SI BUDUL
Oleh:
Trimanto Ngaderi*)
Darah segar masih terus menetes. Sembari duduk dan beristirahat di bawah
pohon beringin besar di depan gapura kadipaten, lelaki setengah baya itu
mencoba memegangi telapak kakinya yang berlumuran darah. Ia mengambil daun-daun
beringin kering yang jatuh untuk mengusap darah yang terus mengalir.
Rupanya, penyakit budul pada kaki yang dideritanya sejak puluhan tahun
silam itu, membuatnya tak mampu melakukan perjalanan jauh dan berhari-hari. Telapak
kakinya yang tebal dan bengkak-bengkak akan terasa sakit sekali untuk berjalan
dan pasti mengeluarkan darah. Apalagi jalan yang harus dilalui medannya cukup
sulit, naik-turun gunung, dan berbatu.
Ia mencoba mengatur napas yang mulai menggeh-menggeh.
Meluruskan kakinya. Sesekali ia meringis menahan rasa sakit dan perih di
kakinya. Kemudian ia membuka buntalan dari kain, bekal yang diberikan oleh
Demang Sabrang, tuannya tempat mengabdi. Beberapa potong wajik ketam hitam
mampu mengobati perutnya yang sudah keroncongan.
Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa hawa kesejukan di sekitar alun-alun
kadipaten Purwantoro. Namun, hawa sejuk dan angin semilir tak lantas membuat
hatinya tenang. Perasaan kesal, jengkel, dongkol, marah masih terus menghantui jiwanya.
“Ndoro Demang benar-benar keterlaluan!” begitulah mulutnya masih terus
mengumpat. Matanya menatap kosong alun-alun yang luas itu. Tampak beberapa kuda
sedang merumput tak jauh dari tempatnya duduk. Andong dan para abdi dalem yang
hilir-mudik di sekitar gapura tak jua menarik hati dan menenangkan pikirannya.
“Apa memang beginilah nasib orang kecil?” mulutnya kembali mengeluh.
Sebuah kata-kata yang terus-menerus ia ucapkan selama mengabdi kepada Demang.
Sejenak kemudian, pikirannya mengembara ke rumah Demang. Ia mengingat
bagaimana ia harus jalan beberapa kilometer jauhnya untuk mengambil air setiap
harinya. Ngangsu[1]
untuk keperluan hidup Ki Demang dan para abdi dalemnya. Inilah pekerjaan yang
ia lakoni selama puluhan tahun, sejak ia masih perjaka hingga mempunyai tiga
anak.
Walau dengan penyakit budul di kakinya, ia tetap melakoni pekerjaannya
itu tanpa pernah membantah sekalipun. Dawuh dari Ki Demang adalah ibarat sabda.
Tidak bisa ditolak dalam keadaan apapun. Harus dikerjakan dengan baik sesuai
keinginan si empunya perintah.
Namun, walau tidak pernah membantah, Budul sebenarnya sangat keberatan
dengan pekerjaannya itu. “Sudah tahu kakiku budul begini, kok Si Demang masih
saja menyuruhku untuk mengambil air”, keluhnya kepada istrinya. Begitulah
kata-kata yang selalu keluar dari mulut Si Budul setiap harinya. Sebenarnya
istrinya juga merasa kasihan melihat kaki suaminya setiap hari tambah keras,
bengkak, dan selalu berdarah. Tapi apa mau dikata, memang itulah yang harus ia
kerjakan. Tidak ada pilihan lain.
Dan ketika kejengkelannya memuncak, Si Budul tak segan-segan mencaci dan
memaki tuannya di depan istrinya itu. “Dasar Demang edan, Demang gendeng”, umpatnya
sembari meludah pada suatu hari.
Sementara itu, matahari semakin meninggi. Tubuh Si Budul mulai berkeringat.
Ia membuka kancing atas bajunya. Dan mengibas-ngibaskan caping penutup kepala untuk mengusir hawa panas di tubuhnya. Jalan
utama menuju gapura kadipaten pun tampak mulai sepi.
Ia tak jua mau beranjak dari tempatnya berteduh untuk segera memberikan
surat itu kepada kanjeng adipati. Malah pikirannya teringat kembali peristiwa setelah
ia memaki Demang di hadapan istrinya beberapa waktu lalu. Saat secara mendadak
ia dipanggil Ki Demang. Belum tahu apa yang hendak dikatakan oleh tuannya itu,
ia sudah ketakutan bukan kepalang. “Jangan-jangan Ndoro Demang mendengar
umpatanku kemarin”, begitu bisiknya dalam hati. Maka, ketika sampai di hadapan
tuannya, ia langsung bersujud di depan kaki Demang dan meminta maaf.
Dan ketika tahu bahwa Ki Demang memanggilnya bukan ingin memarahinya,
tapi mendapat tugas baru mengantarkan surat kepada Kanjeng Adipati, seketika
itu juga legalah hatinya. Ia diberi
bekal uang lima benggol[2].
Sekalipun demikian, ketika sampai di hadapan istrinya, ia tambah mengeluh.
“Pancen Ki Demang ki wis picek, wis
budheg[3].
Buat mengambil air saja kakiku sakitnya minta ampun, eh sekarang malah disuruh
pergi ke kadipaten yang sangat jauh tempatnya. Dia benar-benar tidak punya
perasaan,” keluhnya dengan penuh emosi.
Hari semakin siang. Panas matahari terasa menyengat. Si Budul masih
terus melamun. Merenungi nasib yang dirasanya amatlah malang. Sesekali
menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang putus asa.
***
“Ada apa Pak, kok sendirian di sini? Sepertinya sedang ada yang
dipikirkan?” tanya seorang pemuda yang datang menghampirinya.
Si Budul sedikit kaget. Tapi ia kemudian tersenyum karena merasa ada
yang memberi perhatian terhadapnya.
“Ini lho Nak, tuan saya itu tega sekali. Masak kaki sakit seperti ini
disuruh melakukan perjalanan jauh untuk mengantar surat ke Kanjeng Adipati,”
jawab Si Budul sembari menunjuk kakinya yang masih berlumuran darah.
Melihat hal itu, si pemuda merasa iba. Tapi ia merasa beruntung bisa
bertemu dengan bapak tua ini. Ia jauh-jauh dari pelosok desa pergi ke kadipaten
ini memang untuk mencari pekerjaan.
“Bagaimana kalau saya bantu bapak untuk mengantarkan surat ini ke
Kanjeng Adipati?” ujar si pemuda mencoba menawarkan diri.
“Wah, kamu baik sekali Nak. Malah kebetulan,” jawab Si Budul dengan muka
berseri-seri. “Tapi aku hanya diberi bekal tiga benggol, jadi yang satu benggol
untukmu, bagaimana?”
Si pemuda mengangguk gembira.
Lalu berangkatlah si pemuda itu masuk ke dalam pendopo kadipaten yang
sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat Si Budul
beristirahat tadi. Setelah menyampaikan keperluannya kepada para penjaga
gapura, maka ia diperkenankan masuk.
“Apakah kamu sudah tahu apa isi surat ini?” tanya Kanjeng Adipati kepada
si pemuda usai membuka surat itu.
“Belum Kanjeng. Jika saya sudah membacanya, nyawa saya taruhannya”,
jawab si pemuda masih tetap menunduk.
Sembari membaca isi surat itu, Kanjeng Adiputi melirik kepada si pemuda
itu yang menurutnya cukup tampan dan berbudi. Ia pun melirik kepada putrinya
yang duduk di sampingnya, yang mukanya kelihatan berseri-seri dan matanya
berkilat-kilat menatap pemuda itu.
“Sesuai isi surat ini, Ki Demang memerintahkan agar orang yang membawa
surat ini dijadikan sebagai demang pengganti dirinya, karena dia sudah cukup
tua dan tidak memiliki keturunan.”
“Dan untuk mengemban tugasmu sebagai demang di sana, maka kamu akan saya
nikahkan dengan putri saya ini,” titah Kanjeng Adipati.
Si pemuda sangat terkejut sekaligus senang luar biasa. Ia merasa
perjalanan jauhnya tidaklah sia-sia. Dalam hatinya ia mengucap syukur kepada
Tuhan dan terima kasih kepada ibunya yang telah merestui dan mendoakan
perjalanannya.
Keesokan harinya, digelarlah pesta pernikahan antara si pemuda dengan
putri Adipati. Hajat berlangsung meriah dan diadakan secara besar-besaran. Para
petinggi kadipaten, priyayi, abdi dalem hingga rakyat jelata bersukacita.
Sementara itu, Si Budul sedang dalam perjalanan pulang. Sepanjang
perjalanan, ia terus berpikir. Bagaimana caranya agar nanti ia tidak
dipersalahkan oleh Ki Demang, karena telah menyuruh orang untuk menyampaikan
surat itu. Padahal, sebelumnya ia telah berjanji akan memberikan langsung surat
itu kepada Kanjeng Adipati.
Lalu setan pun membisikinya. Ia pun merobek-robek pakaiannya dan
melumurinya dengan darah yang mengucur dari kakinya. Hal ini dilakukan agar
nantinya Ki Demang menyangka bahwa ia telah diserang oleh kawanan perampok atau
hewan buas.
***
Ki Demang yang sedang santai di pendopo rumahnya, nampak terkejut
melihat ada serombongan prajurit dari kejauhan yang sedang mengiring seseorang.
“Apa itu Si Budul yang telah diangkat oleh Kanjeng Adipati menjadi demang
sebagai penggantiku ya?” begitu gumamnya dalam hati.
Tapi setelah rombongan itu kian mendekati pendoponya, ternyata orang
yang diiring oleh prajurit tersebut bukanlah Si Budul, tapi seorang pemuda
gagah dan tampan yang berpakaian ala seorang demang. Hal ini membuat Ki Demang
semakin heran.
Setelah si pemuda itu menghadap Ki Demang, berceritalah ia tentang hal
ikhwal pertemuannya dengan Si Budul. Ki Demang nampak terkejut dan sedikit
pucat. Padahal ia menyuruh Si Budul mengantarkan surat itu agar Kanjeng Adipati
berkenan mengangkatnya menjadi demang sebagai balas budi atas pengabdiannya
selama ini kepadanya. Sambil manggut-manggut ia pun berkata lirih, “Berarti Si
Budul memang tidak kuat kanggonan drajat[4]”.
*) Wirausahawan