Puisi
TUHAN DAN “TUHAN”
KITA
Sekarang ini,
Baik Tuhan maupun
“Tuhan” telah kian populer
namaNya amat sering
disebut-sebut
peran sertanya dalam
pembangunan (lokal, nasional, regional, internasional) dan akhirat makin
diperhitungkan
dengan kalkulator, orang
menghitung berapa potensi Tuhan sebagai faktor produksi
Ia sama sekali tidak
konsumtif
Ia merupakan blunder
dari mekanisme pasar
Tapi Ia juga
dipuja-puji
Sebaliknya, tak
jarang Ia juga dimaki-maki dan di-gerundeli
Orang minta di-keloni
Tuhan bak babi buta atau kerbau tuli
Tapi orang juga
ngambek, purik, bahkan minggat dariNya,
Meskipun terpaksa
ketemu Dia juga di mana pun,
Dalam wajahNya yang
mungkin sudah tidak mirip dengan yang dianggapnya semula
Tuhan menjadi
psikiater, sekaligus kambing hitam
Bagi orang yang
mengalami patah hati sosial, ekonomi, politik, dan budaya
Tuhan juga menjadi
sepah, yang habis manis lantas dibuang
Orang baik-baikan
sama Tuhan kalau lagi butuh
Dipuji wajahnya
ganteng ketika orang mendapat rejeki
Tuhan
dipanggil-panggil, di-rasani sambil petan, lobi, andok di
warung bajigur, rapat redaksi, atau seminar kemiskinan di hotel bintang 6
Tuhan makin dicintai baik
dengan cara menggandeng tanganNya maupun dengan membenciNya
Tuhan ‘diadakan’
dan ‘ditiadakan’
Keduanya sama
mesranya, sama sakralnya, sama khusyu’ dan fanatiknya
Tuhan makin populer,
Namun karena itu,
berlangsung di kalangan masyarakat manusia, maka popularitasNya bersifat
manusiawi
Kadang agak hewani,
terkadang bau-bau Ilahi
Manusia hanya sedikit
lebih dari binatang
tapi ia menjadi
istimewa karena seolah-olah kerasukan Tuhan
di satu pihak, ia
merasa dialah sang Tuhan
di lain pihak,
manusia saja yang terasa ada
dalam formulasi ke-ada-an
yang nge-Tuhan jua
demikianlah, Tuhan
bagaikan Cocacola, Cocacola bagaikan Tuhan
‘di mana saja’ dan
‘kapan saja’
Dengan pengakuan atau
pengingkaran
Dengan namaNya maupun
pseudo-asmaNya
Manusia mengepung
Tuhan
Manusia mengepung
yang disebut ketiadaan Tuhan
Atau,
Tuhan mengepung
manusia
Tuhan mengepung
lingkaran ketiadaan Tuhan dalam diri manusia
Asyik .....
Tuhan sendirian,
namun mengepung miliaran manusia
Saudara, saudara!
Sepengetahuan orang
banyak, Tuhan berdomisili di rumah agama
begitu banyak orang
mengerumuni rumah itu
Baik untuk tempat
pelarian maupun sebagai sumur dari teori kemajuan
Rumah tinggal Tuhan
seperti gua Ali Baba – yang menyimpan harta karun misterius
Yang kini orang
datang untuk menagih ‘hutang’
Ayo Tuhan, katanya
Kamu adil, mana keadilan sosial?
Katanya agamaMu
merangsang kreativitas
Mengapa orang-orang
lama mementingkan kejumudan dan orang-orang baru menyembah konsumsi?
Rumah Tuhan dianggap
warisan tuan-tuan tanah kaya Eropa abad pertengahan atau haji-haji desa Jawa
Kini orang-orang
berduyun-duyun menyelenggarakan ‘duel’ perhitungan baru, politis dan
ekonomis
Tuhan merupakan oknum
yang tersangkut amat serius dalam hal ini
Orang bertanya
“Apakah Tuhan bersedia menjadi salah seorang menteri dalam kabinet pembangunan,
inisiator industri, manajer perusahaan, pengiklan politik, misionaris Keluarga
Berencana, legitimator tebu intensifikasi, hostes pariwisata Borobudur,
memobolisasi buruh pabrik
Apakah Tuhan
merupakan faktor produktif atau menjadi biang kebangkrutan pembangunan
Sama sekali tidak
tergantung pada Tuhan, melainkan pada diri kita sendiri
Pada semua pejalan
pembangunan dan pengubah sosial
Sejak sekian ribu
juta tahun sebelum Masehi
Tuhan sudah
menyediakan segala sesuatu yang kini merepotkan kita
Dengan segala
pekerjaan internasional yang kita sebut pembangunan
Kini, ...
Ketika banyak hal di
dalam yang disebut pembangunan itu, ternyata omong kosong
Tiba-tiba kita
menggugat Tuhan, menuduhNya, membuangNya
Atau justru mengadu
kepadaNya
Seakan-akan Ia adalah
putra Pak Karto Semprul
Yang kita kejar-kejar
supaya ikut gugur-gunung melaksanakan pembangunan
Kita mengembangkan
peradaban yang cenderung makin keliru mengenaliNya
Keliru
mengeksploitasi Tuhan untuk kepentingan monopoli ekonomi-politik
Keliru memahami Tuhan
sebagai Bhatara Wisnu
Yang akan menitis
lagi ke satu oknum di bumi setelah Sri Kresna – titisan ke-10
Kita kurang melihat Tuhan
sebagai nilai yang merangsang cakrawala kreativitas manusia
Tuhan kita
asosiasikan sebagai suatu kuantitas personal atau figur yang berada di luar
diri kita – langit yang mewah dan elitis
Tuhan seperti seorang
pemberi hadiah yang seolah-olah masih punya hutang anugerah kepada kita
Seolah-olah apa yang
sudah dimiliki oleh manusia di dalam dirinya belum merupakan anugerah
Kita
memanggil-manggil Tuhan sebagai sesuatu yang luks
Sehingga orang lain
berputus asa
Menganggap Tuhan itu
bikinan kita sendiri
Tuhan dianggap
sebagai penghalang pembangunan
Di satu pihak,
Orang mengeksploitir
nilai Tuhan untuk menindas
Di pihak lain,’orang
meratuadilkan Tuhan
Sehingga mereka tak
bekerja keras untuk memperjuangkan dirinya
(diambil dari buku
“Sedang Tuhan pun Cemburu” karya Emha Ainun Nadjib subjudul Petruk, Agama, dan
Perubahan Sosial)