Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Juli 2016

Memperoleh Lailatul Qadr Tanpa Ibadah

MEMPEROLEH LAILATUL QADR TANPA IBADAH
Oleh: Trimanto B. Ngaderi



Lailatul qadr adalah suatu malam yang selalu dinanti oleh kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Suatu malam kemuliaan yang dijanjikan oleh Allah swt setara dengan “seribu bulan”. Dikatakan bahwa malam tersebut hadir pada malam-malam ganjil terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam banyak yang melakukan i’tikaf di sepuluh hari itu agar memenangi lailatur qadr.
Dalam Q.S. Al Qadr dijelaskan bahwa pada malam tersebut Allah swt menurunkan para malaikat dan Ruh (Jibril) atas izinNya untuk mengatur segala urusan. Malam itu dipenuhi oleh kesejahteraan hingga fajar menyingsing. Kitab suci Al Qur’an juga diturunkan pada malam Qadr, sehingga umat Islam sering memperingatinya sebagai nuzulul Qur’an.
Keistimewaan dan kemuliaan yang ditawarkan lailatur qadr membuat umat Islam berlomba-lomba untuk memperbanyak amalan ibadah; mulai dari shalat sunat, shalat lail, tadarus Al Qur’an, berdzikir, berdoa, dan sebagainya. Tapi, benarkah setiap ibadah yang kita lakukan akan bernilai setara dengan seribu bulan (sekitar 84 tahun)? Apakah setiap mu’takif (pelaku i’tikaf) akan mendapatkan lailatur qadr?

Esensi Itikaf
I’tikaf secara bahasa artinya berdiam diri atau menetap. Berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjamaah (Imam Hanafi); berdiam diri di masjid dengan melakukan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah (Imam Syafi’i); dan aktivitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharap ridha Allah (buku “Tuntunan Ramadhan” Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah). Di luar Islam, ada ada semacam i’tikaf seperti meditasi, kontemplasi, tapabrata, dan lain-lain; namun cara dan tujuannya berbeda.
I’tikaf  boleh dilakukan kapan saja, tidak harus di bulan Ramadhan. Lamanya waktu i’tikaf pun tidak ada ketentuan yang pasti; semalam, sehari-semalam, sejam, dua jam, dan seterusnya. Menurut Al Baqarah: 187 dan beberapa hadits, i’tikaf dilakukan di masjid jami’. Walau ada yang berpendapat i’tikaf  boleh dilakukan di rumah atau tempat lain yang biasa dipakai untuk shalat.
Rasulullah saw sebelum menjadi Nabi sering melakukan i’tikaf di gua Hira’. Tujuannya adalah untuk membersihkan hati, merenung, menemukan kebenaran, dan menangkap sinyal-sinyal dari Tuhan. Hingga pada puncaknya, Muhammad mencapai pencerahan dan Allah berkenan menurunkan wahyu untuk pertama kalinya.
Para nabi terdahulu pun melakukan i’tikaf. Ibrahim as melakukan perenungan di tengah gelapnya paganisme Babilonia untuk mencari siapa Tuhan yang sebenarnya. Musa as menepi di atas gunung Sinai selama 40 malam untuk menerima Taurat. Bahkan, Sidarta Gautama mencapai pencerahan juga lewat i’tikaf (meditasi).
Salah satu tujuan melakukan i’tikaf adalah untuk mendapatkan lailatur qadr. Terutama di malam ganjil, orang memperbanyak shalat lail, tadarus Al Qur’an, berdzikir, berdoa, atau bersedekah; bahkan ada yang cuma sekedar tidur beramai-ramai di masjid. Orang disibukkan oleh berbagai macam amal ibadah, sehingga kegiatan i’tikaf, berdiam diri tidak melakukan kegiatan atau aktivitas apapun, malah terlewatkan. Inilah salah kaprah dalam memaknai i’tikaf dan lailatul qadr.
Lebih parah lagi, kita disibukkan dengan urusan mengejar pahala. Fokus kepada hitungan matematis pahala, bukan fokus kepada Allah-nya. Akhirnya kita cenderung mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Kita segera berpuas diri dan berbangga-bangga karena telah melakukan ibadah ini dan itu, sekian dan sekian. Makanya tak jarang kita menjumpai orang yang shalat dengan gerakan yang cepat, membaca Al Qur’an dengan irama berlari, dzikir yang ngebut.
Tidak salah jika kita memperbanyak amal ibadah, tapi jika kita kembalikan kepada esensi i’tikaf itu sendiri, maka kesibukan kita beribadah seringkali melupakan kegiatan i’tikaf dalam rangka menangkap lailatul qadr. Karena, lailatul qadr hanya bisa kita tangkap atau rasakan saat kita dalam kondisi diam, hening, dan “kosong”.

Cara Beri’tikaf
Caranya cukup mudah dan sederhana. Kita berdiam diri di masjid dengan cara duduk bersila, duduk seperti takhiyat, atau cara duduk lainnya yang dirasa nyaman dan santai, tapi penuh kosentrasi, fokus, dan khusyu’. Kosongkan pikiran dari hal-hal yang bersifat duniawi. Niatkan dalam hati untuk menghadap Allah, mendekat kepada Allah, dan berkomunikasi dengan-Nya.
Satukan hati dan pikiran agar tersambung dengan Allah. Mulailah rasakan kehadiranNya. Rasakan kebersamaan dengan-Nya. Rasakan bahwa seakan ruh telah berpisah dari raga, dan bersatu dengan Sang Pemilik-nya. Sadarilah ke-Mahabesaran-Nya.
Ketika hati dan pikiran sudah tersambung kepada Allah, bolehlah kita menyampaikan segala hajat kita, harapan-harapan  kita, permohonan kita, termasuk masalah-masalah yang sedang kita hadapi. Selain itu, kita bisa mengisinya dengan mengucapkan dzikir dalam hati, yang dibaca secara berulang-ulang.
Hingga pada titik tertentu, kita akan mencapai suatu keheningan yang mendalam, kesunyian, dan juga kekosongan. Kita pasrahkan diri kita sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Hidup dan mati kita, rezeki kita, keselamatan kita, masa depan kita, dan seterusnya. Kepasrahan secara total. Ikhlaskan segala yang telah terjadi. Syukurilah apa yang sudah kita terima dan kita miliki. Akuilah segala dosa yang telah kita perbuat untuk memohon pengampunanNya.
Pada titik berikutnya, ketenangan dan kedamaian akan menghampiri kita. Kita akan memperoleh kebahagiaan, memperoleh semangat dan kekuatan baru. Pada fase inilah, (semoga) Tuhan berkenan memberikan petunjuk, anugerah, ilmu, ilham secara khusus kepada kita. Hati dan jiwa kita telah siap menyambut kehadiran para malaikat dan Ruh yang membawa rahmat dan kebaikan. Jiwa kita mampu menangkap keutamaan lailatur qadr.
Akhir kata, untuk memperoleh lailatul qadr tidak harus dengan melakukan berbagai macam ibadah. Cukup duduk berdiam diri di masjid tanpa melakukan aktivitas apapun. Lamanya berdiam diri disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi kita masing-masing. Wallahu a’lam bish-shawab.