PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL
TELEVISI
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Ramadhan adalah bulan yang mulia, bulan penuh berkah, bulan penuh
ampunan. Selama sebulan penuh, umat Islam diwajibkan untuk melakukan puasa.
Sedangkan puasanya sendiri adalah sebagai sarana untuk menempa badan dan jiwa,
pensucian diri, dan peningkatan amal. Kaum Muslimin dianjurkan untuk
memperbanyak amalan ibadah vertical maupun ibadah horizontal demi tercapainya
derajat “la’allakum tattaquun” (Al
Baqarah: 183).
Banyak sekali amalan-amalan yang bisa dilakukan selama bulan puasa, di
antaranya shalat tarawih, tilawah Al Qur’an, memperbanyak sedekah, menjaga hati
dan lisan, aktivitas social dan masih banyak lagi. Apalagi Allah swt
menjanjikan pahala yang besar dan berlipat untuk setiap amalan yang dilakukan. Untuk
itu, di bulan puasa ini, umat Islam dianjurkan untuk mengurangi aktivitas kerja
dan berbagai aktivitas lainnya, agar punya waktu lebih banyak untuk beribadah
dan beramal.
Namun, pertanyaannya adalah benarkah selama Ramadhan umat Islam semakin
meningkat ritual ibadahnya? Atau malah ritual-ritual lainnya yang kurang atau
tidak bermanfaat yang justru semakin meningkat?
Godaan Televisi
Biasanya, satu atau dua minggu sebelum Ramadhan tiba, semua televisi
berlomba-lomba menawarkan berbagai program dan acara unggulan mereka selama
bulan puasa hingga masa Lebaran berakhir. Begitu gencarnya, sehingga iklan spot
program Ramadhan muncul hamper setiap saat, terutama prime time. Program yang ditawarkan amat beragam, mulai dari sinetron
religi, ceramah, tabligh akbar, panggung komedi, film tentang nabi/tokoh Islam,
music religi, program kuis, ziarah situs/tempat ibadah, kuliner, dan masih
banyak lagi.
Semua program yang ditawarkan dibuat semenarik mungkin, dikemas
sedemikian cantik, dan dikomunikasikan lewat iklan sebegitu menggoda. Tayangan
iklan yang begitu intens dan kontinyu mampu menancapkan pesan-pesan ke benak
pemirsa. Akibatnya, para pemirsa mulai memilih atau menjadwal program apa saja
yang hendak mereka tonton nantinya. Bahkan, ketika godaan program yang
ditawarkan begitu menyihir, sudah timbul rasa tidak sabar untuk segera
menontonnya. Dalam hal ini, Melvin de Fleur (1970: 129-131) menyatakan bahwa
pada dasarnya media massa lewat sajiannya yang selektif dan tekanannya pada
tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayaknya mengenai
topic-topik yang ditonjolkan yang didefinisikan dengan cara tertentu.
Selain penawaran dalam bentuk program atau acara tertentu, karena puasa
tidak jauh dengan urusan makan dan minum, maka iklan yang terkait dengan produk
makanan dan minuman terutama sajian untuk menu buka puasa dan sahur pun tak
kalah gencarnya. Seperti iklan sirup, snack, aneka kue, softdrink, fastfood,
serta iklan rumah makan dan restoran. Demikian pula iklan yang terkait dengan
momen Idul Fitri juga sudah ikut meramaikan iklan layar kaca. Seperti iklan
sarung, tempat wisata, hotel/penginapan, tarif seluler, dll.
Ritual Televisi Lebih Dominan
Pada sebagian kaum Muslimin, tawaran pahala berlipat-lipat dan janji
Allah swt akan indah dan nikmatnya surga, tak jua menarik perhatian dan minat
mereka untuk berbuat dan beramal lebih baik dan lebih banyak. Justru mereka
lebih tertarik pada berbagai program yang ditawarkan oleh televisi.
Implikasinya, bukanya mereka memperbanyak ibadah tapi malah memperbanyak
duduk di depan televisi. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengkonsumsi media.
Bahkan, ketika acara-acara tertentu ditayangkan pada jam prime time, berbarengan dengan waktu menjelang berbuka, saat shalat
Tarawih, atau sebelum dan sesudah Subuh; mereka rela menunda atau malah
mengabaikan ritual ibadah yang sangat dianjurkan tersebut.
Padahal, jika kita cermati lebih mendalam, semenarik atau sememikat
apapun program Ramadhan yang diklaim bernuansa religi, pada kenyataannya
sebagian besar masih jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Dalam sinetron
misalnya, walau judul atau ceritanya terkesan “islam(i)”, tapi pada hakikatnya
setali tiga uang dengan sinetron-sinetron pada umumnya di luar Ramadhan. Hanya
kemasan, tampilan, kostum, atau “manipulasi” tertentu saja yang berbeda,
substansinya tetap sama. Misalnya, para pemain yang tadinya tidak berjilbab
mendadak memakai busana muslimah. Yang tadinya tidak pernah menampilkan masjid
atau musholla, kini sengaja diikutsertakan. Sementara mengenai tema masih tidak
jauh dari seputar percintaan, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, kehidupan
glamor dan hedonis atau semacamnya.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah acara yang berbau komedi atau humor
begitu dominan. Hamper semua stasiun televise menayangkannya. Waktunya pun
mengambil jam prime time, sekitar
waktu berbuka, shalat Tarawih atau menjelang Subuh. Pertanyaannya adalah
mengapa prioritasnya berupa komedi, apakah umat Islam saat puasa sedang
mengalami kesedihan, musibah, atau masalah; sehingga membutuhkan hiburan?
Secara umum, acara-acara yang diklaim sebagai program religi tersebut
tetap saja kurang edukatif, kering akan nilai dan makna, apalagi mengusung
spiritualitas tertentu; alih-alih mampu mendorong umat untuk lebih rajin
beribadah. Yang terjadi justru sebaliknya, ritual ibadah yang seharusnya ia
lakukan selama bulan Ramadhan, telah tergantikan dengan ritual televisi yang
sebenarnya hanya membawa kenikmatan sesaat dan semu.
Penutup
Tentu tidaklah bijak jika kita menyalahkan pihak media atau televisi akan
berbagai kecenderungan dan fenomena di atas. Karena pada kenyataannya, kita
tidak akan mungkin mencegah atau menolak program-program yang disajikan oleh
televisi. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kemampuan kita dalam memilih
dan memilah acara apa saja yang perlu dan layak kita tonton. Filter dan
keputusan ada di tangan kita. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya
untuk menonton televisi. Cuma Islam memerintahkan agar kita bisa selektif dan pintar
memilih program mana saja yang bermanfaat dan berbobot.
Lagipula amatlah disayangkan, jika bulan mulia, yang Allah swt berikan
hanya sebulan dalam setahun, harus kita lewatkan begitu saja tanpa mengisinya
dengan berbagai amalan dan kegiatan yang bermanfaat; apalagi kita sia-siakan
dengan menggantinya dengan ritual televisi. Wallahua’lam bish-shawab.
*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena