Cari Blog Ini

Kamis, 03 Oktober 2019

Jaka Tingkir, Pendiri Kesultanan Pajang


JAKA TINGKIR



Jaka Tingkir adalah putera dari Ki Ageng Pengging. Nama asli Jaka Tingkir adalah Karebet, karena pada waktu lahir ayahnya sedang menikmati wayang beber atau wayang karebet. Jaka Tingkir masih memiliki trah Majapahit. Ki Ageng Pengging yang nama aslinya Kebo Kenanga merupakan putera dari Prabu Andayaningrat, raja terakhir Majapahit. Pada 1527 M,Majapahit diserang oleh Demak sehingga keluarga kerajaan melarikan diri. Kebo Kenanga melarikan diri ke hutan Pengging (sekarang masuk Kecamatan Banyudono,Kabupaten Boyolali).

Setelah kedatangan Kebo Kenanga, Pengging kian hari semakin menjadi daerah yang ramai dan makmur. Hal ini membuat Sultan Demak merasa tidak senang. Sultan Demak memerintahkan Sunan Kudus untuk memanggil Ki Ageng Pengging untuk menghadap kepadanya. Ketika Sunan Kudus sudah bertemu dengan Ki Ageng Pengging dan mengutarakanmaksud kedatangannya, Ki Ageng Pengging menolak untuk pergi menghadap Sultan dengan alasan masih banyak hal dan pekerjaan yang mesti diselesaikan.

Lalu, terjadilah perkelahian di antara keduanya. Sunan Kudus lebih banyak menyerang daripada Ki Ageng Tingkir. Akhirnya, Sunan Kudus berhasil menusukkan keris ke lengan atas Ki Ageng Pengging. Dikarenakan keris Sunan Kudus mengandung racun warangan,maka Ki Pengging mati seketika. Setelah kematian Ki Pengging, Sunan Kudus dan rombongan kembali ke Demak.
Penduduk Pengging sangat bersedih karena kehilangan pemimpin mereka. Terlebih istri Ki Pengging yang meninggal empat puluh hari kemudian akibat meratapi kepergian suaminya. Jadilah si bayi Karebet menjadi yatim-piatu. Salah satu ahabat karib Ki Pengging sangat bersimpati kepada Karebet, sehingga dia memutuskan untuk mengambilnya sebagai anak angkat.

Selanjutnya Karebet tinggal di rumah Ki Ageng Tingkir di Desa Tingkir (sekarang masuk wilayah Kotamadya Salatiga), dan di kemudian hari Karebet lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir. Tak berapa lama, Ki Ageng Tingkir meninggal dunia, jadilah Nyai Tingkir seorang janda.

Ketika Jaka Tingkir berusia 20 tahun, Nyai Tingkir mengirim Jaka Tingkir untuk berguru kepada Ki Ageng Sela yang terkenal sakti mandraguna. Ia mengajarkan ilmu agama Islam, beladiri (silat), spiritualisme, dan mistik. Terkait kesaktian Ki Ageng Selo, konon ia dapat menangkap petir yang akan menghantam Masjid Agung Demak. Ki Selo sendiri juga masih ada trah Majapahit, yaitu anak dari Kidang Talengkas alias Jaka Tarub.

Ketika Jaka Tingkir sudah berada di hadapan Ki Selo, maka Ki Selopun berkata, “Selamat datang anakku, engkau bisa belajar ilmu apapun di sini, tetapi dengan satu syarat. Apakah engkau bersedia?” Ki Selo berkata demikian karena dia memiliki ilmu supranatural yang dapat membaca masa depan seseorang.
“Apakah itu Guru?” tanya Jaka Tingkir penasaran.
“Saya titipkan anak keturunan saya kepadamu. Bawalah mereka dalam suka maupun duka, dan jangan pernah meninggalkan mereka.”
“Baiklah, saya akan melaksanakan perintah Guru semampu saya,” jawab Jaka Tingkir mantap.

“Aku percaya kepadamu,anakku. Jika saya tidak salah melihat, di suatu hari nanti engkau akan mendapat karunia dari Tuhan berupa kedudukan yang tinggi di dunia. Oleh karena itu, hendaklah engkau selalu dekat dengan Tuhan dan senantiasa menjalankan segala perintahNya,” ujar Ki Selo memberi wejangan.
Jaka Tingkir adalah murid yang cerdas dan rajin, semua ilmu dapat dipelajari dengan baik dan cepat. Hal ini membuat gurunya menjadi senang, sehingga Jaka Tingkir diangkat menjadi anaknya.

***
Pada suatu malam Ki Ageng Selo bermimpi sedang membabat hutan untuk membuat ladang. Sewaktu dia datang ke hutan, dia melihat Jaka Tingkir sudah berada di sana, bahkan sudah menebang beberapa pohon. Setelah itu dia langsung terbangun. Sejenak dia memikirkan tentang tafsir mimpi tersebut. Menurut yang diketahui, membersihkan hutan berarti akan menjadi raja. Kalau begitu, kelak Jaka Tingkir akan menjadi seorang raja. Di sisi lain, Ki Ageng Sela yang masih keturunan ningrat Majapahit selalu berdoa agar suatu saat nanti anak-keturunannya dapat menjadi seorang raja juga.

Dari kejadian mimpi tersebut,maka bertanyalah Ki Selo kepada Jaka Tingkir,apakah dia pernah bermimpi yang aneh.
“Saya pernah bermimpi bulan jatuh di pangkuan saya. Dan ketika saya bangun, saya mendengar suara dentuman yang berasal dari puncak gunung itu. Hal itu terjadi sewaktu saya bertapa di Gunung Telamaya,” jawab Jaka Tingkir jelas.
“Ini adalah mimpi yang sangat bagus. Untuk membuka tabir mimpi itu, sebaiknya engkau pergi ke keraton Demak dan menjadi abdi dalem di sana guna mendapatkan posisi yang baik di lingkungan keraton. Aku akan berdoa untuk keberhasilanmu,” kata Ki Selo memberikan saran.

Sebelum berangkat ke Demak, Jaka Tingkir menemui ibu angkatnya Nyai Tingkir terlebih dahulu. Nyai Tingkir terkejut melihat anaknya pulang belajar lebih awal. Lalu Jaka Tingkir menjelaskan bahwa ia mendapat tugas untuk pergi ke Demak dan mengabdi di keraton. Nyai Tingkir sempat merasa was-was karena Sultan Demaklah yang membunuh ayah Jaka Tingkir. Tapi karena yang memerintahkan itu Ki Ageng Sela yang memiliki kemampuan membaca masa depan, ia percaya dan merestui kepergian Jaka Tingkir.

“Di Demak, engkau bisa tinggal di rumah saudaraku di Desa Ganjur, pamanmu di sana sebagai lurah.”
Akhirnya Jaka Tingkir berangkat ke Demak dengan penuh keyakinan dan disertai doa restu dari ibu angkatnya.

***
Dari Tingkir ke Demak merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Selain melewati hutan-hutan lebat, juga menyusuri lereng-lereng bukit dan lembah. Perjalanan dengan naik kuda bisa ditempuh lebih dari satu hari satu malam.

Setibanya di Desa Ganjur, Jaka Tingkir langsung mencari rumah Lurah Ganjur. Setelah bertemu dengan Lurah Ganjur, ia menyerahkan surat dari Nyi Ageng Tingkir. Usai membaca surat itu, Ki Lurah berkata, “Hai Jaka,keponakanku, ternyata sekarang kamu sudah besar. Aku teringat ketika terakhir berkunjung ke rumahmu, kamu masih berumur lima tahun,” ujar Ki Lurah sembari memandangi wajah dan tubuh Jaka secara seksama. Jaka sendiri hanya tersenyum dan diam tertunduk.
“Jaka seorang pemuda yang tampan dan kuat, aku yakin dia akan mudah untuk menjadi abdi dalem keraton,” bisik Ki Lurah dalam hari. “Oh ya Jaka,besok adalah hari Jum’at. Sultan akan sembahyang di Masjid Agung Demak. Jadi besok pagi-pagi kita akan pergi untuk membersihkan masjid dan menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan shalat Jumlat. Aku harap Sultan akan melihatmu dan berkenan mengangkatmu sebagai abdi dalem atau pengawalnya,” lanjut Ki Lurah bersemangat.

“Matur sembah nuwun Ki. Ini kesempatan saya untuk melihat Sultan untuk pertama kalinya, “sahut Jaka dengan girang dan penuh harap.
Benar,pagi-pagi betul Ki Lurah dan para pembantunya serta Jaka Tingkir sudah berada di masjid dan mulai membersihkan lantai dan lingkungan masjid, menimba air untuk mengisi kulah dan gentong, menyiapkan tikar, menyapu halaman dan memotong rumput dan dahan,dan sebagainya.

Jaka Tingkir tampak rajin dan sigap terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Saking seriusnya dalam bekerja,sampai-sampai ia tidak menyadari kalau sang Sultan dan rombongan telah tiba dan akan berjalan melewati tempat Jaka bekerja. Seketika itu juga, Jaka merasa kaget. Ia bingung, jika ia pergi begitu saja maka ia akan membelakangi sang Sultan. Tapi jika ia tetap diam di tempat itu, tentu ia akan dilanggar oleh Sultan dan rombongan. Sementara posisi Jaka sendiri berada di antara dua kolam yang tempatnya sempit. Tanpa berpikir panjang, spontan si Jaka melompat melampuai kolam dengan ilmu silatnya yang telah dipelajari dari Ki Ageng Sela.

Sultan dan rombongan amat terkejut sekaligus kagum, begitu juga dengan Ki Lurah. Lalu sang Sultan mendekati Ki Lurah dan memberi tanda agar si Jaka menemuinya usai shalat Jum’at. Seketika itu juga, Ki Lurah Ganjur pucat mukanya, “Hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sultan kepada keponakanku?” gumam Ki Lurah lirih.
Setelah Sultandan rombongan berlalu, Ki Ganjur menemui Jaka Tingkir dan berkata, “Tingkir, tindakanmu tadi melanggar tatakrama dan adat kesopanan. Sultan berkenan menemuimu usai shalat Jum’at nanti,” ucap Lurah Ganjur cemas.

“Saya minta maaf Paman, tadi saya tidak menyadari kalau Sultan dan rombongan tiba-tiba sudah ada di depan saya,” balas si Jaka dengan nada penuh penyesalan.
“Apa yang mesti kukatakan kepada ibumu, jika Sultan memberikan hukuman kepadamu,” jerit Ki Lurah meradang, tampak ketakutakan di raut wajahnya.
“Mungkinkah dia memberi hukuman kepadaku? Saya hanya melompati kolam,kemudian dihukum karena perbuatan itu,Paman?” tanya Jaka tak mengerti.
“Dengan berbuat seperti itu, kamu telah dianggap pamer kepandaian. Perlu kamu tahu, Demak adalah gudangnya para master silat.”
***
Shalat Jum’at pun usai. Tidak berapa lama kemudian, Sultan dan rombongan keluar menemui si Jaka yang sudah siap menunggu di pintu keluar masjid. Jaka segera memberi hormat. Jantungnya berdegup kencang kalau-kalau Sultan akan marah kepadanya.
“Siapa namamu anak muda?” sapa Sultan dengan nada ramah dan bersahabat.
“Saya Jaka Tingkir, Gusti.”
“Siapakah orang tuamu?”
“Ayah saya bernama Ki Ageng Tingkir, masih ada hubungan keluarga dengan Ki Lurah Ganjur.”

Lalu Sultan melihat ke arah Ki Lurah dan berkata, “Hmmm…kamu tidak pernah cerita kalau kamu punya seorang keponakan yang tampan dan gagah. Saya ingin besok Jaka menghadap saya di keraton,” kata Raja Demak itu memberi perintah.
Singkat cerita, Jaka Tingkir diterima sebagai abdi dalem keraton. Karena dia pandai, berilmu, dan tahu tata krama kerajaan, dua tahun kemudian ia diangkat sebagai tumenggung di kalangan prajurit. Ia mengadakan reorganisasi di tubuh prajurit serta menjadikan prajurit Demak cukup disegani. Sultan merasa senang dan puas atas hasil kerja Jaka Tingkir, sehingga Jaka Tingkir diangkatnya sebagai anak.

***
Pada suatu hari,tanpa sengaja Jaka Tingkir melihat Putri Mas Cempa (anak Sultan) di kaputren. Putri pun melihat dia.
“Melihat dari sorot matanya, nampaknya dia juga jatuh hati sama seperti saya. Tapi bagaimana saya bisa mengutarakan isi hati saya kepadanya, sementara tak seorang pun diperbolehkan masuk ke kaputren,” bisik Jaka dalam hati.
Jaka hampir saja melupakan pertemuan itu. Hingga pada suatu hari datang seseorang yang mengantar surat rahasia dari Putri. Dia mengundang Jaka ke kaputren dan menyertakan pula peta jalan rahasia untuk sampai ke kaputren. Sejak saat itu, terjadilah beberapa kali pertemuan rahasia di antara keduanya.
Pada akhirnya, seorang pengawal melihat dari kejauhan Putri sedang bersama Jaka Tingkir. Ia pun segera melapor kepada Sultan.

Jaka Tingkir dipanggil untuk menghadap Sultan. Sultan tampak sangat murka. Ia memecat Jaka Tingkir dari jabatannya dan menghukumnya untuk masuk ke hutan tanpa membawa senjata, serta memerintahkan semua prajurit Demak untuk menangkapnya hidup atau mati. Bahkan, Sultan hendak mengumumkan bahwa Jaka Tingkir telah mencuri pusaka keramat kerajaan,baju antakusuma, sehingga nantinya tidak saja prajurit yang mengejarnya, tapi semua rakyat Demak ikut mengejarnya.

Jaka Tingkir pun pergi meninggalkan keraton dan masuk ke hutan, tapi tak seorang prajurit pun mengejar untuk membunuhnya.
Sultan sendiri merasa menyesal telah mengusir Jaka Tingkir. Dia sebenarnya masih membutuhkan Jaka Tingkir, sebab ia prajurit yang baik, organisatoris yang handal, dan seorang pemuda yang tampan. Jaka adalah pemuda sempurna tanpa cacat yang pernah ia temui dan cocok pula menjadi menantunya.
Dengan kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa, Jaka Tingkir pergi menuju Pengging tempat kelahirannya. Ia ingin berziarah ke makam ayahnya. Sesampai di makam ayahnya, ia sempat tertidur karena terlalu lelah berjalan jauh. Ia bermimpi seseorang datang kepadanya dan berkata, “Anakku Karebet, jangan bersedih dan jangan biarkan hidupmu sia-sia. Temuilah Ki Buyut Banyubiru di Desa Banyubiru. Jadilah muridnya dan patuhilah semua perintahnya. Aku adalah ayahmu,” setelah itu Jaka langsung terbangun.

Jaka Tingkir segera pergi ke Desa Banyubiru. Ia pun diterima sebagai murid oleh Ki Banyubiru. Di sana telah ada murid yang lain, seperti Mas Manca putra Jabaleka, tamtama dari prajurit Majapahit, juga Wuragil dan Wila yang masih keponakan Ki Banyubiru sendiri. Jaka Tingkir belajar dengan sangat rajin sehingga dalam tempo tiga bulan, ia sudah dapat menguasai semua ilmu dan lulus dalam ujian.

Lalu Ki Banyubiru menganjurkan Jaka untuk kembali ke Demak untuk menghadap Sultan. Beliau membekali Jaka dengan segenggam tanah untuk dimasukkan ke mulut kerbau Danu yang akan ditemuinya di perjalanan.
“Sultan akan mengadakan kunjungan ke Gunung Prawata pada musim ini. Kerbau yang engkau masukkan segenggam tanah tadi akan mabuk dan mengamuk, berlari menuju depan pesanggrahan sang Sultan. Kemudian ia akan memintamu untuk menangkap binatang itu,” kata Ki Banyubiru.
“Semoga semua rencana ini dapat terwujud Guru,” jawab Jaka Tingkir penuh harap.
Jaka Tingkir pergi ke Gunung Prawata ditemani oleh Ki Manca, Ki Wuragil, dan Ki Wila.

***
Setelah tiba di kaki Gunung Prawata, mereka melihat seekor kerbau yang sedang merumput. Mereka yakin inilah kerbau Danu yang diceritakan oleh Ki Banyubiru. Padang rumput ini pula lokasinya dekat dengan pesanggrahan sang Sultan. Jaka Tingkir segera mengambil segenggam tanah dalam kantungnya, mendekati kerbau itu, dan kemudian menjejalkan tanah itu ke dalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, kerbau itu menggoyang-goyangkan kepalanya, matanya mulai memerah, dan kakinya digaruk-garukkan ke tanah.

Kini, kerbau Danu benar-benar telah mabuk. Dia lari kencang dan menabrak apa saja yang ada di depannya. Ia lari menuju ke halaman pesanggrahan sang Sultan, dan di sana ia mengamuk. Satu pasukan prajurit mencoba menangkapnya, namun gagal. Bahkan beberapa prajurit ada yang terluka. Jaka Tingkir dan kawan-kawan juga mengikuti kerbau Danu hingga ke pesanggrahan.

Melihat kejadian itu, Sang Sultan merasa cemas, kalau kerbau itu semakin ganas dan membuat banyak kerusakan. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Sultan melihat Jaka Tingkir berada di halaman pesanggrahan. Maka ia mengutus seorang pengawal untuk memanggil Jaka Tingkir untuk menghadapnya.
“Jaka, aku perintahkan kepadamu untuk menangkap kerbau itu. Jika engkau berhasil aku berkenan mengampunimu,” perintah Sultan kepada Jaka Tingkir.
“Baik, Kanjeng Sinuhun.”

Lalu, Jaka mendekati kerbau Danu yang sedang mengamuk itu. Ia mencoba menangkap ekornya beberapa kali gagal, karena kerbau itu lari dengan liar. Jaka tidak patah semangat, ia terus berusaha mengejar kerbau itu dan berusaha menangkap ekornya. Akhirnya ia berhasil memegang ekor kerbau itu dan menariknya dengan sekuat tenaga hingga kerbau itu pingsan. Lalu ia memukul kepala kerbau itu dengan tenaga dalam hingga kepala itu pecah. Kerbau pun mati seketika.

“Hidup Jaka, hidup Jaka, hidup Jaka....!” seru para prajurit dan warga sekitar yang menonton kejadian itu bangga.
Sultan pun sangat senang dengan keberhasilan Jaka melumpuhkan kerbau itu. Ia memerintahkan Jaka dan ketiga kawannya untuk menghadapnya keesokan harinya di keraton Demak.

***
“Jaka Tingkir, mulai sekarang engkau kembali menduduki posmu sebagai tamtama di keprajuritan Demak,” titah Sultan kepada Jaka Tingkir.
Setelah enam bulan berjalan, Sultan menaikkan pangkatnya menjadi tumenggung (setara jenderal di kemiliteran modern). Para prajurit sangat menghormati Jaka, karena ia seorang pemimpin yang kharismatik. Jaka bekerja keras untuk memperbaiki militer Demak, apalagi Sultan punya ambisi untuk memperluas kerajaannya hingga Supit Urang, Mataram, dan Pasuruan.

Pada akhirnya, Sultan memutuskan untuk menerima Jaka Tingkir sebagai menantunya, menikahkan dengan putrinya Ratu Mas Cempa, karena ia tahu keduanya saling mencintai sejak lama. Seluruh rakyat Demak pun merestui pernikahan pasangan yang sangat serasi ini. Usai pesta pernikahan, Sultan mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang.

Sumber gambar: www.viroet.wordpress.com

***
Jaka Tingkir dan keluarganya tinggal di Pajang sebagai Adipati Pajang. Mereka bekerja keras untuk membangun daerahnya. Jaka Tingkir adalah adipati yang arif dan bijaksana serta sangat perhatian terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, banyak rakyat dari wilayah kekuasaan Demak yang pindah ke Pajang untuk menjadi rakyatnya Adipati Pajang. Jika ada pemilihan, rakyat lebih setuju memilih Jaka sebagai raja mereka.

Karena semua sahabat dan rakyatnya mendukung dia menjadi raja, maka akhirnya Jaka Tingkir mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Ia tidak melupakan janjinya kepada Ki Ageng Sela, maka ia memanggil keluarga gurunya itu untuk dijadikan sebagai pembantu-pembantunya di kerajaan Pajang.  

 (Trimanto B. Ngaderi)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!