NARARYA, BULANNYA
PENDERITA SKIZOFRENIA
Oleh: Trimanto B.
Ngaderi*)
Novel terbaru dari novelis perempuan
Indonesia, Sinta Yudisia berjudul “Bulan Nararya” yang
diterbitkan oleh Indiva Media Kreasi, termasuk novel dengan “nuansa” baru,
berbeda dengan novel-novel Sinta Yudisia sebelumnya, bahkan berbeda dengan
novel-novel yang menjadi ciri khas karya anggota Forum Lingkar Pena (FLP)
lainnya.
Novel ini menceritakan seorang
terapis bernama Nararya (dipanggil Rara), yang bekerja di sebuah pusat
rehabilitasi mental, terutama untuk para penderita skizofrenia. Bagaimana
suka-duka dalam merawat dan menghadapi klien (sebutan untuk pasien); bagaimana
berinteraksi dan membangun hubungan dengan mereka termasuk dengan keluarganya; berusaha
mencari tahu latar belakang mereka dan keluarga (mengapa bisa mengalami
skizofrenia); termasuk meyakinkan pihak keluarga agar bisa menerima mereka
kembali.
Tokoh lain dalam novel ini adalah
Bu Sausan, pemilik pusat rehabilitasi, perempuan setengah baya yang tidak
pernah menolak klien, generasi senior, patuh pada klien, dan kurang menyukai
inovasi. Moza, teman kerja Rara sekaligus sahabat dekat. Pak Gatot dan Pak
Taufiq, penjaga. Sedangkan para klien seperti Sania, Pak Bulan, dan Yudistira.
Walau seorang terapis skizofrenia,
ternyata Rara juga memiliki masalah pribadi yang menyebabkan dia mengalami
gangguan halusinasi. Tak jarang ia seperti melihat kelopak mawar dan ceceran
darah di ruang kerjanya maupun di tempat lain. Ia juga mengalami kegagalan
dalam berumah tangga. Drama cinta segitiga terjadi ketika Angga mantan suami
Rara mencinta dan menikahi Moza. Selain itu, Rara pun mengagumi Yudistira,
kliennya.
Diceritakan, bagaimana perjuangan
Rara untuk meyakinkan Pak Robin, yang seorang pemabuk, agar mau menerima Sania
putrinya. Dulunya, Sania adalah dari keluarga miskin, penuh tindak kekerasan,
hanya sampai kelas 2 SD, ditemukan di terminal dengan kondisi mengenaskan oleh
Dinsos saat razia. Juga meyakinkan Bu Weni, ibu Yudistira, kakak-kakak
Yudistira (Srikandi, Ajani, Utari), serta Diana, istri Yudistira. Konflik
semakin rumit ketika siapa kelak yang akan merawat Yudistira.
Yang tak kalah menarik dalam novel
ini adalah perjuangan Rara dalam meyakinkan Bu Sausan dan klinik akan sebuah
metode terapi yang dianjurkannya, yaitu metode transpersonal, yang
tujuannya adalah agar klien tidak selalu tergantung pada farmakologi. Walau pada
akhir cerita Bu Sausan mulai melunak dan bisa menerima gagasan Rara, tapi ide
itu belum bisa diterapkan dalam waktu saat ini.
Novel ini ditulis dengan gaya dan
pendekatan baru, yang berbeda dengan novel-novel Sinta sebelumnya atau FLP pada
umumnya. Biasanya novel-novel FLP terkenal Islami atau kental nuansa dakwahnya.
Sedangkan dalam novel ini, hampir tidak kita temui nama-nama Islam,
ungkapan-ungkapan Islami, atribut atau simbol keagamaan, atau perilaku yang
menggambarkan tingkat kesalehan tertentu.
Sekalipun demikian, bukan berarti
novel ini tidak Islami, tetap ada nilai-nilai Islam di dalamnya, hanya digambarkan
secara implisit atau tersirat saja. Contoh: nilai-nilai seperti panggilan untuk
membantu sesama, menghargai orang lain, peduli kepada yang sedang menderita,
kesabaran, toleran, keyakinan akan kesembuhan, dan lain-lain).
Adapun beberapa pesan yang
dapat diambil pelajaran dari novel ini di antaranya: (1) teguh memegang prinsip
atau ide yang diperjuangkan sampai terwujud; (2) penderita skizofrenia bukanlah
orang yang tak berguna, dibuang, atau dijauhi; tapi harus dirawat layaknya
manusia seutuhnya, agar bisa kembali pada kehidupan normal, kembali pada
keluarganya; (3) yang punya masalah kehidupan tidak hanya klien saja,
terapisnya pun bisa punya masalah, termasuk halusinasi yang dialami kliennya;
(4) banyak hikmah dan pelajaran hidup yang bisa diambil dari para klien.
Beberapa hal yang bisa menjadi titik
lemah dari novel ini adalah soal tema. Tidak semua orang menyukai tema
tersebut, terlebih bercerita tentang “orang gila” yang secara umum masih
dihindari banyak orang. Apa menariknya mengetahui hal-ihwal orang gila secara
lebih mendalam. Termasuk istilah-istilah asing yang mungkin membuat kening
pembaca berkerut. Dari segi jalan cerita maupun peristiwa-peristiwa “aneh” yang
terjadi, terkadang pembaca merasa kesulitan untuk dapat menikmati cerita secara
enak dan terang.
Akhirul kata, secara umum novel
ini cukup kuat karena isi ceritanya merupakan apa yang sedang digeluti
oleh penulisnya saat ini. (Surakarta; 24/02/2015 17:40:21)
*) Pegiat Forum Lingkar Pena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!