JUJUR, MODAL DASAR KEHIDUPAN
Oleh: Trimanto*)
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah dari khalifah Umar
ra dengan gadis penjual susu. Pada suatu malam, Umar ra sampai di sebuah rumah
yang sangat sederhana. Dari dalam rumah terdengar percakapan antara ibu dan
anak perempuannya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu murni yang
hendak dijual keesokan paginya dengan air agar menjadi lebih banyak. Namun si
anak menolak dengan alasan bahwa khalifah Umar melarang mencampur susu murni
dengan air, karena hal itu merupakan perbuatan curang.
Sang ibu tetap bersikukuh meminta anaknya mencampur susu dengan air
karena merasa khalifah tidak berada di sana dan tidak melihat perbuatannya.
Hingga akhirnya si anak menjawab, “Ibu,
Umar memang tidak melihat kita. Namun Allah, Tuhannya Umar dan Tuhan kita
mengetahui apapun yang kita kerjakan”. Singkat cerita, khalifah Umar
melamar gadis itu dan menikahkan dengan putranya yang bernama Asim.
Jujur atau kejujuran, barangkali merupakan hal atau barang yang sangat
langka saat ini. Terlebih pada zaman globalisasi seperti sekarang ini, di mana
orientasi materi dan kedudukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Tidak sedikit
orang yang ingin cepat kaya atau meraih jabatan tertentu dengan cara yang cepat,
instan dan tentu tidak jujur. Ditambah lagi, ia tidak memiliki pondasi
nilai-nilai agama yang kuat dalam dirinya.
Dan pada taraf tertentu, perbuatan tidak jujur sudah dianggap sebagai
suatu hal yang biasa. Dilakukan banyak orang dan dilakukan di banyak tempat,
bahkan dilakukan secara berjamaah. Berbuat jujur dinilai telah menyia-nyiakan
kesempatan, membuang peluang yang ada, perbuatan bodoh, dicap pegawai munafik dan
sebagainya. Lebih parahnya lagi, orang yang jujur malah dijauhi, dikucilkan,
dan kalau perlu disingkirkan.
Penyebab Ketidakjujuran
Setidaknya ada lima hal yang mendorong manusia untuk berbuat tidak
jujur. Pertama, keserakahan. Manusia
yang telah dihinggapi sifat ini, akan merasa tidak pernah puas terhadap apa
yang telah dimilikinya. Di sepanjang hidupnya, ia akan selalu merasa kurang. Ia
akan terus mencari, mengumpulkan, dan menumpuk hal-hal yang dapat memuaskan syahwat
duniawinya. Dan jika keserakahannya sudah kronis, ia akan melakukan apa saja
untuk meraih keinginannya, termasuk berbuat tidak jujur.
Kedua, menganggap manusia hanyalah makhluk fisik
semata. Orang yang berparadigma demikian, seumur hidupnya yang ia pikir dan
usahakan hanyalah untuk kepentingan dan kebutuhan jasmaniah semata. Ia
menganggap bahwa hidup hanya butuh makan, pakaian, tidur, seks, dan harta
benda. Hidupnya hanya disibukkan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahwa
hidup ini cuma sekali, di dunia ini saja. Hidup hanya untuk bersenang-senang,
berpesta, memuaskan hawa nafsu. Pola pikir demikian bisa memicu seseorang
berbuat tidak jujur.
Ketiga, mental kelangkaan (scarcity mentality). Adalah manusia yang berwatak serigala. Serigala
saja tidak pernah mau memakan serigala lain, tapi manusia tega “memakan”
manusia lainnya. Kisah kedengkian 10 bersaudara Nabi Yusuf as adalah contohnya.
Hanya disebabkan oleh rasa kecemburuan dan iri hati, mereka rela menyakiti
saudara sendiri dengan memasukkan Yusuf ke dalam sumur dan mengatakan kepada
ayah mereka (Nabi Ya’qub as) bahwa Yusuf telah dimakan serigala. Padahal serigalanya
adalah mereka sendiri. Inilah bentuk kebohongan besar atau ketidakjujuran yang
diabadikan dalam Al Qur’an.
Keempat, paradigma “memiliki” dan “menjadi”. Paradigma
memiliki selalu menganggap bahwa kebahagiaan hidup tergantung pada apa-apa yang
kita miliki. Harta-benda, jabatan, anak-istri, perusahaan, kendaraan dll. Agar
memiliki lebih banyak, maka ia akan mengumpulkan dan mencari yang lebih banyak
lagi. Dan jika sudah gelap mata, untuk mendapatkan semua itu bisa saja ia
melakukan tindak kecurangan, penipuan, dan ketidakjujuran.
Terakhir, mengira Allah tak melihat. Biasanya inilah
penyebab terbesar orang melakukan korupsi. Ketika melakukan korupsi, ia
menyangka kalau tidak ada orang yang melihat. Mereka hanya takut kalau ketahuan
orang, tapi tak pernah takut kalau ketahuan Allah. Ia seakan telah lupa atau
malah sengaja lupa, bahwa Allah ada di mana-mana, Allah Mahamelihat setiap
perbuatan kita. Padahal ia juga rajin shalat, puasa, zakat, dzikir dan
ibadah-ibadah lainnya; tapi ketika melakukan korupsi, Allah dicampakkan atau
dianggap tidak ada.
Mengapa kita harus jujur?
Pada hakikatnya jujur adalah fitrah manusia. Hati dan jiwa manusia tak
pernah dusta. Bisikan dan rayuan setanlah yang membuat hati dan jiwa berpaling
dari kebenaran. Jujur juga merupakan parameter utama kemuliaan akhlak
seseorang. Serajin apapun ibadah seseorang, sepandai apapun ilmu seseorang, dan
sebesar apapun harta-benda seseorang, jika ia suka berdusta maka semua itu
tiada nilainya.
Seorang nabi harus punya sifat shiddiq,
dapat dipercaya. Nabi Muhammad saw dipercaya Khadijah untuk menjualkan barang
dagangannya ke negeri Syam karena kejujurannya. Walau ia dibenci sebagian besar
penduduk Mekkah, tapi mereka tetap tak mengingkari kejujuran Muhammad. Oleh
karena itu, umat Islam harus mencontoh sifat jujur yang dicontohkan oleh
Rasulullah. Dalam surat Al-Anfal: 58 Allah berfirman, “…..Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat khianat.”
Dalam surat Al Baqarah: 282, secara eksplisit Allah memerintahkan kita untuk
jujur dalam bermuamalah (berhubungan dengan sesama manusia di berbagai bidang).
Melakukan perbuatan jujur bagi sebagian besar orang mungkin terasa
berat. Terlebih jika ia berada di lingkungan yang penuh kebohongan dan
kemunafikan. Walau ia tidak ikut berbuat dusta, tapi ia memilih untuk diam,
memilih untuk selamat; tanpa berani menegur atau berbuat sesuatu agar lingkungannya
bisa berubah. Ini berarti bahwa jujur saja belumlah cukup, perlu keberanian
untuk mengungkapkan dan mengajak orang lain.
Menyampaikan kejujuran dan kebenaran memang sangat pahit. Tidak semua
orang bisa melakukannya. Diperlukan keimanan yang kokoh dan keberanian khusus,
karena kejujuran seringkali memiliki risiko. Namun, sekalipun demikian, jujur
adalah sifat yang mulia dan luhur. Sesuatu yang terasa pahit tapi berbuah
manis. Jujur adalah modal dasar untuk meraih kepercayaan dari orang lain. Jujur
juga merupakan aset berharga untuk meraih kebahagiaan hidup. Semua orang,
siapapun dan di manapun ia, selalu mendambakan kejujuran. Bahkan, bagi orang
yang paling jahat sekalipun, ia tetap membutuhkan seorang kawan yang jujur.
Akhirnya, siapapun kita, marilah kita berusaha untuk selalu berbuat
jujur dan benar. Jika Anda seorang pejabat, maka jadilah pejabat yang tidak
korup dan mengutamakan kepentingan rakyat. Jika Anda seorang pedagang atau
pengusaha, jadilah pedagang yang tidak mengurangi timbangan. Jika Anda seorang
penulis, jadilah penulis yang tidak menjiplak karya orang lain. Dan sebagainya.
*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar
Pena