Cari Blog Ini

Jumat, 16 Agustus 2013

PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI



PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Ramadhan adalah bulan yang mulia, bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan. Selama sebulan penuh, umat Islam diwajibkan untuk melakukan puasa. Sedangkan puasanya sendiri adalah sebagai sarana untuk menempa badan dan jiwa, pensucian diri, dan peningkatan amal. Kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah vertical maupun ibadah horizontal demi tercapainya derajat “la’allakum tattaquun” (Al Baqarah: 183).
Banyak sekali amalan-amalan yang bisa dilakukan selama bulan puasa, di antaranya shalat tarawih, tilawah Al Qur’an, memperbanyak sedekah, menjaga hati dan lisan, aktivitas social dan masih banyak lagi. Apalagi Allah swt menjanjikan pahala yang besar dan berlipat untuk setiap amalan yang dilakukan. Untuk itu, di bulan puasa ini, umat Islam dianjurkan untuk mengurangi aktivitas kerja dan berbagai aktivitas lainnya, agar punya waktu lebih banyak untuk beribadah dan beramal.
Namun, pertanyaannya adalah benarkah selama Ramadhan umat Islam semakin meningkat ritual ibadahnya? Atau malah ritual-ritual lainnya yang kurang atau tidak bermanfaat yang justru semakin meningkat?

Godaan Televisi
Biasanya, satu atau dua minggu sebelum Ramadhan tiba, semua televisi berlomba-lomba menawarkan berbagai program dan acara unggulan mereka selama bulan puasa hingga masa Lebaran berakhir. Begitu gencarnya, sehingga iklan spot program Ramadhan muncul hamper setiap saat, terutama prime time. Program yang ditawarkan amat beragam, mulai dari sinetron religi, ceramah, tabligh akbar, panggung komedi, film tentang nabi/tokoh Islam, music religi, program kuis, ziarah situs/tempat ibadah, kuliner, dan masih banyak lagi.
Semua program yang ditawarkan dibuat semenarik mungkin, dikemas sedemikian cantik, dan dikomunikasikan lewat iklan sebegitu menggoda. Tayangan iklan yang begitu intens dan kontinyu mampu menancapkan pesan-pesan ke benak pemirsa. Akibatnya, para pemirsa mulai memilih atau menjadwal program apa saja yang hendak mereka tonton nantinya. Bahkan, ketika godaan program yang ditawarkan begitu menyihir, sudah timbul rasa tidak sabar untuk segera menontonnya. Dalam hal ini, Melvin de Fleur (1970: 129-131) menyatakan bahwa pada dasarnya media massa lewat sajiannya yang selektif dan tekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayaknya mengenai topic-topik yang ditonjolkan yang didefinisikan dengan cara tertentu.
Selain penawaran dalam bentuk program atau acara tertentu, karena puasa tidak jauh dengan urusan makan dan minum, maka iklan yang terkait dengan produk makanan dan minuman terutama sajian untuk menu buka puasa dan sahur pun tak kalah gencarnya. Seperti iklan sirup, snack, aneka kue, softdrink, fastfood, serta iklan rumah makan dan restoran. Demikian pula iklan yang terkait dengan momen Idul Fitri juga sudah ikut meramaikan iklan layar kaca. Seperti iklan sarung, tempat wisata, hotel/penginapan, tarif seluler, dll.

Ritual Televisi Lebih Dominan
Pada sebagian kaum Muslimin, tawaran pahala berlipat-lipat dan janji Allah swt akan indah dan nikmatnya surga, tak jua menarik perhatian dan minat mereka untuk berbuat dan beramal lebih baik dan lebih banyak. Justru mereka lebih tertarik pada berbagai program yang ditawarkan oleh televisi.
Implikasinya, bukanya mereka memperbanyak ibadah tapi malah memperbanyak duduk di depan televisi. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengkonsumsi media. Bahkan, ketika acara-acara tertentu ditayangkan pada jam prime time, berbarengan dengan waktu menjelang berbuka, saat shalat Tarawih, atau sebelum dan sesudah Subuh; mereka rela menunda atau malah mengabaikan ritual ibadah yang sangat dianjurkan tersebut.
Padahal, jika kita cermati lebih mendalam, semenarik atau sememikat apapun program Ramadhan yang diklaim bernuansa religi, pada kenyataannya sebagian besar masih jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Dalam sinetron misalnya, walau judul atau ceritanya terkesan “islam(i)”, tapi pada hakikatnya setali tiga uang dengan sinetron-sinetron pada umumnya di luar Ramadhan. Hanya kemasan, tampilan, kostum, atau “manipulasi” tertentu saja yang berbeda, substansinya tetap sama. Misalnya, para pemain yang tadinya tidak berjilbab mendadak memakai busana muslimah. Yang tadinya tidak pernah menampilkan masjid atau musholla, kini sengaja diikutsertakan. Sementara mengenai tema masih tidak jauh dari seputar percintaan, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, kehidupan glamor dan hedonis atau semacamnya.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah acara yang berbau komedi atau humor begitu dominan. Hamper semua stasiun televise menayangkannya. Waktunya pun mengambil jam prime time, sekitar waktu berbuka, shalat Tarawih atau menjelang Subuh. Pertanyaannya adalah mengapa prioritasnya berupa komedi, apakah umat Islam saat puasa sedang mengalami kesedihan, musibah, atau masalah; sehingga membutuhkan hiburan?
Secara umum, acara-acara yang diklaim sebagai program religi tersebut tetap saja kurang edukatif, kering akan nilai dan makna, apalagi mengusung spiritualitas tertentu; alih-alih mampu mendorong umat untuk lebih rajin beribadah. Yang terjadi justru sebaliknya, ritual ibadah yang seharusnya ia lakukan selama bulan Ramadhan, telah tergantikan dengan ritual televisi yang sebenarnya hanya membawa kenikmatan sesaat dan semu. 

Penutup
Tentu tidaklah bijak jika kita menyalahkan pihak media atau televisi akan berbagai kecenderungan dan fenomena di atas. Karena pada kenyataannya, kita tidak akan mungkin mencegah atau menolak program-program yang disajikan oleh televisi. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kemampuan kita dalam memilih dan memilah acara apa saja yang perlu dan layak kita tonton. Filter dan keputusan ada di tangan kita. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk menonton televisi. Cuma Islam memerintahkan agar kita bisa selektif dan pintar memilih program mana saja yang bermanfaat dan berbobot.
Lagipula amatlah disayangkan, jika bulan mulia, yang Allah swt berikan hanya sebulan dalam setahun, harus kita lewatkan begitu saja tanpa mengisinya dengan berbagai amalan dan kegiatan yang bermanfaat; apalagi kita sia-siakan dengan menggantinya dengan ritual televisi. Wallahua’lam bish-shawab.

*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena