Cari Blog Ini

Jumat, 19 Juni 2015

Hakikat Kerja Dalam Agama




HAKIKAT KERJA DALAM AGAMA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Ada orang yang bekerja sekedar menjalankan perintah, mengerjakan tugas. Ada lagi yang bekerja hanya ABS (Asal Bapak Senang), menyenangkan atasannya. Ada pula yang bekerja cuma setengah hati, tanpa kualitas tanpa spiritualitas.
Ada orang bekerja dengan cara merugikan orang lain, berbuat curang, zhalim, hingga menipu. Pada tingkatan yang parah, bekerja dengan cara yang tidak halal, seperti mencuri, baik mencuri dalam pengertian yang sesungguhnya maupun mencuri secara “halus” atau kita kenal sebagai korupsi.
Banyak orang menganggap bahwa bekerja hanya sekedar mencari uang semata. Bekerja hanya untuk mencari penghidupan jasmaniah saja. Bekerja cuma agar bisa makan dan tidak sampai kelaparan. Mereka memisahkan urusan kerja dengan urusan ibadah. Mereka memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Bahwa kerja tak ada hubungannya dengan kehidupan rohaniah. Bahwa kerja terbebas dari nilai-nilai spiritual.

Hakikat Kerja
Secara etimologis, “kerja” berarti kegiatan melakukan sesuatu. Sebagai kata dasar, istilah kerja mengandung suatu proses dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan berkaitan dengan gerakan yang dilakukan manusia.  Menurut Abdul Aziz al-Qussy yang menulis buku diterjemahkan oleh Zakiah Daradjat dengan judul Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental,menjelaskan bahwa perbuatan atau gerak yang terjadi pada diri manusia terdiri dari dua jenis, yaitu pertama, perbuatan atau gerak yang dilakukan dengan sengaja yang didasari oleh akal pikiran, kedua, perbuatan atau gerak yang dilakukan secara spontan, seperti gerakan pada bayi. 
Kerja yang didasari oleh akal untuk mencapai tujuan tertentu biasanya diiringi proses melakukan tindakan atau pekerjaan secara sistematis dan beraturan. Sisi beraturan satu pekerjaan merupakan gambaran yang nyata bahwa setiap pekerjaan tersebut mengandung makna tertentu. Sementara kerja sisi yang kedua hanya merupakan gerak atau kerja yang terjadi tanpa dorongan atau proses berpikir.
Dalam Islam disebutkan “Tiadalah Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dari ayat ini jelas bahwa manusia diciptakan ke dunia tiada lain hanya untuk beribadah kepada Allah. Namun, tidak sedikit umat Islam yang menafsirkan ibadah di sini hanya ibadah mahdhah (vertikal) semata, seperti shalat, puasa, zakat, dzikir, atau membaca kitab suci. Padahal ibadah yang dimaksud mencakup pula ibadah ghairu-mahdhah (horisontal), seperti belajar, bertetangga, kegiatan sosial, dan tentunya bekerja.
Dalam Alkitab dinyatakan “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose 3:23-24). Dalam keyakinan Hindu pun, dalam Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa “yadnya berasal dari karma”.  Ini berarti bahwa dalam yadnya perlu adanya kerja, karena dalam yadnya menuntut adanya perbuatan. Tuhan menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan yadnya maka patutlah manusia pun melaksanakan yadnya untuk memelihara kehidupan didunia ini. Tanpa adanya yadnya maka perputaran roda kehidupan akan berhenti.
KERJA mendapat tempat dan perhatian khusus dalam agama-agama. Orang yang meyakini Tuhan akan melakukan kerja. Kerja dan amal shalih merupakan wujud iman seseorang. Bergerak dan berbuat sesuatu karena dorongan ilahiyah.
Antara ibadah vertikal dan ibadah horisontal terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Orang yang melakukan shalat atau puasa, harus tergerak untuk bekerja dan beramal kebajikan untuk kemaslahatan bersama. Sebaliknya, orang melakukan kerja harus diniatkan untuk beribadah dan dalam rangka menebarkan nilai-nilai rohaniah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah (bekerja) sejalan dengan peran yang akan dijalankan manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi.
Ketika banyak PNS yang keluyuran saat jam kerja atau pulang sebelum waktunya, reward yang tak berbanding lurus dengan kinerja, anggota dewan yang absen rapat, mereka belum memahami hakikat kerja. Ketika orang menghabiskan waktunya untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul, nongkrong atau kongkow, main game, main kartu, bahkan hanya duduk berdiam diri; ia sesungguhnya telah membuang-buang waktu dan mengingkari kerja.
Begitu banyak oknum di negeri ini yang sedikit bekerja tapi mengharap hasil atau imbalan yang banyak, bahkan lebih dari banyak. Mereka belum memberikan yang terbaik untuk negara, bahkan belum bekerja, tapi sudah menuntut berbagai fasilitas dan tunjangan. Dan ketika keserakahan mereka telah memuncak, tanpa malu dan tanpa ragu mereka menilep uang negara lewat korupsi.

Kerja adalah Amanah
Ketika orang memandang kerja bukan sebagai amanah, tapi lebih kepada alat, kekuasaan, aji mumpung; maka sudah pasti ia akan memanfaatkan pekerjaan itu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, untuk menumpuk kekayaan, atau memuaskan nafsu keserakahan. Bahkan, ia rela melakukan tindakan amoral dan melawan hukum demi mencapai tujuannya, seperti manipulasi, rekayasa, kolusi, markup, dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya.
Lain halnya yang memandang kerja sebagai amanah, ia akan melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan berdedikasi, penuh semangat dan antusias, produktif dan prestatif; serta yang amat vital adalah bahwa pekerjaannya itu nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan dengan semangat keimanan, lewat pekerjaannya ia akan berusaha memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.
Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, manusia harus melaksanakan tugas dan amanat kekhalifahannya dengan baik di muka bumi. Hidup tidak hanya dimaknai sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi sebagai amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Sekurang-kurangnya ada empat tingkatan pemahaman manusia dalam memaknai pekerjaannya. Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material, atau sekedar mencari sesuap nasi. Ini merupakan fenomena orang kebanyakan. Kedua, orang yang bekerja untuk memperbanyak pertemanan (to love), ia memaknai pekerjaannya tak sekedar mencari uang dan harta, tapi juga untuk memperbanyak pergaulan. Motif utamanya adalah silaturrahmi, relasi sosial, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations).
Ketiga, orang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai sarana mencari ilmu, menambah wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Motif utama tipe ketiga ini adalah intelektualisme. Terakhir, orang yang bekerja untuk berbagi kebahagiaan dan mewariskan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave legacy). Motif utamanya adalah spiritualisme (rohaniyah). Tipe yang keempat inilah orang yang oleh Nabi saw disebut sebagai khairu an-nas, orang yang paling besar manfaatnya bagi orang lain.
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat tersebut bisa diberikan melalui ihsan, yaitu kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain baik melalui harta (bil al-mal) maupun kekuasan (bi al-jah) yang kita miliki. Sedangkan warisan kebaikan bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi (bantuan material) maupun sesuatu yang bernilai ukhrawi, seperti ilmu, ide, pemikiran, atau nasihat yang membawa manusia kepada kebaikan.

Penutup
Sudah seyogyanya seorang yang mengaku beriman dan beragama untuk memahami hakihat bekerja secara baik dan komprehensif agar setiap hal yang dikerjakannya memiliki manfaat bagi dirinya sendiri, bagi orang lain, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Bekerja adalah tugas suci dan mulia yang harus diemban oleh setiap manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah di bumi, dan menjadi perpanjangan “tangan” Tuhan dalam menegakkan kebenaran.