Cari Blog Ini

Jumat, 12 Juli 2013

CERPEN "SI BUDUL"



SI BUDUL
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Darah segar masih terus menetes. Sembari duduk dan beristirahat di bawah pohon beringin besar di depan gapura kadipaten, lelaki setengah baya itu mencoba memegangi telapak kakinya yang berlumuran darah. Ia mengambil daun-daun beringin kering yang jatuh untuk mengusap darah yang terus mengalir.
Rupanya, penyakit budul pada kaki yang dideritanya sejak puluhan tahun silam itu, membuatnya tak mampu melakukan perjalanan jauh dan berhari-hari. Telapak kakinya yang tebal dan bengkak-bengkak akan terasa sakit sekali untuk berjalan dan pasti mengeluarkan darah. Apalagi jalan yang harus dilalui medannya cukup sulit, naik-turun gunung, dan berbatu.
Ia mencoba mengatur napas yang mulai menggeh-menggeh. Meluruskan kakinya. Sesekali ia meringis menahan rasa sakit dan perih di kakinya. Kemudian ia membuka buntalan dari kain, bekal yang diberikan oleh Demang Sabrang, tuannya tempat mengabdi. Beberapa potong wajik ketam hitam mampu mengobati perutnya yang sudah keroncongan.
Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa hawa kesejukan di sekitar alun-alun kadipaten Purwantoro. Namun, hawa sejuk dan angin semilir tak lantas membuat hatinya tenang. Perasaan kesal, jengkel, dongkol, marah masih terus menghantui jiwanya.
“Ndoro Demang benar-benar keterlaluan!” begitulah mulutnya masih terus mengumpat. Matanya menatap kosong alun-alun yang luas itu. Tampak beberapa kuda sedang merumput tak jauh dari tempatnya duduk. Andong dan para abdi dalem yang hilir-mudik di sekitar gapura tak jua menarik hati dan menenangkan pikirannya.
“Apa memang beginilah nasib orang kecil?” mulutnya kembali mengeluh. Sebuah kata-kata yang terus-menerus ia ucapkan selama mengabdi kepada Demang.
Sejenak kemudian, pikirannya mengembara ke rumah Demang. Ia mengingat bagaimana ia harus jalan beberapa kilometer jauhnya untuk mengambil air setiap harinya. Ngangsu[1] untuk keperluan hidup Ki Demang dan para abdi dalemnya. Inilah pekerjaan yang ia lakoni selama puluhan tahun, sejak ia masih perjaka hingga mempunyai tiga anak.
Walau dengan penyakit budul di kakinya, ia tetap melakoni pekerjaannya itu tanpa pernah membantah sekalipun. Dawuh dari Ki Demang adalah ibarat sabda. Tidak bisa ditolak dalam keadaan apapun. Harus dikerjakan dengan baik sesuai keinginan si empunya perintah.
Namun, walau tidak pernah membantah, Budul sebenarnya sangat keberatan dengan pekerjaannya itu. “Sudah tahu kakiku budul begini, kok Si Demang masih saja menyuruhku untuk mengambil air”, keluhnya kepada istrinya. Begitulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut Si Budul setiap harinya. Sebenarnya istrinya juga merasa kasihan melihat kaki suaminya setiap hari tambah keras, bengkak, dan selalu berdarah. Tapi apa mau dikata, memang itulah yang harus ia kerjakan. Tidak ada pilihan lain.
Dan ketika kejengkelannya memuncak, Si Budul tak segan-segan mencaci dan memaki tuannya di depan istrinya itu. “Dasar Demang edan, Demang gendeng”, umpatnya sembari meludah pada suatu hari.  
Sementara itu, matahari semakin meninggi. Tubuh Si Budul mulai berkeringat. Ia membuka kancing atas bajunya. Dan mengibas-ngibaskan caping penutup kepala untuk mengusir hawa panas di tubuhnya. Jalan utama menuju gapura kadipaten pun tampak mulai sepi.
Ia tak jua mau beranjak dari tempatnya berteduh untuk segera memberikan surat itu kepada kanjeng adipati. Malah pikirannya teringat kembali peristiwa setelah ia memaki Demang di hadapan istrinya beberapa waktu lalu. Saat secara mendadak ia dipanggil Ki Demang. Belum tahu apa yang hendak dikatakan oleh tuannya itu, ia sudah ketakutan bukan kepalang. “Jangan-jangan Ndoro Demang mendengar umpatanku kemarin”, begitu bisiknya dalam hati. Maka, ketika sampai di hadapan tuannya, ia langsung bersujud di depan kaki Demang dan meminta maaf.
Dan ketika tahu bahwa Ki Demang memanggilnya bukan ingin memarahinya, tapi mendapat tugas baru mengantarkan surat kepada Kanjeng Adipati, seketika itu juga legalah hatinya.  Ia diberi bekal uang lima benggol[2].
Sekalipun demikian, ketika sampai di hadapan istrinya, ia tambah mengeluh. “Pancen Ki Demang ki wis picek, wis budheg[3]. Buat mengambil air saja kakiku sakitnya minta ampun, eh sekarang malah disuruh pergi ke kadipaten yang sangat jauh tempatnya. Dia benar-benar tidak punya perasaan,” keluhnya dengan penuh emosi.
Hari semakin siang. Panas matahari terasa menyengat. Si Budul masih terus melamun. Merenungi nasib yang dirasanya amatlah malang. Sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang putus asa.
***
“Ada apa Pak, kok sendirian di sini? Sepertinya sedang ada yang dipikirkan?” tanya seorang pemuda yang datang menghampirinya.
Si Budul sedikit kaget. Tapi ia kemudian tersenyum karena merasa ada yang memberi perhatian terhadapnya.
“Ini lho Nak, tuan saya itu tega sekali. Masak kaki sakit seperti ini disuruh melakukan perjalanan jauh untuk mengantar surat ke Kanjeng Adipati,” jawab Si Budul sembari menunjuk kakinya yang masih berlumuran darah.
Melihat hal itu, si pemuda merasa iba. Tapi ia merasa beruntung bisa bertemu dengan bapak tua ini. Ia jauh-jauh dari pelosok desa pergi ke kadipaten ini memang untuk mencari pekerjaan.
“Bagaimana kalau saya bantu bapak untuk mengantarkan surat ini ke Kanjeng Adipati?” ujar si pemuda mencoba menawarkan diri.
“Wah, kamu baik sekali Nak. Malah kebetulan,” jawab Si Budul dengan muka berseri-seri. “Tapi aku hanya diberi bekal tiga benggol, jadi yang satu benggol untukmu, bagaimana?”
Si pemuda mengangguk gembira.
Lalu berangkatlah si pemuda itu masuk ke dalam pendopo kadipaten yang sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat Si Budul beristirahat tadi. Setelah menyampaikan keperluannya kepada para penjaga gapura, maka ia diperkenankan masuk.
“Apakah kamu sudah tahu apa isi surat ini?” tanya Kanjeng Adipati kepada si pemuda usai membuka surat itu.
“Belum Kanjeng. Jika saya sudah membacanya, nyawa saya taruhannya”, jawab si pemuda masih tetap menunduk.  
Sembari membaca isi surat itu, Kanjeng Adiputi melirik kepada si pemuda itu yang menurutnya cukup tampan dan berbudi. Ia pun melirik kepada putrinya yang duduk di sampingnya, yang mukanya kelihatan berseri-seri dan matanya berkilat-kilat menatap pemuda itu.
“Sesuai isi surat ini, Ki Demang memerintahkan agar orang yang membawa surat ini dijadikan sebagai demang pengganti dirinya, karena dia sudah cukup tua dan tidak memiliki keturunan.”
“Dan untuk mengemban tugasmu sebagai demang di sana, maka kamu akan saya nikahkan dengan putri saya ini,” titah Kanjeng Adipati.
Si pemuda sangat terkejut sekaligus senang luar biasa. Ia merasa perjalanan jauhnya tidaklah sia-sia. Dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada ibunya yang telah merestui dan mendoakan perjalanannya.
Keesokan harinya, digelarlah pesta pernikahan antara si pemuda dengan putri Adipati. Hajat berlangsung meriah dan diadakan secara besar-besaran. Para petinggi kadipaten, priyayi, abdi dalem hingga rakyat jelata bersukacita.
Sementara itu, Si Budul sedang dalam perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir. Bagaimana caranya agar nanti ia tidak dipersalahkan oleh Ki Demang, karena telah menyuruh orang untuk menyampaikan surat itu. Padahal, sebelumnya ia telah berjanji akan memberikan langsung surat itu kepada Kanjeng Adipati.
Lalu setan pun membisikinya. Ia pun merobek-robek pakaiannya dan melumurinya dengan darah yang mengucur dari kakinya. Hal ini dilakukan agar nantinya Ki Demang menyangka bahwa ia telah diserang oleh kawanan perampok atau hewan buas.
***
Ki Demang yang sedang santai di pendopo rumahnya, nampak terkejut melihat ada serombongan prajurit dari kejauhan yang sedang mengiring seseorang. “Apa itu Si Budul yang telah diangkat oleh Kanjeng Adipati menjadi demang sebagai penggantiku ya?” begitu gumamnya dalam hati.
Tapi setelah rombongan itu kian mendekati pendoponya, ternyata orang yang diiring oleh prajurit tersebut bukanlah Si Budul, tapi seorang pemuda gagah dan tampan yang berpakaian ala seorang demang. Hal ini membuat Ki Demang semakin heran.
Setelah si pemuda itu menghadap Ki Demang, berceritalah ia tentang hal ikhwal pertemuannya dengan Si Budul. Ki Demang nampak terkejut dan sedikit pucat. Padahal ia menyuruh Si Budul mengantarkan surat itu agar Kanjeng Adipati berkenan mengangkatnya menjadi demang sebagai balas budi atas pengabdiannya selama ini kepadanya. Sambil manggut-manggut ia pun berkata lirih, “Berarti Si Budul memang tidak kuat kanggonan drajat[4]”.

*) Wirausahawan


[1] Mengambil air
[2] Mata uang pada zaman Belanda
[3] Memang Ki Demang  itu sudah buta, sudah tuli
[4] Menerima kehormatan atau kemuliaan