HAKIKAT KERJA DALAM AGAMA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Ada orang yang bekerja sekedar menjalankan
perintah, mengerjakan tugas. Ada lagi yang bekerja hanya ABS (Asal Bapak
Senang), menyenangkan atasannya. Ada pula yang bekerja cuma setengah hati,
tanpa kualitas tanpa spiritualitas.
Ada orang bekerja dengan cara merugikan orang
lain, berbuat curang, zhalim, hingga menipu. Pada tingkatan yang parah, bekerja
dengan cara yang tidak halal, seperti mencuri, baik mencuri dalam pengertian
yang sesungguhnya maupun mencuri secara “halus” atau kita kenal sebagai
korupsi.
Banyak orang menganggap bahwa bekerja hanya
sekedar mencari uang semata. Bekerja hanya untuk mencari penghidupan jasmaniah saja.
Bekerja cuma agar bisa makan dan tidak sampai kelaparan. Mereka memisahkan
urusan kerja dengan urusan ibadah. Mereka memisahkan antara urusan dunia dengan
urusan akhirat. Bahwa kerja tak ada hubungannya dengan kehidupan rohaniah.
Bahwa kerja terbebas dari nilai-nilai spiritual.
Hakikat Kerja
Secara etimologis, “kerja” berarti kegiatan melakukan sesuatu. Sebagai
kata dasar, istilah kerja mengandung suatu proses dalam melakukan suatu
tindakan atau perbuatan berkaitan dengan
gerakan yang dilakukan manusia. Menurut Abdul Aziz al-Qussy yang
menulis buku diterjemahkan oleh Zakiah Daradjat dengan judul Pokok-Pokok
Kesehatan Jiwa/Mental,menjelaskan bahwa perbuatan atau gerak yang terjadi
pada diri manusia terdiri dari dua jenis, yaitu pertama, perbuatan
atau gerak yang dilakukan dengan sengaja yang didasari oleh akal pikiran, kedua, perbuatan
atau gerak yang dilakukan secara spontan, seperti gerakan pada bayi.
Kerja yang didasari oleh akal untuk mencapai tujuan tertentu biasanya
diiringi proses melakukan tindakan atau pekerjaan secara sistematis dan
beraturan. Sisi beraturan satu
pekerjaan merupakan gambaran yang nyata bahwa setiap pekerjaan tersebut
mengandung makna tertentu. Sementara kerja sisi yang kedua hanya merupakan
gerak atau kerja yang terjadi tanpa dorongan atau proses berpikir.
Dalam Islam disebutkan “Tiadalah Kuciptakan jin
dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dari
ayat ini jelas bahwa manusia diciptakan ke dunia tiada lain hanya untuk
beribadah kepada Allah. Namun, tidak sedikit umat Islam yang menafsirkan ibadah
di sini hanya ibadah mahdhah (vertikal) semata, seperti shalat, puasa,
zakat, dzikir, atau membaca kitab suci. Padahal ibadah yang dimaksud mencakup
pula ibadah ghairu-mahdhah (horisontal), seperti belajar, bertetangga,
kegiatan sosial, dan tentunya bekerja.
Dalam Alkitab dinyatakan “Apa pun juga yang kamu
perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang
ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose
3:23-24). Dalam keyakinan Hindu pun, dalam Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa
“yadnya berasal dari karma”. Ini berarti bahwa dalam yadnya
perlu adanya kerja, karena dalam yadnya menuntut adanya perbuatan. Tuhan
menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan yadnya maka patutlah
manusia pun melaksanakan yadnya untuk memelihara kehidupan didunia ini.
Tanpa adanya yadnya maka perputaran roda kehidupan akan berhenti.
KERJA mendapat tempat dan perhatian khusus dalam
agama-agama. Orang yang meyakini Tuhan akan melakukan kerja. Kerja dan amal
shalih merupakan wujud iman seseorang. Bergerak dan berbuat sesuatu karena
dorongan ilahiyah.
Antara ibadah vertikal dan ibadah horisontal terkait
satu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Orang yang melakukan shalat
atau puasa, harus tergerak untuk bekerja dan beramal kebajikan untuk
kemaslahatan bersama. Sebaliknya, orang melakukan kerja harus diniatkan untuk
beribadah dan dalam rangka menebarkan nilai-nilai rohaniah dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah (bekerja) sejalan
dengan peran yang akan dijalankan manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi.
Ketika banyak PNS yang keluyuran saat jam kerja atau
pulang sebelum waktunya, reward yang tak berbanding lurus dengan
kinerja, anggota dewan yang absen rapat, mereka belum memahami hakikat kerja. Ketika
orang menghabiskan waktunya untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul,
nongkrong atau kongkow, main game, main kartu, bahkan hanya duduk berdiam diri;
ia sesungguhnya telah membuang-buang waktu dan mengingkari kerja.
Begitu banyak oknum di negeri ini yang sedikit bekerja
tapi mengharap hasil atau imbalan yang banyak, bahkan lebih dari banyak. Mereka
belum memberikan yang terbaik untuk negara, bahkan belum bekerja, tapi sudah
menuntut berbagai fasilitas dan tunjangan. Dan ketika keserakahan mereka telah
memuncak, tanpa malu dan tanpa ragu mereka menilep uang negara lewat korupsi.
Kerja adalah Amanah
Ketika orang memandang kerja bukan sebagai
amanah, tapi lebih kepada alat, kekuasaan, aji mumpung; maka sudah pasti
ia akan memanfaatkan pekerjaan itu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya,
untuk menumpuk kekayaan, atau memuaskan nafsu keserakahan. Bahkan, ia rela
melakukan tindakan amoral dan melawan hukum demi mencapai tujuannya, seperti
manipulasi, rekayasa, kolusi, markup, dan berbagai bentuk penyelewengan
lainnya.
Lain halnya yang memandang kerja sebagai
amanah, ia akan melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan berdedikasi, penuh
semangat dan antusias, produktif dan prestatif; serta yang amat vital adalah
bahwa pekerjaannya itu nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan
dengan semangat keimanan, lewat pekerjaannya ia akan berusaha memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.
Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan,
manusia harus melaksanakan tugas dan amanat kekhalifahannya dengan baik di muka
bumi. Hidup tidak hanya dimaknai sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi sebagai
amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Sekurang-kurangnya ada empat tingkatan
pemahaman manusia dalam memaknai pekerjaannya. Pertama, orang yang
bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Motif utama
pekerjaannya adalah fisik-material, atau sekedar mencari sesuap nasi. Ini
merupakan fenomena orang kebanyakan. Kedua, orang yang bekerja untuk
memperbanyak pertemanan (to love), ia memaknai pekerjaannya tak sekedar
mencari uang dan harta, tapi juga untuk memperbanyak pergaulan. Motif utamanya
adalah silaturrahmi, relasi sosial, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman
relations).
Ketiga, orang
bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai
sarana mencari ilmu, menambah wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Motif
utama tipe ketiga ini adalah intelektualisme. Terakhir, orang yang
bekerja untuk berbagi kebahagiaan dan mewariskan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
kepada orang lain (to leave legacy). Motif utamanya adalah spiritualisme
(rohaniyah). Tipe yang keempat inilah orang yang oleh Nabi saw disebut sebagai khairu
an-nas, orang yang paling besar manfaatnya bagi orang lain.
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir,
al-Manawi, manfaat tersebut bisa diberikan melalui ihsan, yaitu kemampuan kita
berbagi kebaikan kepada orang lain baik melalui harta (bil al-mal)
maupun kekuasan (bi al-jah) yang kita miliki. Sedangkan warisan kebaikan
bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi (bantuan material) maupun sesuatu
yang bernilai ukhrawi, seperti ilmu, ide, pemikiran, atau nasihat yang membawa
manusia kepada kebaikan.
Penutup
Sudah seyogyanya seorang yang mengaku beriman
dan beragama untuk memahami hakihat bekerja secara baik dan komprehensif agar
setiap hal yang dikerjakannya memiliki manfaat bagi dirinya sendiri, bagi orang
lain, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Bekerja adalah tugas
suci dan mulia yang harus diemban oleh setiap manusia dalam kedudukannya
sebagai khalifah di bumi, dan menjadi perpanjangan “tangan” Tuhan dalam
menegakkan kebenaran.