tak jarang saya berdiskusi dan berdialog dengan mereka tentang masalah agama. Secara umum, saya menemukan mereka pribadi yang baik, sopan, jujur, menepati janji, sangat kuat memegang keyakinan, tidak mau melakukan tindak kecurangan apalagi kejahatan. Kesan-kesan itulah yang membuatku hormat pada mereka.

Penutup
Tentu kita semua mengharapkan terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Masing-masing dapat beribadah dengan tenang dan tanpa gangguan. Oleh karena itu, pada momen Natal kali ini, mari kita tingkatkan rasa persaudaraan, mari kita tumbuhkembangkan sikap toleransi. Sehubungan dengan itu, kita pun dilarang melakukan pemaksaan terhadap orang yang sudah beragama, dengan iming-iming tertentu: uang, jabatan, beasiswa, harta-benda dan lain-lain.
Akhir kata, jika kita telah bisa memahami dan menghayati Islam secara baik, tentu kita akan bisa memperlakukan setiap orang dengan baik dan penuh hormat. Bukanlah Islam berarti damai; menuntut para pemeluknya bisa hidup penuh cinta dan kasih di tengah-tengah umat manusia yang plural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!