Cari Blog Ini

Kamis, 17 November 2016

Puisi PKH: Siapa Bilang Aku Miskin



SIAPA BILANG AKU MISKIN
Oleh: Trimanto B. Ngaderi


Memang, rumahku terbuat dari bambu
Memang, rumahku masih berlantaikan tanah
Memang, kutidur beralaskan tikar pandan
Memang, istriku memasak berbahan bakar kayu

Namun,
Setiap waktu orang hilir-mudik bertamu ke rumahku
Ada perangkat desa, petugas sensus, pegawai dinsos, TKSK, pendamping PKH
Dan entah apa lagi

Mereka banyak bertanya
Meminta KPT-KK
Melihat rumah dan segala isinya
Bahkan memfotonya

Hingga di suatu hari
Tumpukan kartu-kartu memenuhi meja kusamku
Ada yang berwarna hijau, merah, ungu, dan biru
Entah apa namanya, dan entah apa pula kegunaannya

Menurut tetanggaku,
aku tergolong miskin, tidak mampu, pra-sejahtera, dan istilah lainnya
aku berhak mendapat bantuan katanya

padahal,
aku tak pernah merasa miskin
aku tak pernah merasa kekurangan
apalagi merasa kelaparan
apalagi merasa kehausan

aku sudah merasa cukup makan berlaukkan ikan asin dan sayur bening
aku sudah merasa cukup memakai beberapa lembar pakaian sederhana
aku merasa bersyukur bisa menyekolahkan anak walau sering nunggak bayar

ketika bantuan itu benar-benar datang
berbagai masalah pun berdiri menghadang
iri-dengki dari tetangga dan sanak-kadang
membuat hati dan pikiran kian tak tenang

sekali lagi aku bilang
sekali lagi kukatakan
lebih baik tanpa bantuan
sekali lagi kukatakan
aku miskin, siapa yang bilang

siapa bilang aku miskin
siapa bilang aku miskin

Selasa, 01 November 2016

Hari Santri: Memaknai Kembali Sistem Pendidikan Kita



HARI SANTRI: MEMAKNAI KEMBALI SISTEM PENDIDIKAN KITA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi


Hari Santri memiliki makna tersendiri bagi pondok pesantren pada khususnya dan bagi lembaga pendidikan pada umumnya. Pondok pesantren yang merupakan bagian dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia, memiliki peran khusus dan panjang dalam sejarah negeri ini. Sebelum Indonesia menganut sistem klasikal ala Barat (Belanda) yang dipelopori oleh Muhammadiyah, pondok pesantren telah lama eksis di Nusantara dan merupakan sistem pendidikan yang bersifat kerakyatan.
Pesantren (pesantrian) berasal dari kata “santri” yang diberi awalan dan akhiran. Mengenai asal-usul shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci; atau menurut istilah Sanskerta “cantrik” artinya orang yang selalu mengikuti guru.
kata santri, banyak sekali pendapat dari berbagai pakar baik dari dalam maupun luar negeri. Saya sendiri cenderung memilih bahwa santri berasal dari istilah bahasa India “
Pondok pesantren sepertinya mengadopsi sistem pendidikan dalam agama Hindu dengan ciri-ciri: 1) seluruh pelajarannya bersifat agama, 2) guru tidak mendapatkan gaji, 3) penghormatan yang besar terhadap guru, dan 4) letak pondok yang berada jauh dari keramaian.
Jauh sebelum kedatangan orang Eropa di Indonesia, pondok pesantren telah berkembang pesat di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bersifat kerakyatan karena bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama rakyat kecil. orang yang sangat miskin sekalipun bisa mondok hanya dengan modal kemauan dan tekad yang kuat. Biaya mondok dan makan sehari-hari bisa diganti dengan cara mengabdi kepada guru, membantu pekerjaan sawah atau pekerjaan rumah sang kyai.
Pada zaman Belanda, pondok pesantren mengalami diskriminasi dan tak jarang dicurigai. Ketika diperlakukan buruk dan merasa terancam, pada zaman pergerakan kemerdekaan, pondok pesantren menjadi salah satu motor penggerak dalam melawan penjajah. Para santri keluar dari pondok dan mengangkat senjata untuk berperang melawan Belanda.
Selanjutnya, pada awal masa kemerdekaan, organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern yang bersifat klasikal yang menganut sistem pendidikan ala Barat (Belanda), dengan memasukkan pelajaran pengetahuan umum, selain pengetahuan agama. Reformasi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan membawa perubahan besar terhadap perkembangan dan kemajuan cikal bakal negara Indonesia.
Ketika model pendidikan yang diperkenalkan Ahmad Dahlan mulai berkembang di Indonesia, pondok pesantren mulai terjadi kemunduran, banyak anak-anak yang mulai masuk ke sekolah-sekolah umum, terlebih yang bisa masuk sekolah tidak hanya dari kaum bangsawan/priyayi dan pejabat pemerintahan saja, rakyat kebanyakan dapat sekolah tanpa ada perbedaan. Pondok pesantren lebih terpinggirkan lagi pada masa Orde Baru, apalagi tak jarang pondok pesantren atau kyai-nya sering dicurigai oleh pemerintah sebagai penentang kebijakan negara.
Yang lebih disayangkan lagi, belum lama ini banyak pondok pesantren yang dituduh sebagai sarang teroris, sebuah fitnah yang tanpa ada alasan yang dapat dibuktikan. Pondok tersebut tak lebih sebagai kambing hitam dari sebuah upaya konspirasi global. Beberapa kyai dan santri menjadi sasaran penangkapan dan penculikan.
Kini, justru pondok pesantren mulai bangkit lagi. Di banyak tempat didirikan pondok pesantren baru. Sejalan dengan itu, minat orang untuk masuk pondok juga kian tinggi. Apalagi hampir semua pondok saat ini telah menggabungkan pelajaran pendidikan agama dan pendidikan umum. Pondok tetap eksis walau kini mulai bermunculan sekolah sistem fullday (sekolah Islam Terpadu) atau sekolah boarding school yang mengasramakan siswa mirip yang ada di pesantren. Boarding school ini sepertinya mengadopsi sistem pesantren. Atau di Barat disebut pula sekolah residensi.

Penutup
Bagaimana pun juga, pondok pesantren tetap menjadi pilihan para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya. Selain mendapat pelajaran umum sebagaimana di sekolah lain, yang pokok dan terpenting di pesantren anak-anak dibekali dengan ilmu agama dan akhlak yang baik. Tujuan utamanya adalah selain anak menjadi cerdas, juga memiliki iman dan amal shalih. Kualitas lulusan pesantren juga tak kalah dengan sekolah umum, banyak di antara mereka yang meneruskan ke perguruan tinggi di luar negeri atau memiliki prestasi yang patut dibanggakan. Tak jarang, para pejabat dan orang besar, banyak yang berasal dari pesantren.
So, jangan pernah ragu untuk memasukkan anak ke pondok pesantren.



Kamis, 11 Agustus 2016

Segarkan Badanmu dengan JANNATEA HOT

JANNATEA HOT

JannaTea Hot utuk para pekerja keras diramu dari herba pilihan yaitu :   
Lada Hitam, Kedawung, Cabe Jawa, Cengkeh, Kayu Angin, dan Adas.


Lada Hitam

Lada termasuk dalam daftar tanaman yang memiliki kandungan senyawa kimia yang mengesankan, dan diketahui memiliki manfaat pencegahan penyakit dan mendukung kesehatan. Lada telah lama dipergunakan sebagai bahan pengobatan, karena sifatnya yang anti inflamasi, karminatif, serta anti kembung.

Kedawung
Manfaat Kedaung Bagi Kesehatan : Sangat baik untuk antibakteri, sangat baik untuk pengobatan infeksi, mengobati sakit perut, obat alami untuk diare, menyembuhkan mual, mulas dan gangguan perut lainnya.

Cabe Jawa
Cabe jawa ini mempunyai rasa pedas yang memberi efek hangat pada tubuh. Sehingga untuk anda yang sedang tidak enak badan bisa langsung berkeringat dan mampu mengusir angin dalam tubuh.

Cengkeh
Aroma khas yang dimiliki oleh cengkeh merupakan hasil dari senyawa eugenol yang memiliki kadar kandungan 72 hingga 90 persen sebagai senyawa utama penyusun kandungan minyak atsiri di dalam cengkeh. Mengonsumsi secara rutin buah cengkeh dalam jumlah tertentu mampu membersihkan racun berbahaya serta mikroba-mikroba perusak dari dalam tubuh.

Kayu Angin
Kayu angin bukanlah termasuk tumbuhan tinggi, tetapi termasuk sejenis lumut, yang hidup menggantung pada ranting pohon.
Kayu ngin mengandung asam usneat, senyawa despida (asam barbatolat, asam barbatat, hidrat arang, likuin, zat pahit), asam usnin, vitamin C. Kayu Angin terkenal sebagai antibiotik dan anti-jamur. Sering digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas dan saluran urine. Selain itu Kayu Angin juga dapat menyembuhkan TBC, kelainan pencernaan, sakit perut, disentri, bisul, sariawan, dan masuk angin.

Adas
Manfaat adas untuk kesehatan dapat membantu gangguan seperti: anemia, gangguan pencernaan, perut kembung, sembelit, kolik, diare, gangguan pernapasan, gangguan menstruasi, dan bermanfat untuk perawatan mata.
Adas memiliki nama ilmiah Foeniculum vulgare Miller, secara luas digunakan di seluruh dunia sebagai penyegar mulut, pasta gigi, makanan penutup, antasida dan berbagai aplikasi bumbu dan kuliner. (sumber: website HPAI).

Sabtu, 09 Juli 2016

Memperoleh Lailatul Qadr Tanpa Ibadah

MEMPEROLEH LAILATUL QADR TANPA IBADAH
Oleh: Trimanto B. Ngaderi



Lailatul qadr adalah suatu malam yang selalu dinanti oleh kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Suatu malam kemuliaan yang dijanjikan oleh Allah swt setara dengan “seribu bulan”. Dikatakan bahwa malam tersebut hadir pada malam-malam ganjil terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam banyak yang melakukan i’tikaf di sepuluh hari itu agar memenangi lailatur qadr.
Dalam Q.S. Al Qadr dijelaskan bahwa pada malam tersebut Allah swt menurunkan para malaikat dan Ruh (Jibril) atas izinNya untuk mengatur segala urusan. Malam itu dipenuhi oleh kesejahteraan hingga fajar menyingsing. Kitab suci Al Qur’an juga diturunkan pada malam Qadr, sehingga umat Islam sering memperingatinya sebagai nuzulul Qur’an.
Keistimewaan dan kemuliaan yang ditawarkan lailatur qadr membuat umat Islam berlomba-lomba untuk memperbanyak amalan ibadah; mulai dari shalat sunat, shalat lail, tadarus Al Qur’an, berdzikir, berdoa, dan sebagainya. Tapi, benarkah setiap ibadah yang kita lakukan akan bernilai setara dengan seribu bulan (sekitar 84 tahun)? Apakah setiap mu’takif (pelaku i’tikaf) akan mendapatkan lailatur qadr?

Esensi Itikaf
I’tikaf secara bahasa artinya berdiam diri atau menetap. Berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjamaah (Imam Hanafi); berdiam diri di masjid dengan melakukan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah (Imam Syafi’i); dan aktivitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharap ridha Allah (buku “Tuntunan Ramadhan” Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah). Di luar Islam, ada ada semacam i’tikaf seperti meditasi, kontemplasi, tapabrata, dan lain-lain; namun cara dan tujuannya berbeda.
I’tikaf  boleh dilakukan kapan saja, tidak harus di bulan Ramadhan. Lamanya waktu i’tikaf pun tidak ada ketentuan yang pasti; semalam, sehari-semalam, sejam, dua jam, dan seterusnya. Menurut Al Baqarah: 187 dan beberapa hadits, i’tikaf dilakukan di masjid jami’. Walau ada yang berpendapat i’tikaf  boleh dilakukan di rumah atau tempat lain yang biasa dipakai untuk shalat.
Rasulullah saw sebelum menjadi Nabi sering melakukan i’tikaf di gua Hira’. Tujuannya adalah untuk membersihkan hati, merenung, menemukan kebenaran, dan menangkap sinyal-sinyal dari Tuhan. Hingga pada puncaknya, Muhammad mencapai pencerahan dan Allah berkenan menurunkan wahyu untuk pertama kalinya.
Para nabi terdahulu pun melakukan i’tikaf. Ibrahim as melakukan perenungan di tengah gelapnya paganisme Babilonia untuk mencari siapa Tuhan yang sebenarnya. Musa as menepi di atas gunung Sinai selama 40 malam untuk menerima Taurat. Bahkan, Sidarta Gautama mencapai pencerahan juga lewat i’tikaf (meditasi).
Salah satu tujuan melakukan i’tikaf adalah untuk mendapatkan lailatur qadr. Terutama di malam ganjil, orang memperbanyak shalat lail, tadarus Al Qur’an, berdzikir, berdoa, atau bersedekah; bahkan ada yang cuma sekedar tidur beramai-ramai di masjid. Orang disibukkan oleh berbagai macam amal ibadah, sehingga kegiatan i’tikaf, berdiam diri tidak melakukan kegiatan atau aktivitas apapun, malah terlewatkan. Inilah salah kaprah dalam memaknai i’tikaf dan lailatul qadr.
Lebih parah lagi, kita disibukkan dengan urusan mengejar pahala. Fokus kepada hitungan matematis pahala, bukan fokus kepada Allah-nya. Akhirnya kita cenderung mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Kita segera berpuas diri dan berbangga-bangga karena telah melakukan ibadah ini dan itu, sekian dan sekian. Makanya tak jarang kita menjumpai orang yang shalat dengan gerakan yang cepat, membaca Al Qur’an dengan irama berlari, dzikir yang ngebut.
Tidak salah jika kita memperbanyak amal ibadah, tapi jika kita kembalikan kepada esensi i’tikaf itu sendiri, maka kesibukan kita beribadah seringkali melupakan kegiatan i’tikaf dalam rangka menangkap lailatul qadr. Karena, lailatul qadr hanya bisa kita tangkap atau rasakan saat kita dalam kondisi diam, hening, dan “kosong”.

Cara Beri’tikaf
Caranya cukup mudah dan sederhana. Kita berdiam diri di masjid dengan cara duduk bersila, duduk seperti takhiyat, atau cara duduk lainnya yang dirasa nyaman dan santai, tapi penuh kosentrasi, fokus, dan khusyu’. Kosongkan pikiran dari hal-hal yang bersifat duniawi. Niatkan dalam hati untuk menghadap Allah, mendekat kepada Allah, dan berkomunikasi dengan-Nya.
Satukan hati dan pikiran agar tersambung dengan Allah. Mulailah rasakan kehadiranNya. Rasakan kebersamaan dengan-Nya. Rasakan bahwa seakan ruh telah berpisah dari raga, dan bersatu dengan Sang Pemilik-nya. Sadarilah ke-Mahabesaran-Nya.
Ketika hati dan pikiran sudah tersambung kepada Allah, bolehlah kita menyampaikan segala hajat kita, harapan-harapan  kita, permohonan kita, termasuk masalah-masalah yang sedang kita hadapi. Selain itu, kita bisa mengisinya dengan mengucapkan dzikir dalam hati, yang dibaca secara berulang-ulang.
Hingga pada titik tertentu, kita akan mencapai suatu keheningan yang mendalam, kesunyian, dan juga kekosongan. Kita pasrahkan diri kita sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Hidup dan mati kita, rezeki kita, keselamatan kita, masa depan kita, dan seterusnya. Kepasrahan secara total. Ikhlaskan segala yang telah terjadi. Syukurilah apa yang sudah kita terima dan kita miliki. Akuilah segala dosa yang telah kita perbuat untuk memohon pengampunanNya.
Pada titik berikutnya, ketenangan dan kedamaian akan menghampiri kita. Kita akan memperoleh kebahagiaan, memperoleh semangat dan kekuatan baru. Pada fase inilah, (semoga) Tuhan berkenan memberikan petunjuk, anugerah, ilmu, ilham secara khusus kepada kita. Hati dan jiwa kita telah siap menyambut kehadiran para malaikat dan Ruh yang membawa rahmat dan kebaikan. Jiwa kita mampu menangkap keutamaan lailatur qadr.
Akhir kata, untuk memperoleh lailatul qadr tidak harus dengan melakukan berbagai macam ibadah. Cukup duduk berdiam diri di masjid tanpa melakukan aktivitas apapun. Lamanya berdiam diri disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi kita masing-masing. Wallahu a’lam bish-shawab.


Kamis, 28 April 2016

Lima Prinsip Keyakinan Syiah Imamiyah



LIMA PRINSIP KEYAKINAN SYIAH IMAMIYAH
Oleh: Trimanto B. Ngaderi



Agama Syiah pertama kali dipelopori oleh Abdullah bin Saba, seorang Yahudi Yaman pada masa khalifah Utsman bin Affan ra. Agama ini pada awalnya berkembang di daerah Kufah dan Basrah (Iraq), terlebih sejak kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Untuk perkembangan selanjutnya, agama ini diyakini oleh mayoritas penduduk Iran.

Walau mengaku sebagai Islam, namun ajaran Syiah sangat bertentangan dengan ajaran dan aqidah Islam, bahkan saking jauh tersesatnya, justru mereka sangat memusuhi Islam. Beberapa prinsip aqidah (keyakinan) yang mereka miliki, di antaranya:

1)      Al Imamah/Al Wilayah (Keimamahan/Kepemimpinan)
Mereka meyakini 12 imam/pemimpin dimulai dari Ali bin Abi Thalib ra hingga anak-keturuannya. Mereka memiliki kedudukan yang tinggi dan dianggap sebagai rukun kelima dari rukun Islam.
2)       Ishmah/Ma’shum (terjaga dari dosa dan kesalahan)
Para imam dianggap memiliki sifat ma’shum sebagaimana yang dimiliki para nabi. Mereka diyakini terjaga dari dosa dan kesalahan lahir maupun batin, dari lahir sampai meninggal.
3)      Al Ghaibah (Menghilang)
Meyakini bahwa imam ke-12 Muhammad bin Hasan Al Askari senantiasa akan bersembunyi (tidak menampakkan diri) hingga Allah mengizinkannya keluar.
4)      Ar Raj’ah (Kembali/Bangkit)
Meyakini bahwa Tuhan akan mengembalikan orang/sekelompok kaum yang telah mati ke dunia dalam wujud dan gambaran mereka seperti sedia kala.
5)      Al Bada’
Bahwa Allah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak tampak bagiNya. Mereka menganggap bahwa Allah memiliki sifat jahl (bodoh) dan nisyan (lupa)

Demikianlah, memang Syiah Imamiyah memiliki sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap imam-imam mereka. Mereka dianggap memiliki sifat rububiyah (ketuhanan), yang mengetahui ilmu ghaib, dapat mengatur alam semesta, bahkan menganggap lebih tinggi daripada nabi dan rasul. Dalam beberapa hal, kesesatan mereka malah melebihi kaum Yahudi dan Nasrani.

Beberapa aliran atau istilah yang dinisbatkan kepada Syiah, seperti Ismailiyah, Qaramithah, Bathiniyah, dll.

Kedokteran Modern Mendidik Kita Berpikir dan Bersikap Sekuler



KEDOKTERAN MODERN MENDIDIK KITA
BERPIKIR DAN BERSIKAP SEKULER
Oleh: Trimanto B. Ngaderi


Kita semua tahu bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani, raga dan jiwa, jasad dan ruh, lahir dan batin. Unsur yang satu kasat mata, bisa dilihat, bisa diraba; sedangkan yang lainnya tak kasat mata, tak bisa dilihat, tak bisa diraba, namun bisa dirasakan kehadirannya dan disadari keberadaannya. 

Kedua unsur tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. keduanya saling berinteraksi, saling berkomunikasi, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Kondisi fisik akan berpengaruh kepada kondisi kejiwaan, demikian sebaliknya. Jika badan sakit, jiwa akan terpengaruh, jika jiwa yang sakit, maka badan pun akan merasakannya. Sakit yang diderita jasmani, bisa jadi disebabkan oleh jiwa yang sakit, pun jiwa yang tidak beres bisa jadi karena jasad sedang tidak sehat.

Perlakuan Dunia Kedokteran
Secara umum, praktisi kedokteran memperlakukan pasiennya cenderung sebagai objek semata, dalam arti ia hanya makhluk fisik semata. Sakit mereka sering dihubungkan dengan turunnya sistem kekebalan, terserang bakteri-virus, kelelahan, pola makan, dan sebaginya. Perhatian secara rohaniah nyaris tidak ada.
Padahal bisa jadi sakit kepala yang diderita pasien disebabkan oleh kondisi/peristiwa kejiwaan, seperti tertekan, kecewa, marah, dan semacamnya. Bisa jadi sakit perut yang dirasakannya karena faktor batin/emosi, seperti kecemasan, iri dengki, kesombongan, dll. Bisa jadi gangguan jantung yang menderanya diakibatkan oleh nafsu serakah, gila harta/jabatan, takut korupsinya terbongkar.

Pertanyaan yang biasa dilontarkan praktisi kedokteran ketika memeriksa pasien seputar: apa yang sekarang dirasakan, berapa lama, bagaimana pola makan, pola tidur, merokok tidak, dll. Diagnosa yang sering diterapkan seperti pemeriksaan denyut nadi-jantung, tensi darah, cek lidah atau mata.
Jarang sekali menanyakan sedikit latar belakang pasien, seperti pekerjaan, latar sosial-ekonomi, perilaku atau kebiasaan sehari-hari, apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan, adakah masalah yang sedang dihadapi, dan berbagai aspek yang berkaitan dengan ruhani atau spiritual; yang sangat mungkin berkaitan dengan penyakit yang diderita.

Bahkan, jika pasien yang mengantri membludak, proses pemeriksaan/pengobatan hanya berlangsung kurang dari 5 menit, atau malah hanya 2-3 menit saja. Ditanya sekilas, tensi darah, langsung dikasih resep/obatnya. Bisa dibilang, kita datang bukan untuk periksa/berobat, tapi sekedar beli obat.  

Pengobatan Holistik
Jika pasien diperlukan tak lebih sebagai objek atau makhluk fisik semata, sebenarnya manusia tak ubahnya seperti benda-benda mati lainnya, seperti tanah, batu, air, gunung, kayu dan sebagainya. Manusia seakan tak punya jiwa, ruh, rasa, emosi. Manusia telah diabaikan aspek ruhaninya. 

Jika mengendaki kesembuhan secara menyeluruh, sembuh lahir-batin; bukan sekedar mengobati gejala atau rasa sakitnya saja. Sementara penyakitnya itu sendirinya (akar) masih tetap ada. Maka, dikenallah sebuah metode pengobatan, yaitu pengobatan holistik. Sebuah pengobatan yang menggabungkan kedua aspek pada diri manusia, yaitu jasmani dan rohani. 

Pengobatan holistik, selain melakukan diagnosa dan pemberian obat, juga dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi batiniah pasien. Apa yang sedang dirasakan, yang sedang dipikirkan, kondisi mental dan psikologis, sikap dan perilakunya, latar belakang keluarga dan sosial-ekonomi, keyakinan, harapan, dan masih banyak lagi.

Thibbun Nabawi
Thibbun Nabawi adalah kedokteran Islam yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad saw dan sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kedokteran Islam memiliki tiga prinsip utama, yaitu:

a.       Obatnya berbahan alamiah (herbal)
Berasal dari tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki khasiat obat, yang aman dikonsumsi dan tanpa efek samping, bahkan ketika diminum dalam kondisi sehat sekalipun (untuk pencegahan).

b.      Keyakinan
Bahwa obat hanya sebagai sarana/perantara saja, sedangkan kesembuhan datang dari Allah Yang Mahapenyembuh. Jadi tidak perlu fanatik terhadap dokter atau obat tertentu, mereka hanya wasilah semata. Kesembuhan tidak harus karena obatnya mahal atau ditangani oleh dokter atau rumah sakit ini itu. Kesembuhan bisa datang dari obat yang sederhana dan murah. Faktor “jodoh” juga sangat menentukan dalam mencari kesembuhan.

c.       Berbahan halal
Inilah yang paling pokok dalam Islam. Selain cara berobatnya tidak melanggar aturan agama, obat yang dikonsumsi pun bahannya harus halal. Tidak boleh mengandung bahan babi atau sesuatu yang diharamkan oleh Allah.

Demikian semoga bermanfaat.