Opini
QURBAN DAN KESALEHAN MULTIKULTURAL
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Qurban adalah salah satu perintah
Allah swt kepada hamba-Nya dengan cara menyembelih hewan qurban untuk dibagikan
kepada kaum dhuafa dan fakir-miskin. Sejarah perintah qurban dapat kita baca
dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102-107. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan
setelah shalat Idul Adha (hari nahar)
hingga tiga hari setelahnya (hari tasyrik).
Qurban sendiri hukumnya adalah sunnah muakkadah (utama) bagi orang-orang
yang mampu melaksanakannya. Melaksanakan qurban merupakan buah kesadaran iman
seseorang sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan
Allah swt sekaligus sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan seorang hamba kepada
Tuhannya. Inilah wujud dari kesalehan pribadi seorang hamba kepada Penciptanya.
Selain itu, juga sebagai wujud kesalehan sosial yaitu kesediaan berbagi kepada
mereka yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan.
Akan tetapi, benarkah ibadah qurban
hanya sebatas ungkapan rasa syukur dan tindak ketaatan kepada Sang Pencipta dan
tindak solidaritas sosial sesama Muslim semata? Tidakkah ibadah qurban juga
bermakna dan bermanfaat bagi mereka yang berbeda etnis dan bangsa, bahkan
berbeda agama dan paham keagamaan?
Reinterpretasi
Kesalehan
Kesalehan adalah suatu tindakan yang
berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas kesadaran
ketundukan pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata “amal
saleh”) merupakan hasil keberimanan atau produk dari iman (percaya kepada
Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar (Abdul Munir Mulkan; 2005:7).
Secara otentik, kesalehan berarti
ketaatan dan ketundukan terhadap hal-hal yang menjadi perintah Tuhan. Orang
yang melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat fitrah, dan berbagai
ibadah mahdhah lainnya disebut
sebagai orang yang saleh. Sedangkan kosa-kata “amal saleh” sendiri masih
dimaknai secara sempit dan terbatas ruang, seperti berdzikir, bersedekah,
menengok orang sakit, takziah; dan perbuatan baik lainnya yang masih dilakukan
kepada orang yang seagama atau yang satu etnis/bangsa.
Di satu sisi, ia adalah orang yang
sangat patuh terhadap Tuhan dan tidak pernah lalai akan perintah-perintahNya;
tapi di sisi lain, ia belum (tidak) memiliki kepekaan sosial terhadap berbagai
kesulitan dan penderitaan orang lain, terlebih kepada yang berbeda agama dan
paham keagamaan. Ritual ibadah qurban yang berfungsi sosial pun masih dimaknai hanya
sekedar pembersihan diri dan harta benda.
Padahal, orang yang saleh adalah
orang yang menyadari sepenuhnya bahwa dirinya diciptakan ke dunia ini adalah
sebagai khalifah fil ardh (pengelola/penguasa
bumi) untuk memberikan rahmatal lil
a’alamin (rahmat bagi seluruh semesta). Seluruh semesta di sini adalah
semua manusia, baik yang seagama maupun yang tidak seagama dan berbeda paham
keagamaan.
Sedangkan esensi qurban sendiri tidak
sekedar menyembelih hewan dan membagikannya kepada fakir-miskin, tapi kesediaan
setiap pemeluk agama dalam keseharian hidup untuk mau mengorbankan diri dan
hartanya-mengorbankan pikiran dan tenaganya demi kemaslahatan umat manusia,
terlebih kepada mereka yang menderita dan tertindas tanpa memandang etnis dan
agama. Inilah tingkat kesalehan yang berakar pada misi kenabian profetik
Muhammad saw dalam masyarakat multikultural Madinah.
Qurban sendiri bisa dijadikan sebagai
media dakwah dalam arti yang luas. Qurban tidak hanya sebatas kesalehan
simbolik tanpa memiliki makna kemaslahatan bagi kesejahteraan dan perdamaian.
Ketika mereka yang tidak seagama dan tidak sebangsa juga bisa menikmati
pembagian daging qurban, diharapkan akan menimbulkan rasa simpati dan
menghilangkan kebencian dan permusuhan dari mereka. Dari sinilah akan tercipta
kehidupan multikultural yang damai, saling pengertian dan hormat-menghormati.
Ketika sesama umat Islam sendiri
masih sering terjadi pertikaian dan konflik, maka ibadah qurban dalam rangkaian
ibadah haji bisa dijadikan momen untuk menjalin kembali ukhuwah Islamiyyah yang
selama ini sering terkoyak akibat perbedaan prinsip dan paham keagamaan; sekaligus
sebagai simbol bahwa umat Islam pun mau dan mampu membina hubungan baik kepada
seluruh umat manusia tanpa pandang bulu.
Perintah untuk Semua
Agama
Sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al
Hajj [22): 34 bahwa perintah qurban tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi
juga telah disyariatkan kepada tiap-tiap umat terdahulu. Kita bisa membaca pengorbanan
yang dilakukan oleh Qabil dan Habil putra Adam as dalam semua kitab suci agama
samawi, pengorbanan Nabi Musa dan Isa untuk umatnya yaitu Bani Israil. Termasuk
pengorbanan Nabi Muhammad saw yang kemudian terangkum dalam rangkaian ibadah
haji.
Dengan demikian, ibadah qurban tidak
hanya sebatas amal saleh untuk mencari pahala dan jalan menuju surga, tapi
sebuah upaya menuju kesalehan universal (kemanusiaan), sebagai landasan rahmatal lil a’lamin. Di sinilah terjadi
perubahan dari ibadah yang berfokus teosentris
menuju antroposentris.
Semangat qurban pun diharapkan mampu
menumbuhkan kesadaran akan adanya “the
other”. Bahwa di sekeliling kita ada orang atau komunitas lain yang berbeda
etnis dan bangsa, yang berbeda agama dan paham keagamaan; di mana mereka harus
merasa aman dan selamat berada di tengah-tengah kita. Inilah esensi dari kata
“Islam” itu sendiri yaitu mampu membawa keselamatan dan kedamaian.
Jika ibadah qurban merupakan wujud
kepedulian dan cinta-kasih terhadap mereka yang lemah dan miskin, maka orang-orang
yang berqurban seyogyanya memiliki spirit untuk peduli dan mencintai sesama
manusia dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Inilah esensi dari apa yang disebut sebagai
kesalehan multikultural.