TUJUH KEUTAMAAN
MENJADI PENDAMPING PKH
Oleh: Trimanto B.
Ngaderi*)
Menjadi pendamping PKH adalah sebuat anugerah, berkat, dan
rizki yang sangat patut disyukuri dan diterima dengan penuh keikhlasan dan
kebahagiaan. Apa sebab gerangan? Kita akan mendapat berbagai manfaat,
kelebihan, dan keutamaan; yang (mungkin) jarang bisa kita temukan jika kita
bekerja di tempat lain atau bekerja dengan fungsi dan peran yang berbeda.
Setidaknya ada tujuh keutamaan, berikut di antaranya:
1.
Kesempatan luas untuk terus belajar
Dalam bekerja, yang kita hadapi bukanlah benda, alat, mesin, hewan,
tumbuhan, atau objek kerja lainnya. Tapi yang kita hadapi adalah MANUSIA, di
mana setiap manusia itu unik dan dinamis. Masing-masing mereka memiliki latar
belakang yang berbeda (asal-usul, pendidikan, pekerjaan, adat-istiadat, bahasa,
agama, dll), cara berpikir yang berbeda, pemahaman yang berbeda, dan cara
memandang dunia yang berbeda pula.
Tidak mudah untuk menghadapi orang-orang. Tidak gampang untuk berkutat
dengan dinamika manusia. Mereka adalah objek yang hidup, memiliki pikiran,
perasaan, dan harapan. Kemajemukan dan perbedaan kepentingan tak jarang
menimbulkan permasalahan dan konflik.
Inilah kesempatan emas bagi kita untuk belajar mengenal mereka, memahami
mereka, dan menjadi bagian dari mereka. Bagaimana kita bisa berinteraksi dengan
mereka, berkomunikasi dengan mereka, serta hidup membaur baik secara pribadi
maupun secara profesional (terkait hubungan pekerjaan).
2.
Mendapatkan tambahan ilmu multidisipliner
Dalam menjalankan tugas kerja dan melakukan pembinaan terhadap peserta
PKH, tidaklah cukup hanya mengandalkan ilmu yang kita miliki saja, bidang ilmu
yang kita tekuni saat kuliah saja, atau satu keterampilan yang kita kuasai
saja. Menghadapi manusia, terlebih mereka adalah kaum fakir-miskin dan
termarjinalkan, membutuhkan penggabungan berbagai disiplin ilmu, yang
diterapkan secara komprehensif dan sinergis. Kita butuh ilmu komunikasi
untuk melakukan kontak dan menjalin relasi dengan mereka. Kita membutuhkan ilmu
sosiologi untuk mempelajari masyarakat dan segala perubahannya. Untuk
membantu permasalahan peserta PKH kita perlu ilmu psikologi. Untuk
membangun hubungan baik dengan aparatur pemerintah dan pihak terkait dibutuhkan
ilmu manajemen/kehumasan. Juga ketika hendak menghibur mereka dan
memberi harapan masa depan, dibutuhkan ilmu agama. Sedang untuk mendidik
masyarakat diperlukan ilmu kependidikan dan pengajaran. Dan seterusnya.
3.
Memperoleh rizki yang melimpah
Sebagaimana kita ketahui, rizki tidak harus selalu berbentuk materi
(uang, harta benda), tapi bisa juga berbentuk immateri. Bertambahnya kenalan,
saudara, ilmu, pengalaman, adalah rizki. Kita diberi masalah juga rizki. Kita
bisa berbuat lebih kepada peserta PKH juga merupakan rizki. Kita mendapat
penghormatan, penghargaan, dan kepatuhan dari mereka juga rizki yang mesti kita
syukuri. Rizki immateri ini lebih menentramkan dan bersifat abadi.
4.
Melatih kejujuran dan integritas
Bekerja di bidang pemerintahan dan sangat erat kaitannya dengan uang
(bantuan), memberikan potensi dan peluang besar kepada kita untuk berbuat
curang atau korupsi. Jika sudah ada kaitannya dengan uang, para setan dan iblis
bekerja lebih giat dan bersemangat untuk menggoda manusia agar mau berbuat
ketidakjujuran.
Banyak sekali celah dan pintu yang bisa digunakan untuk berbuat curang
dan korup, baik secara nyata maupun tersembunyi, baik secara vulgar maupun
halus. Karena didorong oleh nafsu untuk memiliki uang yang “lebih”, bisa jadi
seorang pendamping meminta upeti kepada peserta PKH barang 50 atau 100 ribu
tiap pencairan, atau berbagai cara lainnya yang tak perlu disebutkan di ini.
Memang tidak mudah untuk menjadi pendamping yang jujur dan berintegritas,
apalagi godaan ada di depan mata dan begitu menggiurkan, ditambah lagi budaya
di negara kita yang didominasi oleh mental korup dan culas. Hanya orang-orang
yang mendapat petunjuk Tuhan-lah yang bisa menahan diri. Hanya orang-orang yang
mendapat bimbingan dari malaikat-lah yang akan terselamatkan.
5.
Mendapat gaji ke-13
Banyak dari kita yang mengharap gaji ke-13 (berarti nama bulannya apa ya,
setelah Desember), tapi sebenarnya kita sudah sering mendapatkannya. Mungkin
saja ketika kita mengisi PK, kita pulang diberi bungkusan atau sekantong berisi
snack, makanan, atau bahan mentah. Atau saat berkunjung ke rumah, kita diberi oleh-oleh
sekedarnya atau sebagian hasil panen. Atau pula kita diundang ketika peserta
PKH punya hajatan tertentu. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya, kita merasa tidak enak untuk menerima pemberian itu atau
takut membebani mereka. Akan tetapi, di balik itu semua, bisa jadi Allah-lah
yang menggerakkan hati mereka untuk melakukan pemberian itu. Atau lebih tinggi
lagi, mungkin saja perbuatan itu didorong oleh kecintaan mereka terhadap kita.
Bagaimana pun juga, hal itu tetap patut kita syukuri. Sebab hubungan yang
baik dan jalinan silaturrahmi yang erat akan melahirkan berbagai kecintaan dan
keindahan yang pengejawantahannya bisa berbacam-macam: ucapan terima kasih,
senyuman yang tulus, raut muka yang berseri-seri, penghargaan, penghormatan,
juga dalam bentuk pemberian.
6.
Allah adalah tujuan hidupnya
Kenapa orang mudah kecewa, sakit hati, sedih, atau malah mudah putus asa?
Mengapa orang menjadi malas bekerja, tidak bersemangat, tidak bertanggung
jawab, atau sering lalai? Mengapa pula orang rela berbuat curang, memanipulasi
atau korup?
Jawabannya adalah karena pekerjaannya atau hidupnya bukan untuk Tuhan. Karena
ia belum memahami benar untuk apa hidup ini, apa tujuan hidup ini, dan ke mana
setelah hidup nanti. Kita hidup belum tahu arah yang pasti, kita asal maju dan
jalan. Sementara di perjalanan yang panjang nan melelahkan itu, banyak sekali
tikungan atau perempatan yang memungkinkan kita untuk berbelok atau melenceng,
sehingga kita tidak akan pernah sampai pada tujuan hakiki.
Kita bekerja masih sekedar menjalankan tugas. Kita bekerja masih sebatas
yang penting selesai. Bahkan kita cenderung bekerja apa adanya, asal-asalan,
tanpa kualitas apalagi profesional. Kita belum menganggap bahwa bekerja adalah pengabdian,
bekerja adalah ibadah, dan lebih dalam lagi bekerja adalah sebuah panggilan
jiwa.
7.
Sebagai jalan dalam “mencari” Tuhan
Pergaulan kita dengan orang-orang fakir-miskin, kaum mustadh’afin,
masyarakat marjinal akan membuat hati kita tersentuh, peka, dan responsif. Hal
tersebut membuat kita bisa merasakan apa yang sedang mereka rasakan, yang kita
tunjukkan lewat sikap simpati dan empati. Lebih jauh lagi, spirit keimanan kita
akan mendorong hati kita untuk memiliki sifat perhatian, pengertian,
belas-kasih, dan ketulusan.
Tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah terbentang luas di semesta raya
ini. Salah satu di antaranya terdapat pada fakir-miskin dan kaum dhua’fa.
Sekiranya kita mampu merenungi dan menangkap pertanda itu, kita sudah berhasil
“menemukan” Tuhan di sana.
Dan
ketika kita sudah menyadari dengan penuh keyakinan akan keadilan, keseimbangan,
dan kesempurnaan dalam penciptaan manusia dengan segala bentuk dan
problematikanya, maka ketika itulah kita telah mengenal Tuhan secara lebih
dekat.
Akhir kata, jangan pernah menyesal karena telah menjadi
pendamping PKH. Ini bukanlah sebuah kebetulan, tapi telah menjadi skenario
Tuhan (tertulis di dalam Lauhul Mahfudz) bahwa kita ditakdirkan untuk menjadi “perpanjangan
tangan” Tuhan untuk membantu sesama manusia dan menyelamatkan manusia menuju
jalanNya.
*) Pendamping PKH Kec. Simo, Boyolali