REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP
Adakalanya
rasa syukur itu disimpan dalam hati dan tidak diungkapkan; adakalanya
diekspresikan lewat kata-kata; dan ada pula yang diawujudkan dalam tindak-laku
perbuatan. Nah, melalui tulisan ini, aku ingin sekali mengungkapkan rasa
syukurku kepada FLP lewat untaian kata dan kalimat.
Dulu,
sebelum aku bergabung di FLP Depok, aku orangnya sangat pemalu dan minderan.
Bertemu dengan orang yang lebih kaya atau lebih pandai aku minder. Berbicara di
depan umum juga malu dan tidak percaya diri. Aku merasa lebih rendah dari orang
lain. Merasa banyak kekurangan, merasa tidak mampu, dan berbagai atribut
negatif lainnya.
Akan
tetapi, setelah bergabung di FLP (2006) dan tiga tahun kemudian dijadikan
pengurus – walau sebenarnya aku ini belum bisa nulis “beneran” – telah merubah
segalanya. Percaya diri meningkat (terkadang over-pede malah, hehe…), diminta
berbicara di depan hayuk aja (yang penting berani dulu to).
Lebih dari
itu, setelah melewati perenungan yang panjang, ternyata menjadi orang itu yang
benar haruslah rendah hati, bukan rendah diri. Berhadapan dengan siapapun tidak
boleh merasa minder atau rendah diri. Keyakinan ini lama-kelamaan membentuk
konsep diri aku yang utuh. Bahwa manusia ini sejajar-setara, yang membedakan
hanyalah ilmu dan amalnya (Islam = taqwa). Sehingga kalau aku ketemu pejabat
kek, kyai-lah, guru besar, pakar, atau apalah, aku menempatkan diri setara
dengannya.
Yang tak
kalah penting adalah dengan gabung di FLP aku bisa belajar banyak hal dan belajar
kepada banyak orang. Jika boleh menyebut di antaranya: dengan Taufan E. Prast
bisa belajar bagaimana menikmati dan memaknai hidup ini secara sederhana
sekaligus benar; dengan Yanuardi Syukur bisa belajar bagaimana menjadi seorang
“priyayi” terpelajar; dengan M. Irfan Hidayatullah belajar akan kelembutan dan
kehalusan budi; dengan Pipiet Senja meneladani semangat hidup dan perjuangan; dan
masih banyak lagi.
Dengan FLP
Hongkong belajar soal kerja keras dan pengorbanan;
dengan FLP Ciputat belajar tentang konsep nasionalisme, demokrasi dan
pluralisme (tiga kata yang terkadang cukup “sensitif” di FLP).
Pokoknya banyak hal dech yang sudah aku dapatkan di FLP dan
banyak perubahan hidup pada diriku. Terima kasih FLP, terima kasih semuanya.
Menjadi Pengurus FLP
Menjadi
pengurus FLP tidaklah mudah, tapi juga tidaklah sulit. Memang, butuh niat dan
pengorbanan. Pengalaman menjadi pengurus cabang, pengurus wilayah, dan kemudian
pengurus cabang lagi (harusnya naik pangkat jadi pengurus pusat ya, hihi…)
membuatku memiliki sudut pandang yang berbeda terkait amanah di FLP.
Doktrin-doktrin
seperti ingin berdakwah, ladang amal, pahala atau semacamnya; sepertinya tidak
lagi ampuh agar seseorang mau menjadi pengurus atau berbuat sesuatu untuk FLP.
Dalam berbagai bidang kehidupan, biasanya motif ekonomi dan disusul kemudian
motif sosial lebih dominan daripada sekedar motif agama. Motif agama bersifat
abstrak dan tidak bisa dinikmati saat ini, terlebih di zaman yang cenderung
hedonistik dan materialistik ini. Bukti nyata adalah banyak FLP yang tidak
aktif, mati suri, antara ada dan tiada, gonta-ganti pengurus, besar di
permukaan.
Sebagai
perbandingan, mengapa motif agama tidak begitu menarik adalah dalam hal
sebaliknya, yaitu banyak orang yang tak lagi takut dosa, siksa, neraka, adzab dll
walau ia seorang tokoh agama sekalipun (kasus korupsi).
Kembali ke
laptop, eh kembali ke FLP. Kalau aku sendiri yang saat ini dijadikan ketua
(walau aku sudah menolak sedemikian rupa, tapi sedikit “diperkosa”), ya yang
jelas aku lebih mengutamakan kepentingan keluargaku dululah, soalnya kalau
mengabaikan mereka aku kan bisa berdosa; sedangkan kalau menomorduakan FLP
paling di-unek-unekke thok.
Penumpang Gelap
Kita sih
sudah pada sepakat kalau FLP itu gerakan dakwah
bil qalam, memberikan pencerahan, kampanye gemar membaca-menulis dan
semacamnya. Tapi menurutku, jika ada yang punya motif politik di FLP, ya bisa
jadi. Dalam pandangan “mata batin” ku kiranya adalah yang seperti itu. Ibarat
satu gerbong yang disusupi penumpang gelap.
Menarik
juga akhir-akhir ini FLP sering dihubung-hubungkan dengan parpol tertentu.
Bahkan ada yang berani menyatakan “hampir
100% pengurus BPP adalah kader partai tertentu”. Kok tanggung amat, kok
nggak dibilang sekalian “hampir 100%
pengurus FLP cabang dan wilayah di Indonesia dan luar negeri adalah kader
partai tertentu” (jadi pingin mengucapkan amin 1000x dah J).
Pastinya
kalau sering disebut-sebut gitu tetap ada dampak positifnyalah bagi partai
tersebut. Walupun kader partai itu sedang ada noda atau koreng, paling tidak
nama partai itu menguat di memori dan makin mudah diingat, dan suatu saat nanti
noda atau koreng tadi akan dilupakan orang.
Kekhawatiran
akan adanya "pekaesisasi" di tubuh FLP sepertinya terlalu berlebihan, tapi bisa
juga benar adanya. Berlebihan karena orang-orang FLP pintar dan cerdas, tentu
tidak mudah dipengaruhilah. Bisa benar jika para “penumpang gelap” itu
melakukan gerakan bawah tanah, aksi laten, atau pandai menjadi bunglon.
Terlepas
dari semua itu, aku pribadi sangat senang dengan dunia politik.
Akhir kata,
selamat memasuki tahun 2014 ya. (Trimanto)