Cari Blog Ini

Kamis, 03 Oktober 2019

R. Ng. Yosodipuro, Senior Pujangga Mataram


R. Ng. YOSODIPURO I



R. Ng. Yosodipuro merupakan pujangga ternama di Kasunanan Surakarta. Ia masih memiliki garis keturunan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Ia lahir pada tahun 1729 M di Pengging. Ayahnya bernama Raden Tumenggung Padmonegoro dan ibunya Siti Maryam (Nyi Ageng Padmonegoro). Pada waktu mudanya, Padmonegoro adalah seorang prajurit Mataram yang pernah bersama Sultan Agung menyerbu VOC di Batavia. Atas jasanya dalam peperangan tersebut, ia diangkat sebagai Adipati Pekalongan.

Pada suatu malam, Padmonegoro merasa heran karena di halaman rumahnya berkumpul banyak orang. Setelah ditanyakan, mereka menjawab bahwa telah melihat ndaru[1] sebesar cengkir (kelapa muda) yang jatuh di atas rumah Padmonegoro. Mendengar hal itu, ia berharap semoga kejadian tersebut merupakan pertanda kebaikan bagi keluarganya.

Tidak berselang lama dari peristiwa tersebut, Siti Maryam mengandung lagi. Menjelang kelahiran si bayi, waktu itu hari Kamis malam Jum’at Pahing Padmonegoro kedatangan tamu seorang sesepuh dari daerah Pedan yang mengaku sebagai petinggi Palar. Sesepuh itu mengatakan bahwa berdasarkan ilmu nujum, kalau ada bayi yang lahir pada hari Jum’at Pahing, maka akan membawa keberuntungan dan kelak bayi tersebut akan memiliki kelebihan dari anak yang lainnya.

Petinggi Palar tersebut diterima oleh mertua Padmonegoro, yaitu Kiai Kalipah Caripu. Tidak berapa lama, datanglah Kiai Hanggamaya, sahabat karib Kiai Kalipah yang merupakan seorang ulama besar dari Bagelen. Kiai Hanggamaya mengatakan bahwa Nyi Ageng Padmonegoro pada waktu Subuh nanti akan melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi anak yang pandai dan menjadi manusia yang memiliki beberapa kelebihan serta cinaket ing ratu[2].

Saking begitu asyiknya mereka ngobrol, hingga tak terasa waktu sebentar lagi Subuh, sehingga mereka segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid. Usai shalat, mereka diberitahu bahwa Nyi Ageng Padmonegoro akan segera melahirkan.
 Beberapa saat kemudian, Siti Mariyam melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi itu lahir dalam keadaan masih terbungkus dan lehernya terlilit usus. Usus yang melingkar dibenahi hingga terlepas lalu dibersihkan. Menurut kepercayaan setelah besar nanti akan selalu pantas dan luwes mengenakan pakaian.

Bayi mungil itu diberi nama Bagus Banjar. Tetapi karena lahir pada waktu Subuh, ia juga dikenal dengan sebutan Jaka Subuh. Sedangkan oleh kakeknya, bayi tersebut diberi nama Jaenal Ngalim, untuk menghormati nama guru ayahnya di Palembang, yaitu Kiai Zainal Abidin.
Petinggi Palar dan Kiai Hanggamaya berada di Pengging hingga tujuh hari. Pada saat Kiai Hanggamaya akan kembali ke Bagelen, ia berpesan kepada Padmonegoro agar kalau Bagus Banjar sudah berumur sewindu agar dikirim ke Bagelen untuk berguru kepadanya.

Sumber gambar: www.hystoryana.blogspot.com

Kegemaran Bagus Banjar waktu kecil adalah memakan pisang ambon dan anehnya tidak mau disuapi oleh siapa pun. Ia tidak pernah mau makan nasi, ia baru mau makan nasi setelah berumur 7 tahun. Kebiasaannya yang tidak pernah ditinggalkan adalah kegemarannya memakan intip (kerak nasi).
Ketika berusia 8 tahun, Bagus Banjar diantarkan ayahnya ke Bagelen untuk berguru kepada Kiai Hanggamaya, sahabat karib kakeknya. Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu agama, menulis Jawa maupun Arab, dan kesusasteraan. Ia juga belajar ilmu beladiri dan ilmu kebatinan. Ia melakukan tapabrata dan melatih kesabaran dengan cara berpuasa mutih, ngrowot, dan ngebleng. Ia tergolong murid yang cerdas, cakap, dan memiliki ketajaman berpikir. Sehingga dalam waktu ia mampu menyelesaikan masa bergurunya.

Pada usia 14 tahun, ia kembali ke Pengging dan berniat ingin mengabdikan diri di Mataram. Saat itu, di Mataram sedang terjadi Geger Pacinan (pemberontakan orang-orang Cina), yang menyebabkan keraton Kartasura hancur luluh. Karena terdesak dan tak mampu mengatasi pemberontakan, Sunan Pakubuwono II dan para pembantunya mengungsi ke Desa Kentheng, Ponorogo. Bagus Banjar menghadap Pakubuwono II di Ponorogo dan menyatakan keinginannya untuk menjadi abdi dalem. Ia diterima sebagai abdi dalem yang bertugas sebagai prajurit.

Setelah keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Pakubuwono II atas bantuan VOC, Bagus Banjar menjadi prajurit keraton. Ia bertugas di bagian nameng raja (pengawal raja) dengan sebutan “kuda pengawe[3]”. Tugas utamanya adalah menjaga dan merawat gedung pusaka, terutama pusaka keraton yang bernama Kiai Cakra.

Berkaitan dengan tugasnya, Bagus Banjar banyak belajar tentang adat-istiadat dan tatacara keraton, aturan dan pranata, termasuk bidang kebudayaan dan sastra. Karena kepandaian dan kecakapannya, ia diangkat menjadi carik keraton dan diberi gelar Raden Ngabehi Yosodipuro I. Tugasnya kini adalah membantu Pangeran Wijil yang pada saat itu menjadi pujangga keraton.

Yosodipuro telah memiliki dasar-dasar dalam hal sastra, sehingga ia menjadi orang yang mumpuni di bidangnya. Ia menjadi bersemangat dan lebih tekun lagi dalam belajar dan menjalankan tugas. Tak mengherankan jika ia mampu melahirkan karya-karya yang bagus dan menarik. Hingga Pakubuwono II memberinya sebutan Pujangga Anom.

Pemindahan Keraton Mataram
Usai peristiwa Geger Pacinan, Keraton Kartasura sudah rusak parah dan dianggap tidak layak lagi, ditambah wibawanya mulai merosot dan tidak bersinar lagi. Maka ketika Pakubuwono II kembali dari pengungsian, ia mempunyai ide untuk memindahkan keraton ke tempat yang baru. Untuk mewujudkan hal ini, Sunan mengutus Yosodipuro dan beberapa abdi lainnya untuk mencari lokasi bagi calon tempat keraton yang baru.

Dari hasl penelitian, ditemukan beberapa pilihan lokasi antara lain Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Atas kesimpulan dari tim peneliti dan persetujuan dari Sunan, maka dipilihlah Desa Sala sebagai calon lokasi keraton yang baru,karena dinilai kelak akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Selain itu juga dibahas mengenai tempat yang tepat sebagai titik pusat keraton. Lalu, tim peneliti melakukan penelitian lebih lanjut.

Akhirnya disepakati bahwa titik pusat pendirian keraton berada di daerah sekitar Rawa Kedungkul. Pakubuwono II segera memerintahkan untuk memulai pembangunan keraton. Namun ada kendala yang dihadapi yaitu air Rawa Kedungkul tidak bisa dikeringkan. Untuk mengatasi hal ini, Pangeran Wijil dan Yosodipuro melakukan tapa-brata di Kedungkul selama tujuh hari tujuh malam untuk memohon petunjuk kepada Tuhan YME.

Yosodipuro akhirnya mendapat petunjuk bahwa untuk mengeringkan air rawa harus dilakukan beberapa syarat, yaitu membuat gong sekar delima, menimbun rawa dengan daun lumbu, dan memberikan korban seorang waranggana (ledek). Menimbun rawa dengan daun lumbu maksudnya adalah menimbun rawa dengan tanah Kiai Gede yang ditumbuhi tanaman lumbu. Sedangkan korban waranggana bermakna membutuhkan uang atau dana yang tidak sedikit.

Maka, dimulailah pembangunan keraton yang baru. Sebagai pelaksana pembangunan adalah Mayor Hogendorp (Belanda), Adipati Pringgalaya, dan Tumenggung Tirtawiguna. Pangeran Wijil dan Kiai Kalipah Caripu (kakek Yosodipuro) sebagai yang memperhitungkan kekuatan bangunan. Sedangkan Kiai Tohjoyo bertanggung atas atas keindahan bangunan.

Setelah keraton selesai dibangun, maka segera dilakukan perpindahan dari Kartasura ke Desa Sala. Di keraton yang baru ini, R. Ng. Yosodipuro I diangkat menjadi abdi dalem kadipaten di bekas rawa Kedungkul (sekarang bernama kampong Yosodipuran).

Pakubuwono II Wafat
Ketika jenazah Pakubuwono II akan dimakamkan, jenazahnya tidak bisa dimasukkan ke dalam liang kubur.walau sudah dilakukan dengan berbagai cara, selalu saja tidak cukup. Melihat kejadian itu, Yosodipuro melakukan samadi. Dalam samadinya, ia memperoleh wangsit bahwa Alm. Pakubuwono II tidak berkenan dimakamkan di astana Laweyan, beliau minta dimakamkan di Imogiri. Hal ini lalu disampaikan kepada Nyai Manggung Secanegara. Selanjutnya, Nyi Manggung berikrar di hadapan peti jenazah agar Sunan berkenan dimakamkan di Laweyan untuk sementara waktu. Nanti jika keadaan Negara sudah aman, akan dipindahkan ke Imogiri. Terjadilah keajabaikan, usai ikrar dilaksanakan, akhirnya jenazah dapat dimasukkan ke liang kubur.

Pernikahan Raden Ajeng Sentul
Setelah terjadinya konflik berkepanjangan antara Pakubuwono III dengan adiknya Pangeran Mangkubumi dikarenakan daerah kekuasaan Mataram akan dikurangi dan diberikan kepada Belanda. Maka berdasarkan Perjanjian Giyanti, kerajaan dibagi menjadi dua, Kasunan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III dan Kasultananan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I).

Sultan HB I berusaha menjalin silaturrahmi dengan Sunan PB III agar tidak terjadi lagi permasalahan antara dua kerajaan. Demi tercapainya kerukunan dan kekeluargaan, Sultan HB I mengajukan lamaran kepada Raden Ajeng Sentul (puteri Sunan PB III dari selir Ratu Mas Retnadi) untuk putranya yang bernama Pangeran Mangkunegoro. Akan tetapi lamaran ini hanya ditanggapi setengah-setengah, dalam arti tidak diterima juga tidak ditolak. Apabila didesak untuk segera member jawaban, selalu mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Hal ini membuat Sultan HB I marah, hingga ia mengatakan akan menganggap musuh pada siapa pun yang menjadi suami R.A. Sentul.
Keluarga Kasunanan menjadi sangat resah karena tidak ada seorang pun yang berani meminang R.A.Sentul. selanjutnya Sunan memanggil Yosodipuro untuk memecahkan masalah tersebut. Yosodipuro menyarankan Sunan agar mencari menantu dari anak keturunan Sultan Hadiwijaya, karena semasa hidupnya ia selalu berbakti dan membela Sultan HB I, yang menyebabkan Sultan HB I merasa berhutang budi kepadanya dan berniat mencari keturunan dari Sultan Hadiwijaya. Apabila R.A. Sentul menikah dengan anak keturunan Sultan Hadiwijaya, maka akan meluluhkan kemarahan Sultan HB I, bahkan beliau akan memuliakannya.

Lalu oleh Yosodipuro mengusulkan Raden Sumodiwiryo dan Sunan menyetujuinya. Pernikahan R.A. Sentul dan Raden Sumodiwiryo pun segera dilakukan. Berita tentang perkawinan ini didengar oleh Sultan HB I yang membuatnya menjadi terharu. Seketika itu juga kemaran Sultan mereda, bahkan beliau merestui perkawinan tersebut dan mengirimkan sumbangan yang banyak ke keraton Surakarta.
Akhirnya Sultan HB I berkenan memanggil Yosodipuro ke Yogyakarta untuk menceritakan riwayat anak keturunan Sultan Hadiwijaya. Oleh karena jasanya ini, Yosodipuro diberi hadiah berupa uang, pakaian, dan tanah yang disukainya. Yosodipuro memilih tanah di Pengging yang kelak menjadi makam beliau dan keturunannya.

Pengepungan Keraton Surakarta
Keraton Surakarta dikepung oleh Belanda dan Kasultanan Yogyakarta pada masa Sunan Pakubuwono IV. Penyebab pengepungan itu adalah Sunan tidak bersedia menyerahkan para abdi sekaligus gurunya, yaitu Kiai Bahman, Kiai Nur Soleh, Tumenggung Wirowirejo, Tumenggung Sujonopuro,dan Tumenggung Prawirodigdo, karena mereka membuat ulah dan memberi nasehat-nasehat kepada Sunan yang meresahkan pihak Belanda maupun Yogyakarta.

Mereka sering memfitnah orang-orang yang dianggap menghalangi tujuan mereka. Di antara orang yang difitnah itu adalah Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Pringgalaya yang diberhentikan dari jabtannya tanpa alasan yang jelas. Selain itu mereka juga membangun permusuhan dengan Belanda maupun Yogyakarta, bahkan berniat mengembalikan Yogyakarta menjadi wilayah kekuasaan Surakarta.

Pada saat itu, Pakubuwono IV masih berumur 23 tahun. Kewibawaannya sebagai pemimpin belum stabil sehingga mudah sekali terpengaruh oleh para guru-gurunya tersebut. Ia sering menyerahkan berbagai persoalan kepada para guru andalannya tersebut, sehingga mereka sering berbuat mendahului titah sang raja.

Pada tahun 1717 M, datanglah utusan Belanda bernama Ideler Jen Grepe ke keraton. Tujuannya adalah meminta untuk menyerahkan semua guru-gurunya kepada Belanda, karena mereka dianggap telah berbuat keonaran,kekeruhan, terputusnya hubungan Surakarta dengan Belanda dan Yogyakarta. Oleh karena permintaan sudah berkali-kali dilakukan dan belum juga mendapat jawaban yang memuaskan, maka Belanda dan Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengepung keraton Surakarta.

Pada saat pengepungan tersebut, Pakubuwono IV memanggil Yosodipuro untuk meminta nasihatnya. Yosodipuro menyarankan agar orang-orang yang diminta oleh Belanda diserahkan saja. Akhirnya Sunan mengambil keputusan untuk menangkap lima orang tersebut dan diserahkan kepada Belanda. Setelah itu, kondisi Kasunanan Surakarta berangsur-angsur aman dan pulih kembali. Hubungan antara Surakarta, Yogyakarta dan Belanda juga mulai membaik.

Sumber gambar: www.budayajawa.id

Menjadi Pujangga Keraton
Jasa terbesar R.Ng. Yosodipuro I adalah perannya sebagai pujangga keraton. Tugas utamanya adalah menjaga, memelihara,dan melestarikan karya-karya sastra lama. Oleh karena itu, ia terlibat aktif dalam membangun perpustakaan keraton dan mengisinya dengan berbagai bacaan. Ia juga memiliki kemampuan menerjemahkan buku-buku berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga buku-buku tersebut bisa dibaca banyak orang dan mengetahui secara jelas isi cerita-cerita kuno.
R.Ng. Yosodipuro I berjasa besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan terutama bahasa dan sastra Jawa. Karya-karya dari beliau dibagi menjadi dua bagian,yaitu “mbangun” dan serat-serat enggal. Yang termasuk karya mbangun di antaranya: Bharatayuda, Ramayana, Dewa Ruci, Serat Tajussalatin, Serat Paniti Sastra, Serat Menak, Serat Ambiya, Serat Rama, Serat Mintaraga,dll. Sedangkan yang tergolong serat enggal adalah Babad Giyanti, Babad Pacinan, Babad Gabolek, dan sebagainya.

R. Ng. Yosodipuro I dinilai memiliki paham mistik Islam Kejawen. Dilihat dari isi kandungannya, karya sastra beliau mencerminkan adanya sinkretisme antara Hindu, Budha,dan Islam. Serat Cebolek merupakan contoh karya beliau yang kental dengan nuansa sinkretisme. Yang jelas, unsur religius selalu mendominasi karya-karyanya.

Beliau wafat pada 20 April 1802 (versi lain 14 Maret 1803) dan dimakamkan di Pengging (sekarang masuk Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali). Anak beliau ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pujangga,sehingga ia dikenal dengan Yosodipuro II.

 (Trimanto B. Ngaderi)


[1] Sinar berwarna hijau keputihan
[2] Menjadi orang yang dekat dengan raja
[3] Ada yang menyebut “kuda pancawe”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!