Cari Blog Ini

Rabu, 15 Juli 2015

Puisi: Tuhan dan "Tuhan" Kita



Puisi
TUHAN DAN “TUHAN” KITA

Sekarang ini,
Baik Tuhan maupun “Tuhan” telah kian populer
namaNya amat sering disebut-sebut
peran sertanya dalam pembangunan (lokal, nasional, regional, internasional) dan akhirat makin diperhitungkan
dengan kalkulator, orang menghitung berapa potensi Tuhan sebagai faktor produksi
Ia sama sekali tidak konsumtif
Ia merupakan blunder dari mekanisme pasar
Tapi Ia juga dipuja-puji
Sebaliknya, tak jarang Ia juga dimaki-maki dan di-gerundeli
Orang minta di-keloni Tuhan bak babi buta atau kerbau tuli
Tapi orang juga ngambek, purik, bahkan minggat dariNya,
Meskipun terpaksa ketemu Dia juga di mana pun,
Dalam wajahNya yang mungkin sudah tidak mirip dengan yang dianggapnya semula

Tuhan menjadi psikiater, sekaligus kambing hitam
Bagi orang yang mengalami patah hati sosial, ekonomi, politik, dan budaya
Tuhan juga menjadi sepah, yang habis manis lantas dibuang
Orang baik-baikan sama Tuhan kalau lagi butuh
Dipuji wajahnya ganteng ketika orang mendapat rejeki
Tuhan dipanggil-panggil, di-rasani sambil petan, lobi, andok di warung bajigur, rapat redaksi, atau seminar kemiskinan di hotel bintang 6
Tuhan makin dicintai baik dengan cara menggandeng tanganNya maupun dengan membenciNya
Tuhan ‘diadakan’ dan ‘ditiadakan
Keduanya sama mesranya, sama sakralnya, sama khusyu’ dan fanatiknya

Tuhan makin populer,
Namun karena itu, berlangsung di kalangan masyarakat manusia, maka popularitasNya bersifat manusiawi
Kadang agak hewani, terkadang bau-bau Ilahi
Manusia hanya sedikit lebih dari binatang
tapi ia menjadi istimewa karena seolah-olah kerasukan Tuhan
di satu pihak, ia merasa dialah sang Tuhan
di lain pihak, manusia saja yang terasa ada
dalam formulasi ke-ada-an yang nge-Tuhan jua
demikianlah, Tuhan bagaikan Cocacola, Cocacola bagaikan Tuhan
‘di mana saja’ dan ‘kapan saja’
Dengan pengakuan atau pengingkaran
Dengan namaNya maupun pseudo-asmaNya
Manusia mengepung Tuhan
Manusia mengepung yang disebut ketiadaan Tuhan
Atau,
Tuhan mengepung manusia
Tuhan mengepung lingkaran ketiadaan Tuhan dalam diri manusia
Asyik .....
Tuhan sendirian, namun mengepung miliaran manusia

Saudara, saudara!
Sepengetahuan orang banyak, Tuhan berdomisili di rumah agama
begitu banyak orang mengerumuni rumah itu
Baik untuk tempat pelarian maupun sebagai sumur dari teori kemajuan
Rumah tinggal Tuhan seperti gua Ali Baba – yang menyimpan harta karun misterius
Yang kini orang datang untuk menagih ‘hutang
Ayo Tuhan, katanya Kamu adil, mana keadilan sosial?
Katanya agamaMu merangsang kreativitas
Mengapa orang-orang lama mementingkan kejumudan dan orang-orang baru menyembah konsumsi?
Rumah Tuhan dianggap warisan tuan-tuan tanah kaya Eropa abad pertengahan atau haji-haji desa Jawa
Kini orang-orang berduyun-duyun menyelenggarakan ‘duel’ perhitungan baru, politis dan ekonomis
Tuhan merupakan oknum yang tersangkut amat serius dalam hal ini
Orang bertanya “Apakah Tuhan bersedia menjadi salah seorang menteri dalam kabinet pembangunan, inisiator industri, manajer perusahaan, pengiklan politik, misionaris Keluarga Berencana, legitimator tebu intensifikasi, hostes pariwisata Borobudur, memobolisasi buruh pabrik

Apakah Tuhan merupakan faktor produktif atau menjadi biang kebangkrutan pembangunan
Sama sekali tidak tergantung pada Tuhan, melainkan pada diri kita sendiri
Pada semua pejalan pembangunan dan pengubah sosial
Sejak sekian ribu juta tahun sebelum Masehi
Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kini merepotkan kita
Dengan segala pekerjaan internasional yang kita sebut pembangunan
Kini, ...
Ketika banyak hal di dalam yang disebut pembangunan itu, ternyata omong kosong
Tiba-tiba kita menggugat Tuhan, menuduhNya, membuangNya
Atau justru mengadu kepadaNya
Seakan-akan Ia adalah putra Pak Karto Semprul
Yang kita kejar-kejar supaya ikut gugur-gunung melaksanakan pembangunan
Kita mengembangkan peradaban yang cenderung makin keliru mengenaliNya
Keliru mengeksploitasi Tuhan untuk kepentingan monopoli ekonomi-politik
Keliru memahami Tuhan sebagai Bhatara Wisnu
Yang akan menitis lagi ke satu oknum di bumi setelah Sri Kresna – titisan ke-10

Kita kurang melihat Tuhan sebagai nilai yang merangsang cakrawala kreativitas manusia
Tuhan kita asosiasikan sebagai suatu kuantitas personal atau figur yang berada di luar diri kita – langit yang mewah dan elitis
Tuhan seperti seorang pemberi hadiah yang seolah-olah masih punya hutang anugerah kepada kita
Seolah-olah apa yang sudah dimiliki oleh manusia di dalam dirinya belum merupakan anugerah
Kita memanggil-manggil Tuhan sebagai sesuatu yang luks
Sehingga orang lain berputus asa
Menganggap Tuhan itu bikinan kita sendiri
Tuhan dianggap sebagai penghalang pembangunan

Di satu pihak,
Orang mengeksploitir nilai Tuhan untuk menindas
Di pihak lain,’orang meratuadilkan Tuhan
Sehingga mereka tak bekerja keras untuk memperjuangkan dirinya

(diambil dari buku “Sedang Tuhan pun Cemburu” karya Emha Ainun Nadjib subjudul Petruk, Agama, dan Perubahan Sosial)