Cari Blog Ini

Selasa, 11 Juni 2013

JUJUR, MODAL DASAR KEHIDUPAN



JUJUR, MODAL DASAR KEHIDUPAN
Oleh: Trimanto*)

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah dari khalifah Umar ra dengan gadis penjual susu. Pada suatu malam, Umar ra sampai di sebuah rumah yang sangat sederhana. Dari dalam rumah terdengar percakapan antara ibu dan anak perempuannya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu murni yang hendak dijual keesokan paginya dengan air agar menjadi lebih banyak. Namun si anak menolak dengan alasan bahwa khalifah Umar melarang mencampur susu murni dengan air, karena hal itu merupakan perbuatan curang.
Sang ibu tetap bersikukuh meminta anaknya mencampur susu dengan air karena merasa khalifah tidak berada di sana dan tidak melihat perbuatannya. Hingga akhirnya si anak menjawab, “Ibu, Umar memang tidak melihat kita. Namun Allah, Tuhannya Umar dan Tuhan kita mengetahui apapun yang kita kerjakan”. Singkat cerita, khalifah Umar melamar gadis itu dan menikahkan dengan putranya yang bernama Asim.
Jujur atau kejujuran, barangkali merupakan hal atau barang yang sangat langka saat ini. Terlebih pada zaman globalisasi seperti sekarang ini, di mana orientasi materi dan kedudukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Tidak sedikit orang yang ingin cepat kaya atau meraih jabatan tertentu dengan cara yang cepat, instan dan tentu tidak jujur. Ditambah lagi, ia tidak memiliki pondasi nilai-nilai agama yang kuat dalam dirinya.
Dan pada taraf tertentu, perbuatan tidak jujur sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Dilakukan banyak orang dan dilakukan di banyak tempat, bahkan dilakukan secara berjamaah. Berbuat jujur dinilai telah menyia-nyiakan kesempatan, membuang peluang yang ada, perbuatan bodoh, dicap pegawai munafik dan sebagainya. Lebih parahnya lagi, orang yang jujur malah dijauhi, dikucilkan, dan kalau perlu disingkirkan.

Penyebab Ketidakjujuran
Setidaknya ada lima hal yang mendorong manusia untuk berbuat tidak jujur. Pertama, keserakahan. Manusia yang telah dihinggapi sifat ini, akan merasa tidak pernah puas terhadap apa yang telah dimilikinya. Di sepanjang hidupnya, ia akan selalu merasa kurang. Ia akan terus mencari, mengumpulkan, dan menumpuk hal-hal yang dapat memuaskan syahwat duniawinya. Dan jika keserakahannya sudah kronis, ia akan melakukan apa saja untuk meraih keinginannya, termasuk berbuat tidak jujur.
Kedua, menganggap manusia hanyalah makhluk fisik semata. Orang yang berparadigma demikian, seumur hidupnya yang ia pikir dan usahakan hanyalah untuk kepentingan dan kebutuhan jasmaniah semata. Ia menganggap bahwa hidup hanya butuh makan, pakaian, tidur, seks, dan harta benda. Hidupnya hanya disibukkan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahwa hidup ini cuma sekali, di dunia ini saja. Hidup hanya untuk bersenang-senang, berpesta, memuaskan hawa nafsu. Pola pikir demikian bisa memicu seseorang berbuat tidak jujur.
Ketiga, mental kelangkaan (scarcity mentality). Adalah manusia yang berwatak serigala. Serigala saja tidak pernah mau memakan serigala lain, tapi manusia tega “memakan” manusia lainnya. Kisah kedengkian 10 bersaudara Nabi Yusuf as adalah contohnya. Hanya disebabkan oleh rasa kecemburuan dan iri hati, mereka rela menyakiti saudara sendiri dengan memasukkan Yusuf ke dalam sumur dan mengatakan kepada ayah mereka (Nabi Ya’qub as) bahwa Yusuf  telah dimakan serigala. Padahal serigalanya adalah mereka sendiri. Inilah bentuk kebohongan besar atau ketidakjujuran yang diabadikan dalam Al Qur’an.
Keempat, paradigma “memiliki” dan “menjadi”. Paradigma memiliki selalu menganggap bahwa kebahagiaan hidup tergantung pada apa-apa yang kita miliki. Harta-benda, jabatan, anak-istri, perusahaan, kendaraan dll. Agar memiliki lebih banyak, maka ia akan mengumpulkan dan mencari yang lebih banyak lagi. Dan jika sudah gelap mata, untuk mendapatkan semua itu bisa saja ia melakukan tindak kecurangan, penipuan, dan ketidakjujuran.
Terakhir, mengira Allah tak melihat. Biasanya inilah penyebab terbesar orang melakukan korupsi. Ketika melakukan korupsi, ia menyangka kalau tidak ada orang yang melihat. Mereka hanya takut kalau ketahuan orang, tapi tak pernah takut kalau ketahuan Allah. Ia seakan telah lupa atau malah sengaja lupa, bahwa Allah ada di mana-mana, Allah Mahamelihat setiap perbuatan kita. Padahal ia juga rajin shalat, puasa, zakat, dzikir dan ibadah-ibadah lainnya; tapi ketika melakukan korupsi, Allah dicampakkan atau dianggap tidak ada.

Mengapa kita harus jujur?
Pada hakikatnya jujur adalah fitrah manusia. Hati dan jiwa manusia tak pernah dusta. Bisikan dan rayuan setanlah yang membuat hati dan jiwa berpaling dari kebenaran. Jujur juga merupakan parameter utama kemuliaan akhlak seseorang. Serajin apapun ibadah seseorang, sepandai apapun ilmu seseorang, dan sebesar apapun harta-benda seseorang, jika ia suka berdusta maka semua itu tiada nilainya.
Seorang nabi harus punya sifat shiddiq, dapat dipercaya. Nabi Muhammad saw dipercaya Khadijah untuk menjualkan barang dagangannya ke negeri Syam karena kejujurannya. Walau ia dibenci sebagian besar penduduk Mekkah, tapi mereka tetap tak mengingkari kejujuran Muhammad. Oleh karena itu, umat Islam harus mencontoh sifat jujur yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam surat Al-Anfal: 58 Allah berfirman, “…..Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat khianat.” Dalam surat Al Baqarah: 282, secara eksplisit Allah memerintahkan kita untuk jujur dalam bermuamalah (berhubungan dengan sesama manusia di berbagai bidang).
Melakukan perbuatan jujur bagi sebagian besar orang mungkin terasa berat. Terlebih jika ia berada di lingkungan yang penuh kebohongan dan kemunafikan. Walau ia tidak ikut berbuat dusta, tapi ia memilih untuk diam, memilih untuk selamat; tanpa berani menegur atau berbuat sesuatu agar lingkungannya bisa berubah. Ini berarti bahwa jujur saja belumlah cukup, perlu keberanian untuk mengungkapkan dan mengajak orang lain.
Menyampaikan kejujuran dan kebenaran memang sangat pahit. Tidak semua orang bisa melakukannya. Diperlukan keimanan yang kokoh dan keberanian khusus, karena kejujuran seringkali memiliki risiko. Namun, sekalipun demikian, jujur adalah sifat yang mulia dan luhur. Sesuatu yang terasa pahit tapi berbuah manis. Jujur adalah modal dasar untuk meraih kepercayaan dari orang lain. Jujur juga merupakan aset berharga untuk meraih kebahagiaan hidup. Semua orang, siapapun dan di manapun ia, selalu mendambakan kejujuran. Bahkan, bagi orang yang paling jahat sekalipun, ia tetap membutuhkan seorang kawan yang jujur.
Akhirnya, siapapun kita, marilah kita berusaha untuk selalu berbuat jujur dan benar. Jika Anda seorang pejabat, maka jadilah pejabat yang tidak korup dan mengutamakan kepentingan rakyat. Jika Anda seorang pedagang atau pengusaha, jadilah pedagang yang tidak mengurangi timbangan. Jika Anda seorang penulis, jadilah penulis yang tidak menjiplak karya orang lain. Dan sebagainya.  

*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar Pena

MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?



MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Secara dasar, rumah berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas, hujan, hewan liar, atau orang jahat. Lebih dari itu, rumah adalah tempat kita melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak kita. Rumah sebagai tempat berkumpul, bercengkerama, bermain, dan berbagai aktivitas keluarga lainnya. Rumah juga kita fungsikan sebagai tempat berkumpul dengan sanak-saudara, famili, atau keluarga dekat untuk membangun silaturrahmi, komunikasi, keakraban, kasih-sayang dan sebagainya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bersifat pribadi. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap rumah sebagai benar-benar milik pribadi. Hal ini tampak pada kecenderungan orang sekarang dalam membangun sebuah rumah. Depan rumah atau beranda dipagar tinggi, dinding paling atas diberi beling atau kawat berduri, jika perlu ada anjing penunggu pintu gerbang dan juga satpam pribadi. Dan untuk memanggil yang empunya rumah harus dengan bel, bukan dengan salam atau panggilan suara khas kita.

Apakah hal tersebut semata-mata hanya untuk alasan keamanan semata? Memang seberapa banyak harta-benda yang ada di dalamnya? Seberapa terancamkah para penghuni rumah tersebut? Atau malah menunjukkan sifat penghuninya yang individualis atau antisosial?

Lalu, bagaimana dengan para tetangga atau orang lainnya yang hendak berkunjung ke rumah dengan desain seperti di atas? Tentu ada yang merasa takut (terutama dengan anjing galaknya), merasa segan, malu, tidak enak, ragu dan sebagainya. Paling banter, orang yang mau datang ke rumah tersebut hanya orang-orang yang benar-benar ada keperluan dengan si penghuni rumah, itu pun sebagian dari mereka mungkin merasa terpaksa untuk masuk ke rumah tersebut.

Rumah-rumah di Desa
Fenomena membangun rumah seperti tersebut di atas ternyata tidak saja melanda di daerah perkotaan, di pedesaan pun kecenderungan tersebut mulai ada. Dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat pedesaan atau keberhasilan mereka di daerah perantauan, mereka pun membangun rumah di pedesaan dengan dipagar tinggi atau tembok yang ada belingnya.

Rumah desa pada zaman dulu besar-besar dan luas. Selain memang bisa untuk menampung hasil panen, ruangan tengah sengaja dibuat sangat lebar (luas) agar bisa dipakai untuk acara dalam skala besar, seperti selamatan, kenduri, acara kegamaan, kumpulan, hingga acara khitanan dan pernikahan.

Para sanak saudara dan tetangga pun masih sering berkumpul di serambi atau ruang tengah, sekedar untuk ngobrol sembari menikmati teh atau ubi rebus. Tak jarang, salah seorang di antara mereka mendongeng atau bercerita. Tampak suasana yang akrab, rukun dan santai. Bahkan, ada yang sudah menganggap rumah saudara atau tetangga sebagai rumah sendiri. Mereka sering menginap atau menjaga rumahnya ketika ditinggal pergi.

Lebih dari itu, malah ada yang memfungsikan rumahnya sebagai sarana aktivitas sosial. Misalnya, tempat belajar membaca Al Qur’an, belajar kerajinan, belajar seni, tempat diskusi atau rembug desa. Orang-orang yang rumahnya berfungsi sosial, rela jika rumahnya menjadi kotor, suara berisik, istirahatnya jadi terganggu, atau harus menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya.

Bagaimanakah dengan rumah kita?
Mungkin suasana rumah yang terbuka, saling kumpul, saling bertandang, dan rumah yang berfungsi sosial sudah jarang kita temui sekarang ini; kecuali di daerah pedesaan yang masih amat terpencil dan pelosok.

Melihat kondisi seperti di atas, kita tidak bisa menyalahkan perkembangan zaman atau peningkatan taraf ekonomi semata. Kita, para manusia sebagai pemilik rumah pun punya andil terhadap perubahan tersebut. Pertama, sifat individualis. Kita merasa bahwa rumah kita adalah benar-benar milik kita pribadi. Milik privat. Kita kurang suka jika ada yang datang, apalagi hanya sekedar untuk silaturrahmi atau ngobrol, tidak ada keperluan tertentu. atau kita hanya menemui tamu kita di depan atau beranda rumah. Atau kita tahu jika di beranda rumah kita ada yang berteduh karena kehujanan, tapi kita enggan untuk mengajaknya masuk ke rumah.    

Kedua, berorientasi pada materi. Kita lebih suka menjadikan ruang tamu atau ruang depan sebagai kios, toko, atau tempat usaha; atau menyewakan kamar atau rumah kosong kita kepada orang lain, daripada memberikan kepada saudara kita yang belum punya rumah. Kita juga sering menolak jika ada pengemis atau peminta sumbangan yang datang ke rumah kita. Apalagi jika rumah kita difungsikan secara sosial, tentu akan dianggap merugikan atau tidak memberikan keuntungan materi.

Ketiga, rumah dianggap sebagai tempat tinggal semata. Walaupun rumahnya bagus dan besar, megah dan mewah, lengkap dengan sarana seperti taman, kolam renang, kebun dan sebagainya; rumah tak lebih dari sekedar tempat istirahat, tempat berteduh, tempat eksistensi dan status sosial, tempat mampir kalau kita sangat sibuk di luar. Rumah belum bisa berfungsi sebagai tempat berkumpul dan menjalin kebersamaan, media pendidikan dan pembelajaran, apalagi sebagai ruang sosial yang bermanfaat bagi orang banyak.

Fungsi rumah dulu dan sekarang sudah mengalami banyak pergeseran. Banyak yang telah hilang dan berubah dari keberadaan rumah kita. Dan jika sekarang masih ada rumah yang berfungsi sosial, itu suatu hal yang patut dibanggakan. Rumah yang bisa memberi makan orang yang lapar, memberi ilmu bagi orang yang bodoh, tempat melatih keterampilan, tempat yang nyaman dan damai bagi yang sedang punya masalah. Semoga rumah kita termasuk dalam kategori ini. Amin.

*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar Pena