Cari Blog Ini

Rabu, 25 Februari 2015

Resensi novel “Bulan Nararya” karya Sinta Yudisia



NARARYA, BULANNYA PENDERITA SKIZOFRENIA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Novel terbaru dari novelis perempuan Indonesia, Sinta Yudisia berjudul “Bulan Nararya” yang diterbitkan oleh Indiva Media Kreasi, termasuk novel dengan “nuansa” baru, berbeda dengan novel-novel Sinta Yudisia sebelumnya, bahkan berbeda dengan novel-novel yang menjadi ciri khas karya anggota Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya.
Novel ini menceritakan seorang terapis bernama Nararya (dipanggil Rara), yang bekerja di sebuah pusat rehabilitasi mental, terutama untuk para penderita skizofrenia. Bagaimana suka-duka dalam merawat dan menghadapi klien (sebutan untuk pasien); bagaimana berinteraksi dan membangun hubungan dengan mereka termasuk dengan keluarganya; berusaha mencari tahu latar belakang mereka dan keluarga (mengapa bisa mengalami skizofrenia); termasuk meyakinkan pihak keluarga agar bisa menerima mereka kembali.

Tokoh lain dalam novel ini adalah Bu Sausan, pemilik pusat rehabilitasi, perempuan setengah baya yang tidak pernah menolak klien, generasi senior, patuh pada klien, dan kurang menyukai inovasi. Moza, teman kerja Rara sekaligus sahabat dekat. Pak Gatot dan Pak Taufiq, penjaga. Sedangkan para klien seperti Sania, Pak Bulan, dan Yudistira.
Walau seorang terapis skizofrenia, ternyata Rara juga memiliki masalah pribadi yang menyebabkan dia mengalami gangguan halusinasi. Tak jarang ia seperti melihat kelopak mawar dan ceceran darah di ruang kerjanya maupun di tempat lain. Ia juga mengalami kegagalan dalam berumah tangga. Drama cinta segitiga terjadi ketika Angga mantan suami Rara mencinta dan menikahi Moza. Selain itu, Rara pun mengagumi Yudistira, kliennya.
Diceritakan, bagaimana perjuangan Rara untuk meyakinkan Pak Robin, yang seorang pemabuk, agar mau menerima Sania putrinya. Dulunya, Sania adalah dari keluarga miskin, penuh tindak kekerasan, hanya sampai kelas 2 SD, ditemukan di terminal dengan kondisi mengenaskan oleh Dinsos saat razia. Juga meyakinkan Bu Weni, ibu Yudistira, kakak-kakak Yudistira (Srikandi, Ajani, Utari), serta Diana, istri Yudistira. Konflik semakin rumit ketika siapa kelak yang akan merawat Yudistira.
Yang tak kalah menarik dalam novel ini adalah perjuangan Rara dalam meyakinkan Bu Sausan dan klinik akan sebuah metode terapi yang dianjurkannya, yaitu metode transpersonal, yang tujuannya adalah agar klien tidak selalu tergantung pada farmakologi. Walau pada akhir cerita Bu Sausan mulai melunak dan bisa menerima gagasan Rara, tapi ide itu belum bisa diterapkan dalam waktu saat ini.
Novel ini ditulis dengan gaya dan pendekatan baru, yang berbeda dengan novel-novel Sinta sebelumnya atau FLP pada umumnya. Biasanya novel-novel FLP terkenal Islami atau kental nuansa dakwahnya. Sedangkan dalam novel ini, hampir tidak kita temui nama-nama Islam, ungkapan-ungkapan Islami, atribut atau simbol keagamaan, atau perilaku yang menggambarkan tingkat kesalehan tertentu.
Sekalipun demikian, bukan berarti novel ini tidak Islami, tetap ada nilai-nilai Islam di dalamnya, hanya digambarkan secara implisit atau tersirat saja. Contoh: nilai-nilai seperti panggilan untuk membantu sesama, menghargai orang lain, peduli kepada yang sedang menderita, kesabaran, toleran, keyakinan akan kesembuhan, dan lain-lain).
Adapun beberapa pesan yang dapat diambil pelajaran dari novel ini di antaranya: (1) teguh memegang prinsip atau ide yang diperjuangkan sampai terwujud; (2) penderita skizofrenia bukanlah orang yang tak berguna, dibuang, atau dijauhi; tapi harus dirawat layaknya manusia seutuhnya, agar bisa kembali pada kehidupan normal, kembali pada keluarganya; (3) yang punya masalah kehidupan tidak hanya klien saja, terapisnya pun bisa punya masalah, termasuk halusinasi yang dialami kliennya; (4) banyak hikmah dan pelajaran hidup yang bisa diambil dari para klien.
Beberapa hal yang bisa menjadi titik lemah dari novel ini adalah soal tema. Tidak semua orang menyukai tema tersebut, terlebih bercerita tentang “orang gila” yang secara umum masih dihindari banyak orang. Apa menariknya mengetahui hal-ihwal orang gila secara lebih mendalam. Termasuk istilah-istilah asing yang mungkin membuat kening pembaca berkerut. Dari segi jalan cerita maupun peristiwa-peristiwa “aneh” yang terjadi, terkadang pembaca merasa kesulitan untuk dapat menikmati cerita secara enak dan terang.
Akhirul kata, secara umum novel ini cukup kuat karena isi ceritanya merupakan apa yang sedang digeluti oleh penulisnya saat ini. (Surakarta; 24/02/2015 17:40:21)


*) Pegiat Forum Lingkar Pena