R. Ng. YOSODIPURO I
R. Ng. Yosodipuro
merupakan pujangga ternama di Kasunanan Surakarta. Ia masih memiliki garis
keturunan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Ia lahir pada tahun 1729 M di
Pengging. Ayahnya bernama Raden Tumenggung Padmonegoro dan ibunya Siti Maryam
(Nyi Ageng Padmonegoro). Pada waktu mudanya, Padmonegoro adalah seorang
prajurit Mataram yang pernah bersama Sultan Agung menyerbu VOC di Batavia. Atas
jasanya dalam peperangan tersebut, ia diangkat sebagai Adipati Pekalongan.
Pada suatu malam,
Padmonegoro merasa heran karena di halaman rumahnya berkumpul banyak orang.
Setelah ditanyakan, mereka menjawab bahwa telah melihat ndaru[1]
sebesar cengkir (kelapa muda) yang jatuh di atas rumah Padmonegoro. Mendengar
hal itu, ia berharap semoga kejadian tersebut merupakan pertanda kebaikan bagi
keluarganya.
Tidak berselang lama
dari peristiwa tersebut, Siti Maryam mengandung lagi. Menjelang kelahiran si
bayi, waktu itu hari Kamis malam Jum’at Pahing Padmonegoro kedatangan tamu
seorang sesepuh dari daerah Pedan yang mengaku sebagai petinggi Palar. Sesepuh
itu mengatakan bahwa berdasarkan ilmu nujum, kalau ada bayi yang lahir pada
hari Jum’at Pahing, maka akan membawa keberuntungan dan kelak bayi tersebut
akan memiliki kelebihan dari anak yang lainnya.
Petinggi Palar
tersebut diterima oleh mertua Padmonegoro, yaitu Kiai Kalipah Caripu. Tidak
berapa lama, datanglah Kiai Hanggamaya, sahabat karib Kiai Kalipah yang
merupakan seorang ulama besar dari Bagelen. Kiai Hanggamaya mengatakan bahwa
Nyi Ageng Padmonegoro pada waktu Subuh nanti akan melahirkan seorang bayi
laki-laki yang kelak akan menjadi anak yang pandai dan menjadi manusia yang
memiliki beberapa kelebihan serta cinaket ing ratu[2].
Saking begitu
asyiknya mereka ngobrol, hingga tak terasa waktu sebentar lagi Subuh, sehingga
mereka segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di
masjid. Usai shalat, mereka diberitahu bahwa Nyi Ageng Padmonegoro akan segera
melahirkan.
Beberapa saat kemudian, Siti Mariyam
melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi itu lahir dalam keadaan masih
terbungkus dan lehernya terlilit usus. Usus yang melingkar dibenahi hingga
terlepas lalu dibersihkan. Menurut kepercayaan setelah besar nanti akan selalu
pantas dan luwes mengenakan pakaian.
Bayi mungil itu
diberi nama Bagus Banjar. Tetapi karena lahir pada waktu Subuh, ia juga dikenal
dengan sebutan Jaka Subuh. Sedangkan oleh kakeknya, bayi tersebut diberi nama Jaenal
Ngalim, untuk menghormati nama guru ayahnya di Palembang, yaitu Kiai Zainal
Abidin.
Petinggi Palar dan
Kiai Hanggamaya berada di Pengging hingga tujuh hari. Pada saat Kiai Hanggamaya
akan kembali ke Bagelen, ia berpesan kepada Padmonegoro agar kalau Bagus Banjar
sudah berumur sewindu agar dikirim ke Bagelen untuk berguru kepadanya.
Sumber gambar: www.hystoryana.blogspot.com
Kegemaran Bagus Banjar waktu kecil adalah
memakan pisang ambon dan anehnya tidak mau disuapi oleh siapa pun. Ia tidak
pernah mau makan nasi, ia baru mau makan nasi setelah berumur 7 tahun.
Kebiasaannya yang tidak pernah ditinggalkan adalah kegemarannya memakan intip
(kerak nasi).
Ketika berusia 8
tahun, Bagus Banjar diantarkan ayahnya ke Bagelen untuk berguru kepada Kiai
Hanggamaya, sahabat karib kakeknya. Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu
agama, menulis Jawa maupun Arab, dan kesusasteraan. Ia juga belajar ilmu
beladiri dan ilmu kebatinan. Ia melakukan tapabrata dan melatih kesabaran
dengan cara berpuasa mutih, ngrowot, dan ngebleng. Ia
tergolong murid yang cerdas, cakap, dan memiliki ketajaman berpikir. Sehingga
dalam waktu ia mampu menyelesaikan masa bergurunya.
Pada usia 14 tahun, ia
kembali ke Pengging dan berniat ingin mengabdikan diri di Mataram. Saat itu, di
Mataram sedang terjadi Geger Pacinan (pemberontakan orang-orang Cina), yang
menyebabkan keraton Kartasura hancur luluh. Karena terdesak dan tak mampu
mengatasi pemberontakan, Sunan Pakubuwono II dan para pembantunya mengungsi ke Desa
Kentheng, Ponorogo. Bagus Banjar menghadap Pakubuwono II di Ponorogo dan
menyatakan keinginannya untuk menjadi abdi dalem. Ia diterima sebagai abdi
dalem yang bertugas sebagai prajurit.
Setelah keraton
Kartasura dapat direbut kembali oleh Pakubuwono II atas bantuan VOC, Bagus Banjar
menjadi prajurit keraton. Ia bertugas di bagian nameng raja (pengawal
raja) dengan sebutan “kuda pengawe[3]”. Tugas
utamanya adalah menjaga dan merawat gedung pusaka, terutama pusaka keraton yang
bernama Kiai Cakra.
Berkaitan dengan
tugasnya, Bagus Banjar banyak belajar tentang adat-istiadat dan tatacara
keraton, aturan dan pranata, termasuk bidang kebudayaan dan sastra. Karena
kepandaian dan kecakapannya, ia diangkat menjadi carik keraton dan diberi gelar
Raden Ngabehi Yosodipuro I. Tugasnya kini adalah membantu Pangeran Wijil yang
pada saat itu menjadi pujangga keraton.
Yosodipuro telah
memiliki dasar-dasar dalam hal sastra, sehingga ia menjadi orang yang mumpuni
di bidangnya. Ia menjadi bersemangat dan lebih tekun lagi dalam belajar dan
menjalankan tugas. Tak mengherankan jika ia mampu melahirkan karya-karya yang
bagus dan menarik. Hingga Pakubuwono II memberinya sebutan Pujangga Anom.
Pemindahan Keraton Mataram
Usai peristiwa Geger
Pacinan, Keraton Kartasura sudah rusak parah dan dianggap tidak layak lagi,
ditambah wibawanya mulai merosot dan tidak bersinar lagi. Maka ketika
Pakubuwono II kembali dari pengungsian, ia mempunyai ide untuk memindahkan
keraton ke tempat yang baru. Untuk mewujudkan hal ini, Sunan mengutus Yosodipuro
dan beberapa abdi lainnya untuk mencari lokasi bagi calon tempat keraton yang
baru.
Dari hasl penelitian,
ditemukan beberapa pilihan lokasi antara lain Desa Kadipala, Desa Sala, dan
Desa Sanasewu. Atas kesimpulan dari tim peneliti dan persetujuan dari Sunan,
maka dipilihlah Desa Sala sebagai calon lokasi keraton yang baru,karena dinilai
kelak akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Selain itu juga dibahas mengenai
tempat yang tepat sebagai titik pusat keraton. Lalu, tim peneliti melakukan
penelitian lebih lanjut.
Akhirnya disepakati
bahwa titik pusat pendirian keraton berada di daerah sekitar Rawa Kedungkul.
Pakubuwono II segera memerintahkan untuk memulai pembangunan keraton. Namun ada
kendala yang dihadapi yaitu air Rawa Kedungkul tidak bisa dikeringkan. Untuk
mengatasi hal ini, Pangeran Wijil dan Yosodipuro melakukan tapa-brata di
Kedungkul selama tujuh hari tujuh malam untuk memohon petunjuk kepada Tuhan
YME.
Yosodipuro akhirnya
mendapat petunjuk bahwa untuk mengeringkan air rawa harus dilakukan beberapa
syarat, yaitu membuat gong sekar delima, menimbun rawa dengan daun lumbu, dan
memberikan korban seorang waranggana (ledek). Menimbun rawa dengan daun lumbu maksudnya
adalah menimbun rawa dengan tanah Kiai Gede yang ditumbuhi tanaman lumbu.
Sedangkan korban waranggana bermakna membutuhkan uang atau dana yang tidak
sedikit.
Maka, dimulailah
pembangunan keraton yang baru. Sebagai pelaksana pembangunan adalah Mayor
Hogendorp (Belanda), Adipati Pringgalaya, dan Tumenggung Tirtawiguna. Pangeran
Wijil dan Kiai Kalipah Caripu (kakek Yosodipuro) sebagai yang memperhitungkan
kekuatan bangunan. Sedangkan Kiai Tohjoyo bertanggung atas atas keindahan
bangunan.
Setelah keraton
selesai dibangun, maka segera dilakukan perpindahan dari Kartasura ke Desa
Sala. Di keraton yang baru ini, R. Ng. Yosodipuro I diangkat menjadi abdi dalem
kadipaten di bekas rawa Kedungkul (sekarang bernama kampong Yosodipuran).
Pakubuwono II Wafat
Ketika jenazah
Pakubuwono II akan dimakamkan, jenazahnya tidak bisa dimasukkan ke dalam liang
kubur.walau sudah dilakukan dengan berbagai cara, selalu saja tidak cukup.
Melihat kejadian itu, Yosodipuro melakukan samadi. Dalam samadinya, ia
memperoleh wangsit bahwa Alm. Pakubuwono II tidak berkenan dimakamkan di astana
Laweyan, beliau minta dimakamkan di Imogiri. Hal ini lalu disampaikan kepada
Nyai Manggung Secanegara. Selanjutnya, Nyi Manggung berikrar di hadapan peti
jenazah agar Sunan berkenan dimakamkan di Laweyan untuk sementara waktu. Nanti
jika keadaan Negara sudah aman, akan dipindahkan ke Imogiri. Terjadilah
keajabaikan, usai ikrar dilaksanakan, akhirnya jenazah dapat dimasukkan ke
liang kubur.
Pernikahan Raden Ajeng Sentul
Setelah terjadinya
konflik berkepanjangan antara Pakubuwono III dengan adiknya Pangeran Mangkubumi
dikarenakan daerah kekuasaan Mataram akan dikurangi dan diberikan kepada
Belanda. Maka berdasarkan Perjanjian Giyanti, kerajaan dibagi menjadi dua,
Kasunan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III dan Kasultananan Yogyakarta
dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I).
Sultan HB I berusaha
menjalin silaturrahmi dengan Sunan PB III agar tidak terjadi lagi permasalahan
antara dua kerajaan. Demi tercapainya kerukunan dan kekeluargaan, Sultan HB I
mengajukan lamaran kepada Raden Ajeng Sentul (puteri Sunan PB III dari selir
Ratu Mas Retnadi) untuk putranya yang bernama Pangeran Mangkunegoro. Akan
tetapi lamaran ini hanya ditanggapi setengah-setengah, dalam arti tidak diterima
juga tidak ditolak. Apabila didesak untuk segera member jawaban, selalu
mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Hal ini membuat Sultan HB I marah, hingga ia mengatakan
akan menganggap musuh pada siapa pun yang menjadi suami R.A. Sentul.
Keluarga
Kasunanan menjadi sangat resah karena tidak ada seorang pun yang berani
meminang R.A.Sentul. selanjutnya Sunan memanggil Yosodipuro untuk memecahkan
masalah tersebut. Yosodipuro menyarankan Sunan agar mencari menantu dari anak
keturunan Sultan Hadiwijaya, karena semasa hidupnya ia selalu berbakti dan
membela Sultan HB I, yang menyebabkan Sultan HB I merasa berhutang budi
kepadanya dan berniat mencari keturunan dari Sultan Hadiwijaya. Apabila R.A.
Sentul menikah dengan anak keturunan Sultan Hadiwijaya, maka akan meluluhkan
kemarahan Sultan HB I, bahkan beliau akan memuliakannya.
Lalu
oleh Yosodipuro mengusulkan Raden Sumodiwiryo dan Sunan menyetujuinya.
Pernikahan R.A. Sentul dan Raden Sumodiwiryo pun segera dilakukan. Berita
tentang perkawinan ini didengar oleh Sultan HB I yang membuatnya menjadi
terharu. Seketika itu juga kemaran Sultan mereda, bahkan beliau merestui
perkawinan tersebut dan mengirimkan sumbangan yang banyak ke keraton Surakarta.
Akhirnya
Sultan HB I berkenan memanggil Yosodipuro ke Yogyakarta untuk menceritakan
riwayat anak keturunan Sultan Hadiwijaya. Oleh karena jasanya ini, Yosodipuro
diberi hadiah berupa uang, pakaian, dan tanah yang disukainya. Yosodipuro
memilih tanah di Pengging yang kelak menjadi makam beliau dan keturunannya.
Pengepungan Keraton Surakarta
Keraton
Surakarta dikepung oleh Belanda dan Kasultanan Yogyakarta pada masa Sunan
Pakubuwono IV. Penyebab pengepungan itu adalah Sunan tidak bersedia menyerahkan
para abdi sekaligus gurunya, yaitu Kiai Bahman, Kiai Nur Soleh, Tumenggung
Wirowirejo, Tumenggung Sujonopuro,dan Tumenggung Prawirodigdo, karena mereka
membuat ulah dan memberi nasehat-nasehat kepada Sunan yang meresahkan pihak
Belanda maupun Yogyakarta.
Mereka
sering memfitnah orang-orang yang dianggap menghalangi tujuan mereka. Di antara
orang yang difitnah itu adalah Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Pringgalaya
yang diberhentikan dari jabtannya tanpa alasan yang jelas. Selain itu mereka
juga membangun permusuhan dengan Belanda maupun Yogyakarta, bahkan berniat mengembalikan
Yogyakarta menjadi wilayah kekuasaan Surakarta.
Pada
saat itu, Pakubuwono IV masih berumur 23 tahun. Kewibawaannya sebagai pemimpin
belum stabil sehingga mudah sekali terpengaruh oleh para guru-gurunya tersebut.
Ia sering menyerahkan berbagai persoalan kepada para guru andalannya tersebut,
sehingga mereka sering berbuat mendahului titah sang raja.
Pada
tahun 1717 M, datanglah utusan Belanda bernama Ideler Jen Grepe ke keraton.
Tujuannya adalah meminta untuk menyerahkan semua guru-gurunya kepada Belanda,
karena mereka dianggap telah berbuat keonaran,kekeruhan, terputusnya hubungan
Surakarta dengan Belanda dan Yogyakarta. Oleh karena permintaan sudah
berkali-kali dilakukan dan belum juga mendapat jawaban yang memuaskan, maka
Belanda dan Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengepung keraton Surakarta.
Pada
saat pengepungan tersebut, Pakubuwono IV memanggil Yosodipuro untuk meminta
nasihatnya. Yosodipuro menyarankan agar orang-orang yang diminta oleh Belanda
diserahkan saja. Akhirnya Sunan mengambil keputusan untuk menangkap lima orang
tersebut dan diserahkan kepada Belanda. Setelah itu, kondisi Kasunanan
Surakarta berangsur-angsur aman dan pulih kembali. Hubungan antara Surakarta,
Yogyakarta dan Belanda juga mulai membaik.
Sumber gambar: www.budayajawa.id
Menjadi Pujangga Keraton
Jasa
terbesar R.Ng. Yosodipuro I adalah perannya sebagai pujangga keraton. Tugas
utamanya adalah menjaga, memelihara,dan melestarikan karya-karya sastra lama.
Oleh karena itu, ia terlibat aktif dalam membangun perpustakaan keraton dan
mengisinya dengan berbagai bacaan. Ia juga memiliki kemampuan menerjemahkan
buku-buku berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga buku-buku
tersebut bisa dibaca banyak orang dan mengetahui secara jelas isi cerita-cerita
kuno.
R.Ng.
Yosodipuro I berjasa besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan terutama
bahasa dan sastra Jawa. Karya-karya dari beliau dibagi menjadi dua bagian,yaitu
“mbangun” dan serat-serat enggal.
Yang termasuk karya mbangun di antaranya: Bharatayuda, Ramayana, Dewa Ruci,
Serat Tajussalatin, Serat Paniti Sastra, Serat Menak, Serat Ambiya, Serat Rama,
Serat Mintaraga,dll. Sedangkan yang tergolong serat enggal adalah Babad
Giyanti, Babad Pacinan, Babad Gabolek, dan sebagainya.
R.
Ng. Yosodipuro I dinilai memiliki paham mistik Islam Kejawen. Dilihat dari isi
kandungannya, karya sastra beliau mencerminkan adanya sinkretisme antara Hindu,
Budha,dan Islam. Serat Cebolek merupakan contoh karya beliau yang kental dengan
nuansa sinkretisme. Yang jelas, unsur religius selalu mendominasi
karya-karyanya.
Beliau
wafat pada 20 April 1802 (versi lain 14 Maret 1803) dan dimakamkan di Pengging
(sekarang masuk Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali). Anak
beliau ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pujangga,sehingga ia
dikenal dengan Yosodipuro II.
[1] Sinar berwarna hijau keputihan
[2] Menjadi orang yang dekat dengan raja
[3] Ada yang menyebut “kuda pancawe”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!