Cari Blog Ini

Senin, 19 Agustus 2019

Asal-Usul Nama Gagaksipat

KIAI GAGAK SIPAT
Oleh: Trimanto B. Ngaderi


Nama asli Kiai Gagak Sipat adalah Pangeran Gambir Anom yang menjadi Adipati Penamping pada masa Kasunanan Surakarta dijabat oleh Pakubuwono II (1729-1749 M). Ia terkenal sangat menentang kekuasaan raja karena keraton berpihak kepada VOC Belanda. Ia bersama-sama Raden Mas Garendi (Amangkurat V), Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan dibantu oleh orang-orang Cina melakukan pemberontakan melawan Pakubuwono II dan Belanda. Mereka berhasil merebut keraton Kartasura, sedangkan Pakubuwono II dan para pengikutnya berhasil lari ke Ponorogo.


Geger Pacinan
Berdasarkan kisah yang dituturkan dalam Bhabad Tanah Jawa, bahwa orang-orang Cina memiliki dendam kesumat terhadap VOC di Batavia. Hal ini dikarenakan pasukan VOC pernah merampas dan mencuri harta-benda milik mereka. Pasukan VOC juga pernah menganiaya dan membunuh orang-orang Cina, terutama yang tinggal di dusun dan pinggiran Batavia. Banyak  orang keturunan Cina yang lari untuk menyelamatkan diri. Peristiwa ini terjadi pada 1740 M.
Komunitas Cina di berbagai daerah pun turut mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap kekuasaan VOC, termasuk di Jawa (Mataram). Pemberontakan laskar Cina di Kartasura terjadi pada 30 Juni 1742. Raden Mas Garendi tampil sebagai pemimpin aksi ini.

R.M. Garendi sendiri merupakan cucu dari Amangkurat III (1702-1705). Amangkurat III dibuang VOC ke Sri Langka karena dikenal sangat anti-VOC. R.M.Garendi dijuluki sebagai Sunan Kuning, berasal dari kata “cun ling” yang berarti bangsawan tertinggi. Ada juga yang menyebut karena ia memimpin orang-orang yang berkulit kuning, maka disebut Sunan Kuning. Ia bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan R.M. Said mengobarkan perlawanan sengit  terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan  terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara. Pangeran Gambir Anom juga ikut terlibat dalam membantu R.M.Garendi.

Selanjutnya, para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan R.M. Garendi sebagai Sunan Kartasura dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngadulrohman Sayyidin Panatagama pada 6 April 1742 di Pati. Ketika itu, Amangkurat V baru berusia 16 tahun (sumber lain menyebutkan 12 tahun). Dia pun dianggap sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa”.

Penobatan Sunan Kuning merupakan simbol perlawanan rakyat Mataram yang merasa dikhianati oleh raja mereka, Pakubuwono II yang ternyata malah bersekutu dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Jawa-Tionghoa terhadap VOC. Akhirnya Sunan Kuning mengerahkan prajuritnya untuk menyerbu keraton Kartasura pada Juni 1742. Kapitan Sepanjang yang tadinya bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan perang.

Setelah melewati pertempuran yang sengit, akhirnya keraton dapat direbut dan Pakubuwono dan para pengikutnya melarikan diri ke Ponorogo.  Kemudian Sunan Kuning naik tahta sebagai raja Mataram terhitung 1 Juli 1742. Pada masa kepemimpinannya, Sunan Kuning pernah menyerang pasukan VOC di Semarang, akan tetapi dapat dikalahkan. Disusul pula dengan kekalahan-kekalahan berikutnya.
Pada November 1742, keraton Kartasura diserang dari tiga penjuru. Pakubuwono II dari arah Ngawi, VOC dari arah Ungaran, dan Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo. Karena terdesak, Sunan Kuning dan para pengikutnya mengungsi ke arah selatan (Gunung Kidul). Akhirnya, tahta Kartasura kembali ke pangkuan Pakubuwono II.

Pada peristiwa tersebut, korban banyak  berjatuhan di pihak Sunan Kuning. Banyak prajurit ditangkat kemudian dibunuh. Tentara VOC terus melakukan pengejaran terhadap para pengikut Sunan Kuning. Termasuk juga Pangeran Gambir Anom dan para pembantunya tidak lepas dari pengejaran itu.


Persembunyian Pangeran Gambir Anom
Pasca kekalahan Sunan Kuning, Pangeran Gambir Anom dan para pembantunya berhasil meloloskan diri dari kejaran musuh dan bersembunyi di sebuah gua. Ia tidak berani keluar dari gua tersebut untuk beberapa saat lamanya agar tidak ditemukan oleh pihak musuh.

Pada suatu dinihari, ia usai shalat tahajjud ia berdoa, “Ya Allah Yang Mahamelindungi, aku serahkan hidupku dan keselamatanku berada di tanganMu. Aku memohon petunjukmu,ke mana setelah ini aku melangkah.”

Usai berdoa, Pangeran Gambir Anom tertidur. Dalam tidurnya ia mendapat wangsit untuk meninggalkan gua persembunyiannya dan pergi ke arah timur dengan menyamar sebagai rakyat biasa, nanti akan diberikan petunjuk lagi tempat persembunyian yang baru.

Ketika Pangeran Gambir Anom dan para pengikutnya sedang melakukan perjalanan ke arah timur, ada seekor burung gagak yang terbang di atas mereka dan mengikuti mereka. Sepertinya burung gagak itu memberikan petunjuk ke mana arah yang harus dituju.

Pada akhirnya, sampailah Pangeran Gambir Anom di sebuah pohon beringin besar dan sangat lebat daunnya, dan burung gagak tadi juga berhenti hinggap di pohon tersebut. Ini menandakan bahwa perjalanan Pangeran Gambir Anom dan rombongan telah sampai pada tujuan. Burung gagak tadi “menyipat” atau memberi tanda arah perjalanan.
“Lihat, burung gagak yang sedari tadi mengikuti kita berhenti dan hinggap di pohon beringin itu. Berarti inilah tempat yang cocok dijadikan sebagai tempat tinggal kita,” ujar Pangeran Gambir Anom kepada para pengikutnya.

Di tempat itulah kemudian Pangeran Gambir Anom sebuah padepokan. Dukuh tempat tinggal Pangeran Gambir Anom kemudian dinamakan Kanoman. Sedangkan untuk mengenang jasa burung gagak yang menyipat tadi, maka desa itu dinamakan Desa Gagak Sipat.
Agar keberadaan Pangeran Gambir Anom tidak diketahui oleh Belanda maupun Pakubuwono II, maka namanya diubah menjadi “Kiai Gagak Sipat”. Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anak-anaknya agar dimakamkan di bawah pohon beringin dan nama Gambir Anom dirahasiakan, mengingat dia adalah seorang pemberontak yang melawan raja. Makamnya juga jangan sampai dipugar atau dimuliakan, agar identitasnya tidak terbongkar.  Biarlah kelak cucu-cucu keturunannya yang akan memugar dan memuliakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!