NATAL: MOMEN MEMAKNAI KEMBALI TOLERANSI BERAGAMA
Hari
ini umat Kristen di seluruh dunia merayakan kelahiran Yesus, Sang
Juruselamat pembawa berita gembira. Ia lahir lebih kurang dua milenium
yang lalu di Betlehem, Palestina, negeri yang ketika itu berada di bawah
kekuasaan bangsa Romawi dengan rajanya Herodes.
Kelahiran
Yesus Sang Mesias telah lama ditunggu-tunggu oleh Bani Israil (orang
Yahudi), sebagaimana telah dinubuatkan dalam Taurat, Kitab Daniel,
maupun oleh perkataan Nabi Yahya (Yohanes Sang Pembaptis). Kelahirannya
diharapkan dapat menyelematkan Bani Israil dari penjajahan Romawi dan
mengajak mereka untuk kembali di jalan Tuhan.
Dalam kurun
waktu kurang lebih lima abad setelah kelahirannya, ajaran Yesus telah
menyebar ke berbagai penjuru dunia: kawasan Timur Tengah, Asia Barat,
Afrika Utara dan negara-negara Eropa terutama di kawasan Mediterania.
Ketika
Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau tinggal dalam komunitas yang
multietnik dan multiagama. Di sini ada suku-suku Yahudi, termasuk juga
kaum Nasrani di dalamnya.
Untuk menjamin kelangsungan
hidup yang damai dan harmonis, maka dibuatlah sebuah perjanjian yang
disebut Piagam Madinah. Inti dari pernjanjian itu adalah agar tercipta
kerukunan, saling hormat-menghormati, toleransi dan keamanan. Semua
bersepakat untuk bahu-membahu dan bekerjasama untuk membangun dan
memajukan Madinah.
Masing-masing pemeluk agama di Madinah
diberi kebebasan penuh untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya. Tidak
boleh mengganggu, melakukan kekerasan, apalagi melakukan pemaksaan
terhadap agama lain. Masing-masing mendapat perlindungan, rasa aman,
termasuk tanah dan harta benda mereka. Sekalipun demikian, Rasul pun tak
segan-segan memberikan hukuman dan sanksi yang tegas bagi kelompok yang
melakukan pengkhianatan terhadap isi perjanjian tersebut.
Demikianlah
Nabi saw telah memberikan contoh dan keteladanan kepada kita, bagaimana
bersikap dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Dalam Al Qur’an
pun kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada siapapun yang berbeda
agama dan mau mengembangkan sikap toleransi.
Demikian
halnya pada masa setelah Rasul wafat, beberapa khalifah Islam memiliki
dokter pribadi yang beragama Kristen atau Yahudi. Tidak sedikit pula
para pegawai pemerintahan yang beragama Kristen. Khalifah Muawiyah
memiliki dokter pribadi yang beragama Kristen Nestorian. Bahkan, ada
seorang khalifah yang ketika itu sedang berseteru dengan saudaranya
perihal kekuasaan, menyuruh dokter pribadinya yang beragama Kristen
untuk meracun saudaranya itu. Tapi si Kristen menolak dengan
alasan itu adalah perbuatan dosa besar dan ia masih takut kepada Allah.
Sayang, saya lupa nama khalifah itu.
Toleransi Agama di Indonesia
Secara
umum, selama ini kerukunan antarumat beragama di Indonesia cukup baik.
Setiap agama yang diakui di Indonesia, dijamin kebebasannya untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Semua mendapat hak yang sama dan perlindungan dari negara. Para pemeluk
agama di Indonesia dapat hidup berdampingan dalam suasana yang rukun dan
damai.
Namun, beberapa waktu belakangan ini,
keharmonisan tersebut sempat terusik oleh beberapa peristiwa yang
seharusnya tidak terjadi. Penyerangan tempat ibadah, penyegelan,
kekerasan terhadap minoritas tertentu, konflik yang berbau SARA dan
sebagainya. Ada pihak-pihak yang ingin turun tangan dan main hakim
sendiri, padahal masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tanpa
kekerasan. Demikian halnya, semua konflik dan persoalan yang terjadi
akan lebih baik jika diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, karena
pemerintahlah yang memiliki kewenangan penuh di negeri ini untuk
mengurusi kehidupan umat beragama.
Apalagi ada yang sampai
melakukan tindak terorisme dengan melakukan pengeboman ke sejumlah
tempat ibadah yang justru menewaskan orang-orang yang tak berdosa. Agama
mana pun tidak membolehkan umatnya melakukan pembunuhan, apalagi secara
massal.
Saya pribadi hidup di tengah-tengah kelurahan
yang cukup banyak pemeluk Kristennya. Bahkan, tidak sedikit dari
pelanggan saya juga beragama Kristen. Ada pendeta, penatua, suster,
pegawai gereja, atau orang Kristen pada umumnya. Tak jarang saya
berdiskusi dan berdialog dengan mereka tentang masalah agama. Secara umum, saya menemukan mereka pribadi yang baik, sopan, jujur, menepati janji, sangat
kuat memegang keyakinan, tidak mau melakukan tindak kecurangan apalagi
kejahatan. Kesan-kesan itulah yang membuatku hormat pada mereka.
Penutup
Tentu
kita semua mengharapkan terciptanya kehidupan yang aman dan damai.
Masing-masing dapat beribadah dengan tenang dan tanpa gangguan. Oleh
karena itu, pada momen Natal kali ini, mari kita tingkatkan rasa
persaudaraan, mari kita tumbuhkembangkan sikap toleransi. Sehubungan
dengan itu, kita pun dilarang melakukan pemaksaan terhadap orang yang
sudah beragama, dengan iming-iming tertentu: uang, jabatan, beasiswa,
harta-benda dan lain-lain.
Akhir kata, jika kita telah bisa
memahami dan menghayati Islam secara baik, tentu kita akan bisa
memperlakukan setiap orang dengan baik dan penuh hormat. Bukanlah Islam
berarti damai; menuntut para pemeluknya bisa hidup penuh cinta dan kasih
di tengah-tengah umat manusia yang plural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!