Cari Blog Ini

Kamis, 03 Oktober 2019

Syaikh Subakir, Wali Pertama di Tanah Jawa


SYAIKH SUBAKIR



Wus kalayan karsa Nata, yata kan kocapa mangkin, janma kang samya tinilar, aneng jroning pulo Jawi, binadog ing dedemit, meh telas pan amung kantun, sakawan dasa somah, giri mahanira sami, lajeng layar mantuk mring Ngerum nagara (Kitab Musaras Syaikh Subakir, hal. 23)

Syaikh Subakir termasuk salah satu Walisongo generasi awal. Ia merupakan ulama hebat yang berasal dari negeri Persia. Ia memiliki keahlian khusus yang membuatnya sangat terkenal di Nusantara, terutama di tanah Jawa, yaitu melakukan ruqyah Pulau Jawa yang konon masih dianggap angker dan keramat. Ia mensucikan Pulau Jawa dari berbagai macam energi negatif, termasuk membersihkan kekuatan-kekuatan ghaib yang dapat mengganggu proses dakwah Islam di Nusantara. Pada waktu itu, Pulau Jawa belum begitu banyak penduduknya, sehingga masih banyak tempat-tempat yang dihuni oleh makhluk halus dan tak jarang mengganggu kehidupan manusia.

Melalui cerita ini, akan diuraikan kembali jejak historis Syaikh Subakir yang masih belum banyak dikenal orang dan belum banyak diulas dalam buku-buku cerita maupun buku sejarah yang ada. Adapun cerita-cerita yang selama ini beredar lebih cenderung bersifat magis-mistis daripada telaah kritis terhadap kiprah dan peran beliau dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sehingga di lapangan masih ditemukan banyak versi dan silang-sengkarut terkait kisah Syaikh Subakir ini. Hal ini dapat dimaklumi, sebab sangat sedikit sekali sumber ilmiah yang dapat dijadikan referensi.

Sumber gambar: www.tabloidjawatimur.com


Biografi Singkat Syaikh Subakir
Menurut catatan sejarah, Syaikh Subakir lahir pada 20 Ramadhan 787 H di Persia. Memiliki nama lengkap Syaikh Tambuh Aly bin Syaikh Baqir, atau ada yang menyebut Muhammad Al Baqir. Namun, ketika datang di Pulau Jawa, orang menyebut beliau dengan Syaikh Subakir. Beberapa sumber menjelaskan bahwa nama Al Baqir merupakan sebuah gelar, yang berarti “membelah bumi”, dalam arti memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa, diibaratkan mampu membelah bumi,mengeluarkan segala isinya yaitu berupa ilmu pengetahuan.

Bila dilacak berdasarkan garis nasabnya, ia masih keturunan Salman al Farisi, salah seorang sahabat Nabi saw yang memiliki semangat luar biasa dalam memperjuangkan agama Islam. Mengenai asal-usul Syaikh Subakir, ada pula yang mengatakan bahwa ia berasal dari negeri Rum (Turki Utsmani). Konon ia diutus oleh Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di negeri-negeri Timur (kawasan Nusantara).

Sebelum melakukan dakwah Islam, Syaikh Subakir pernah belajar di Mekkah selama 10 tahun. Di tanah suci tersebut, ia mendapatkan pengetahuan dan pelajaran agama dari  para ualam setempat. Ia juga bergaul dengan banyak orang dari beragam latar belakang adat-istiadat dan budaya dari seluruh dunia. Hal ini kelak menjadi bekal dalam rangka melaksanakan misi dakwah dan penyebaran Islam.
Tumbal Tanah Jawa.

Sebelum kedatangan Syaikh Subakir di tanah Jawa,masyarakat di Pulau Jawa masih menganut agama Hindu-Buddha. Ditambah pula masih kuatnya kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Mereka masih percaya adanya kekuatan pada arwah leluhur, pohon besar, batu, tempat keramat, atau benda-benda pusaka. Mereka juga masih melafalkan mantra-mantra yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib (magis).

Lalu beredarlah sebuah kisah mengenai seorang utusan dari negeri Arab untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Para utusan dari Arab sebelumnya selalu gagal dalam misi dakwah di tanah Jawa. Hal ini kemudian memicu kegelisahan yang luar biasa. Setiap utusan ke tanah Jawa pasti binasa dan tidak tersisa. Pada saat itu tanah Jawa digambarkan masih berupa hutan lebat dengan para penghuninya makhluk halus yang sangat buas. Dengan kata lain, Pulau Jawa diibaratkan seperti tanah tak bertuan.

Di gunung-gunung, lembah, sungai besar, gua, pohon besar dan lain-lain, masih dihuni makhluk-makhluk halus yang ganas dan berbahaya. Di daerah Boyolali dan sekitarnya, tempat seperti lereng Gunung Merapi-Merbabu,Pengging, Tlatar, hutan di kawasan Kemusu dan Juwangi termasuk yang masih angker dan wingit.

Oleh karena itu, diutuslah Syaikh Subakir yang dikenal memang sakti mandraguna.  Beliau diutus secara khusus untuk menangangi masalah-masalah yang berbau mistis dan supranatural, yang dinilai telah menjadi penghalang proses penyebaran Islam di tanah Jawa, yang masyarakatnya masih banyak yang menyembah pohon dan batu-batuan.

Menurut cerita yang berkembang, konon Syaikh Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seluruh Nusantara.  Untuk tanah Jawa, batu hitam diletakkan di tengah-tengah, yaitu tepatnya di Gunung Tidar (masuk Kabupaten Magelang saat ini). Efek dari kekuatan ghaib dari batu hitam tersebut dapat menimbulkan gejolak yang luar biasa. Hal ini membuat para jin dan makhluk halus lainnya kaget dan mengamuk. Untunglah, Syaikh Subakir mampu mengatasi dan meredam amukan para makhluk halus tersebut.

Akan tetapi, raja jin tanah Jawa datang menemui Syaikh Subakir dan berkata, “Ya Syaikh, walaupun engkau sudah mampu meredam amukan kami, dan mampu merintis penyebaran Islam di tanah Jawa, tetapi qadratullah tetap masih berlaku atasku, ingat baik-baik itu wahai Syaikh Subakir!”
“Apakah itu?” tanya Syaikh Subakir penasaran.
“Aku masih diperbolehkan menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah.” Jawab raja jin tegas dan mantap.

Akhirnya, setelah ditaklukkannya si raja jin, tanah Jawa menjadi aman dan tenang. Dari hari ke hari, pemeluk agama Islam semakin bertambah. Para makhluk halus semakin tergusur, banyak di antara mereka yang mengungsi ke Laut Selatan, di mana Nyi Roro Kidul berkuasa.


Versi Lain Kisah Syaikh Subakir
Pada suatu ketika, dikisahkan datanglah para ulama dari negeri seberang lautan (Mesir) ke tanah Jawa. Mereka diutus oleh Sultan Mesir untuk menyebarkan agama Islam yang menurut laporan tanah Jawa waktu itu masih banyak yang kafir. Mereka dipimpin oleh seorang Syaikh yang bernama Syaikh Subakir.

Sebelum rombongan Syaikh Subakir, sudah ada beberapa ulama yang menginjakkan kaki di tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu mengalami kegagalan dalam menyebarkan agama Islam. Hal inilah yang selalu menjadi pertanyaan di benak Syaikh Subakir, mengapa bisa demikian?
Tidak berapa lama setelah tiba di Pulau Jawa, Syaikh Subakir berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata seluruh Pulau Jawa dari ujung barat hingga ujung timur dijaga oleh bangsa jin yang dipimpin oleh Sabdo Palon. Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah para jin kafir yang tidak mau memeluk Islam dan selalu menentang penyebaran agama Islam.

Untunglah, Syaikh Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia da para ulama yang dipimpinnya mampu mengetahui keberadaan pada jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para jin itu ada yang berwujud ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut para penumpangnya. Ada yang berwujud angin putting-beliung yang mampu merusak dan menghancurkan rumah dan pepohonan. Ada pula yang menjelma menjadi hewan buas seperti harimau, ular, buaya, dan lain-lain. Perubahan bentuk dan wujud itulah yang selama ini diduga telah mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Kemudian, terjadilah pertempuran dahsyat antara para jin dan pasukan ulama. Konon, pertempuran berlangsung selama berhari-hari dan sulit untuk diperkirakan pihak mana yang akan memenangkan pertempuran tersebut. Melihat situasi yang tidak menguntungkan,maka Sabdo Palon mengusulkan adanya gencatan senjata dan melakukan perundingan.

Akhirnya, terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak. Salah satu isi kesepakatan itu adalah Sabdo Palon memberikan kesempatan kepada Syaikh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, akan tetapi tidak boleh dengan paksaan. Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk berkuasa di tanah Jawa dengan beberapa catatan, di antaranya jangan sampai meninggalkan adat-istiadat dan budaya yang telah ada.
Sekian…


(Trimanto B. Ngaderi)

R. Ng. Yosodipuro, Senior Pujangga Mataram


R. Ng. YOSODIPURO I



R. Ng. Yosodipuro merupakan pujangga ternama di Kasunanan Surakarta. Ia masih memiliki garis keturunan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Ia lahir pada tahun 1729 M di Pengging. Ayahnya bernama Raden Tumenggung Padmonegoro dan ibunya Siti Maryam (Nyi Ageng Padmonegoro). Pada waktu mudanya, Padmonegoro adalah seorang prajurit Mataram yang pernah bersama Sultan Agung menyerbu VOC di Batavia. Atas jasanya dalam peperangan tersebut, ia diangkat sebagai Adipati Pekalongan.

Pada suatu malam, Padmonegoro merasa heran karena di halaman rumahnya berkumpul banyak orang. Setelah ditanyakan, mereka menjawab bahwa telah melihat ndaru[1] sebesar cengkir (kelapa muda) yang jatuh di atas rumah Padmonegoro. Mendengar hal itu, ia berharap semoga kejadian tersebut merupakan pertanda kebaikan bagi keluarganya.

Tidak berselang lama dari peristiwa tersebut, Siti Maryam mengandung lagi. Menjelang kelahiran si bayi, waktu itu hari Kamis malam Jum’at Pahing Padmonegoro kedatangan tamu seorang sesepuh dari daerah Pedan yang mengaku sebagai petinggi Palar. Sesepuh itu mengatakan bahwa berdasarkan ilmu nujum, kalau ada bayi yang lahir pada hari Jum’at Pahing, maka akan membawa keberuntungan dan kelak bayi tersebut akan memiliki kelebihan dari anak yang lainnya.

Petinggi Palar tersebut diterima oleh mertua Padmonegoro, yaitu Kiai Kalipah Caripu. Tidak berapa lama, datanglah Kiai Hanggamaya, sahabat karib Kiai Kalipah yang merupakan seorang ulama besar dari Bagelen. Kiai Hanggamaya mengatakan bahwa Nyi Ageng Padmonegoro pada waktu Subuh nanti akan melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi anak yang pandai dan menjadi manusia yang memiliki beberapa kelebihan serta cinaket ing ratu[2].

Saking begitu asyiknya mereka ngobrol, hingga tak terasa waktu sebentar lagi Subuh, sehingga mereka segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid. Usai shalat, mereka diberitahu bahwa Nyi Ageng Padmonegoro akan segera melahirkan.
 Beberapa saat kemudian, Siti Mariyam melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi itu lahir dalam keadaan masih terbungkus dan lehernya terlilit usus. Usus yang melingkar dibenahi hingga terlepas lalu dibersihkan. Menurut kepercayaan setelah besar nanti akan selalu pantas dan luwes mengenakan pakaian.

Bayi mungil itu diberi nama Bagus Banjar. Tetapi karena lahir pada waktu Subuh, ia juga dikenal dengan sebutan Jaka Subuh. Sedangkan oleh kakeknya, bayi tersebut diberi nama Jaenal Ngalim, untuk menghormati nama guru ayahnya di Palembang, yaitu Kiai Zainal Abidin.
Petinggi Palar dan Kiai Hanggamaya berada di Pengging hingga tujuh hari. Pada saat Kiai Hanggamaya akan kembali ke Bagelen, ia berpesan kepada Padmonegoro agar kalau Bagus Banjar sudah berumur sewindu agar dikirim ke Bagelen untuk berguru kepadanya.

Sumber gambar: www.hystoryana.blogspot.com

Kegemaran Bagus Banjar waktu kecil adalah memakan pisang ambon dan anehnya tidak mau disuapi oleh siapa pun. Ia tidak pernah mau makan nasi, ia baru mau makan nasi setelah berumur 7 tahun. Kebiasaannya yang tidak pernah ditinggalkan adalah kegemarannya memakan intip (kerak nasi).
Ketika berusia 8 tahun, Bagus Banjar diantarkan ayahnya ke Bagelen untuk berguru kepada Kiai Hanggamaya, sahabat karib kakeknya. Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu agama, menulis Jawa maupun Arab, dan kesusasteraan. Ia juga belajar ilmu beladiri dan ilmu kebatinan. Ia melakukan tapabrata dan melatih kesabaran dengan cara berpuasa mutih, ngrowot, dan ngebleng. Ia tergolong murid yang cerdas, cakap, dan memiliki ketajaman berpikir. Sehingga dalam waktu ia mampu menyelesaikan masa bergurunya.

Pada usia 14 tahun, ia kembali ke Pengging dan berniat ingin mengabdikan diri di Mataram. Saat itu, di Mataram sedang terjadi Geger Pacinan (pemberontakan orang-orang Cina), yang menyebabkan keraton Kartasura hancur luluh. Karena terdesak dan tak mampu mengatasi pemberontakan, Sunan Pakubuwono II dan para pembantunya mengungsi ke Desa Kentheng, Ponorogo. Bagus Banjar menghadap Pakubuwono II di Ponorogo dan menyatakan keinginannya untuk menjadi abdi dalem. Ia diterima sebagai abdi dalem yang bertugas sebagai prajurit.

Setelah keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Pakubuwono II atas bantuan VOC, Bagus Banjar menjadi prajurit keraton. Ia bertugas di bagian nameng raja (pengawal raja) dengan sebutan “kuda pengawe[3]”. Tugas utamanya adalah menjaga dan merawat gedung pusaka, terutama pusaka keraton yang bernama Kiai Cakra.

Berkaitan dengan tugasnya, Bagus Banjar banyak belajar tentang adat-istiadat dan tatacara keraton, aturan dan pranata, termasuk bidang kebudayaan dan sastra. Karena kepandaian dan kecakapannya, ia diangkat menjadi carik keraton dan diberi gelar Raden Ngabehi Yosodipuro I. Tugasnya kini adalah membantu Pangeran Wijil yang pada saat itu menjadi pujangga keraton.

Yosodipuro telah memiliki dasar-dasar dalam hal sastra, sehingga ia menjadi orang yang mumpuni di bidangnya. Ia menjadi bersemangat dan lebih tekun lagi dalam belajar dan menjalankan tugas. Tak mengherankan jika ia mampu melahirkan karya-karya yang bagus dan menarik. Hingga Pakubuwono II memberinya sebutan Pujangga Anom.

Pemindahan Keraton Mataram
Usai peristiwa Geger Pacinan, Keraton Kartasura sudah rusak parah dan dianggap tidak layak lagi, ditambah wibawanya mulai merosot dan tidak bersinar lagi. Maka ketika Pakubuwono II kembali dari pengungsian, ia mempunyai ide untuk memindahkan keraton ke tempat yang baru. Untuk mewujudkan hal ini, Sunan mengutus Yosodipuro dan beberapa abdi lainnya untuk mencari lokasi bagi calon tempat keraton yang baru.

Dari hasl penelitian, ditemukan beberapa pilihan lokasi antara lain Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Atas kesimpulan dari tim peneliti dan persetujuan dari Sunan, maka dipilihlah Desa Sala sebagai calon lokasi keraton yang baru,karena dinilai kelak akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Selain itu juga dibahas mengenai tempat yang tepat sebagai titik pusat keraton. Lalu, tim peneliti melakukan penelitian lebih lanjut.

Akhirnya disepakati bahwa titik pusat pendirian keraton berada di daerah sekitar Rawa Kedungkul. Pakubuwono II segera memerintahkan untuk memulai pembangunan keraton. Namun ada kendala yang dihadapi yaitu air Rawa Kedungkul tidak bisa dikeringkan. Untuk mengatasi hal ini, Pangeran Wijil dan Yosodipuro melakukan tapa-brata di Kedungkul selama tujuh hari tujuh malam untuk memohon petunjuk kepada Tuhan YME.

Yosodipuro akhirnya mendapat petunjuk bahwa untuk mengeringkan air rawa harus dilakukan beberapa syarat, yaitu membuat gong sekar delima, menimbun rawa dengan daun lumbu, dan memberikan korban seorang waranggana (ledek). Menimbun rawa dengan daun lumbu maksudnya adalah menimbun rawa dengan tanah Kiai Gede yang ditumbuhi tanaman lumbu. Sedangkan korban waranggana bermakna membutuhkan uang atau dana yang tidak sedikit.

Maka, dimulailah pembangunan keraton yang baru. Sebagai pelaksana pembangunan adalah Mayor Hogendorp (Belanda), Adipati Pringgalaya, dan Tumenggung Tirtawiguna. Pangeran Wijil dan Kiai Kalipah Caripu (kakek Yosodipuro) sebagai yang memperhitungkan kekuatan bangunan. Sedangkan Kiai Tohjoyo bertanggung atas atas keindahan bangunan.

Setelah keraton selesai dibangun, maka segera dilakukan perpindahan dari Kartasura ke Desa Sala. Di keraton yang baru ini, R. Ng. Yosodipuro I diangkat menjadi abdi dalem kadipaten di bekas rawa Kedungkul (sekarang bernama kampong Yosodipuran).

Pakubuwono II Wafat
Ketika jenazah Pakubuwono II akan dimakamkan, jenazahnya tidak bisa dimasukkan ke dalam liang kubur.walau sudah dilakukan dengan berbagai cara, selalu saja tidak cukup. Melihat kejadian itu, Yosodipuro melakukan samadi. Dalam samadinya, ia memperoleh wangsit bahwa Alm. Pakubuwono II tidak berkenan dimakamkan di astana Laweyan, beliau minta dimakamkan di Imogiri. Hal ini lalu disampaikan kepada Nyai Manggung Secanegara. Selanjutnya, Nyi Manggung berikrar di hadapan peti jenazah agar Sunan berkenan dimakamkan di Laweyan untuk sementara waktu. Nanti jika keadaan Negara sudah aman, akan dipindahkan ke Imogiri. Terjadilah keajabaikan, usai ikrar dilaksanakan, akhirnya jenazah dapat dimasukkan ke liang kubur.

Pernikahan Raden Ajeng Sentul
Setelah terjadinya konflik berkepanjangan antara Pakubuwono III dengan adiknya Pangeran Mangkubumi dikarenakan daerah kekuasaan Mataram akan dikurangi dan diberikan kepada Belanda. Maka berdasarkan Perjanjian Giyanti, kerajaan dibagi menjadi dua, Kasunan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III dan Kasultananan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I).

Sultan HB I berusaha menjalin silaturrahmi dengan Sunan PB III agar tidak terjadi lagi permasalahan antara dua kerajaan. Demi tercapainya kerukunan dan kekeluargaan, Sultan HB I mengajukan lamaran kepada Raden Ajeng Sentul (puteri Sunan PB III dari selir Ratu Mas Retnadi) untuk putranya yang bernama Pangeran Mangkunegoro. Akan tetapi lamaran ini hanya ditanggapi setengah-setengah, dalam arti tidak diterima juga tidak ditolak. Apabila didesak untuk segera member jawaban, selalu mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Hal ini membuat Sultan HB I marah, hingga ia mengatakan akan menganggap musuh pada siapa pun yang menjadi suami R.A. Sentul.
Keluarga Kasunanan menjadi sangat resah karena tidak ada seorang pun yang berani meminang R.A.Sentul. selanjutnya Sunan memanggil Yosodipuro untuk memecahkan masalah tersebut. Yosodipuro menyarankan Sunan agar mencari menantu dari anak keturunan Sultan Hadiwijaya, karena semasa hidupnya ia selalu berbakti dan membela Sultan HB I, yang menyebabkan Sultan HB I merasa berhutang budi kepadanya dan berniat mencari keturunan dari Sultan Hadiwijaya. Apabila R.A. Sentul menikah dengan anak keturunan Sultan Hadiwijaya, maka akan meluluhkan kemarahan Sultan HB I, bahkan beliau akan memuliakannya.

Lalu oleh Yosodipuro mengusulkan Raden Sumodiwiryo dan Sunan menyetujuinya. Pernikahan R.A. Sentul dan Raden Sumodiwiryo pun segera dilakukan. Berita tentang perkawinan ini didengar oleh Sultan HB I yang membuatnya menjadi terharu. Seketika itu juga kemaran Sultan mereda, bahkan beliau merestui perkawinan tersebut dan mengirimkan sumbangan yang banyak ke keraton Surakarta.
Akhirnya Sultan HB I berkenan memanggil Yosodipuro ke Yogyakarta untuk menceritakan riwayat anak keturunan Sultan Hadiwijaya. Oleh karena jasanya ini, Yosodipuro diberi hadiah berupa uang, pakaian, dan tanah yang disukainya. Yosodipuro memilih tanah di Pengging yang kelak menjadi makam beliau dan keturunannya.

Pengepungan Keraton Surakarta
Keraton Surakarta dikepung oleh Belanda dan Kasultanan Yogyakarta pada masa Sunan Pakubuwono IV. Penyebab pengepungan itu adalah Sunan tidak bersedia menyerahkan para abdi sekaligus gurunya, yaitu Kiai Bahman, Kiai Nur Soleh, Tumenggung Wirowirejo, Tumenggung Sujonopuro,dan Tumenggung Prawirodigdo, karena mereka membuat ulah dan memberi nasehat-nasehat kepada Sunan yang meresahkan pihak Belanda maupun Yogyakarta.

Mereka sering memfitnah orang-orang yang dianggap menghalangi tujuan mereka. Di antara orang yang difitnah itu adalah Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Pringgalaya yang diberhentikan dari jabtannya tanpa alasan yang jelas. Selain itu mereka juga membangun permusuhan dengan Belanda maupun Yogyakarta, bahkan berniat mengembalikan Yogyakarta menjadi wilayah kekuasaan Surakarta.

Pada saat itu, Pakubuwono IV masih berumur 23 tahun. Kewibawaannya sebagai pemimpin belum stabil sehingga mudah sekali terpengaruh oleh para guru-gurunya tersebut. Ia sering menyerahkan berbagai persoalan kepada para guru andalannya tersebut, sehingga mereka sering berbuat mendahului titah sang raja.

Pada tahun 1717 M, datanglah utusan Belanda bernama Ideler Jen Grepe ke keraton. Tujuannya adalah meminta untuk menyerahkan semua guru-gurunya kepada Belanda, karena mereka dianggap telah berbuat keonaran,kekeruhan, terputusnya hubungan Surakarta dengan Belanda dan Yogyakarta. Oleh karena permintaan sudah berkali-kali dilakukan dan belum juga mendapat jawaban yang memuaskan, maka Belanda dan Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengepung keraton Surakarta.

Pada saat pengepungan tersebut, Pakubuwono IV memanggil Yosodipuro untuk meminta nasihatnya. Yosodipuro menyarankan agar orang-orang yang diminta oleh Belanda diserahkan saja. Akhirnya Sunan mengambil keputusan untuk menangkap lima orang tersebut dan diserahkan kepada Belanda. Setelah itu, kondisi Kasunanan Surakarta berangsur-angsur aman dan pulih kembali. Hubungan antara Surakarta, Yogyakarta dan Belanda juga mulai membaik.

Sumber gambar: www.budayajawa.id

Menjadi Pujangga Keraton
Jasa terbesar R.Ng. Yosodipuro I adalah perannya sebagai pujangga keraton. Tugas utamanya adalah menjaga, memelihara,dan melestarikan karya-karya sastra lama. Oleh karena itu, ia terlibat aktif dalam membangun perpustakaan keraton dan mengisinya dengan berbagai bacaan. Ia juga memiliki kemampuan menerjemahkan buku-buku berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga buku-buku tersebut bisa dibaca banyak orang dan mengetahui secara jelas isi cerita-cerita kuno.
R.Ng. Yosodipuro I berjasa besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan terutama bahasa dan sastra Jawa. Karya-karya dari beliau dibagi menjadi dua bagian,yaitu “mbangun” dan serat-serat enggal. Yang termasuk karya mbangun di antaranya: Bharatayuda, Ramayana, Dewa Ruci, Serat Tajussalatin, Serat Paniti Sastra, Serat Menak, Serat Ambiya, Serat Rama, Serat Mintaraga,dll. Sedangkan yang tergolong serat enggal adalah Babad Giyanti, Babad Pacinan, Babad Gabolek, dan sebagainya.

R. Ng. Yosodipuro I dinilai memiliki paham mistik Islam Kejawen. Dilihat dari isi kandungannya, karya sastra beliau mencerminkan adanya sinkretisme antara Hindu, Budha,dan Islam. Serat Cebolek merupakan contoh karya beliau yang kental dengan nuansa sinkretisme. Yang jelas, unsur religius selalu mendominasi karya-karyanya.

Beliau wafat pada 20 April 1802 (versi lain 14 Maret 1803) dan dimakamkan di Pengging (sekarang masuk Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali). Anak beliau ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pujangga,sehingga ia dikenal dengan Yosodipuro II.

 (Trimanto B. Ngaderi)


[1] Sinar berwarna hijau keputihan
[2] Menjadi orang yang dekat dengan raja
[3] Ada yang menyebut “kuda pancawe”

Jaka Tingkir, Pendiri Kesultanan Pajang


JAKA TINGKIR



Jaka Tingkir adalah putera dari Ki Ageng Pengging. Nama asli Jaka Tingkir adalah Karebet, karena pada waktu lahir ayahnya sedang menikmati wayang beber atau wayang karebet. Jaka Tingkir masih memiliki trah Majapahit. Ki Ageng Pengging yang nama aslinya Kebo Kenanga merupakan putera dari Prabu Andayaningrat, raja terakhir Majapahit. Pada 1527 M,Majapahit diserang oleh Demak sehingga keluarga kerajaan melarikan diri. Kebo Kenanga melarikan diri ke hutan Pengging (sekarang masuk Kecamatan Banyudono,Kabupaten Boyolali).

Setelah kedatangan Kebo Kenanga, Pengging kian hari semakin menjadi daerah yang ramai dan makmur. Hal ini membuat Sultan Demak merasa tidak senang. Sultan Demak memerintahkan Sunan Kudus untuk memanggil Ki Ageng Pengging untuk menghadap kepadanya. Ketika Sunan Kudus sudah bertemu dengan Ki Ageng Pengging dan mengutarakanmaksud kedatangannya, Ki Ageng Pengging menolak untuk pergi menghadap Sultan dengan alasan masih banyak hal dan pekerjaan yang mesti diselesaikan.

Lalu, terjadilah perkelahian di antara keduanya. Sunan Kudus lebih banyak menyerang daripada Ki Ageng Tingkir. Akhirnya, Sunan Kudus berhasil menusukkan keris ke lengan atas Ki Ageng Pengging. Dikarenakan keris Sunan Kudus mengandung racun warangan,maka Ki Pengging mati seketika. Setelah kematian Ki Pengging, Sunan Kudus dan rombongan kembali ke Demak.
Penduduk Pengging sangat bersedih karena kehilangan pemimpin mereka. Terlebih istri Ki Pengging yang meninggal empat puluh hari kemudian akibat meratapi kepergian suaminya. Jadilah si bayi Karebet menjadi yatim-piatu. Salah satu ahabat karib Ki Pengging sangat bersimpati kepada Karebet, sehingga dia memutuskan untuk mengambilnya sebagai anak angkat.

Selanjutnya Karebet tinggal di rumah Ki Ageng Tingkir di Desa Tingkir (sekarang masuk wilayah Kotamadya Salatiga), dan di kemudian hari Karebet lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir. Tak berapa lama, Ki Ageng Tingkir meninggal dunia, jadilah Nyai Tingkir seorang janda.

Ketika Jaka Tingkir berusia 20 tahun, Nyai Tingkir mengirim Jaka Tingkir untuk berguru kepada Ki Ageng Sela yang terkenal sakti mandraguna. Ia mengajarkan ilmu agama Islam, beladiri (silat), spiritualisme, dan mistik. Terkait kesaktian Ki Ageng Selo, konon ia dapat menangkap petir yang akan menghantam Masjid Agung Demak. Ki Selo sendiri juga masih ada trah Majapahit, yaitu anak dari Kidang Talengkas alias Jaka Tarub.

Ketika Jaka Tingkir sudah berada di hadapan Ki Selo, maka Ki Selopun berkata, “Selamat datang anakku, engkau bisa belajar ilmu apapun di sini, tetapi dengan satu syarat. Apakah engkau bersedia?” Ki Selo berkata demikian karena dia memiliki ilmu supranatural yang dapat membaca masa depan seseorang.
“Apakah itu Guru?” tanya Jaka Tingkir penasaran.
“Saya titipkan anak keturunan saya kepadamu. Bawalah mereka dalam suka maupun duka, dan jangan pernah meninggalkan mereka.”
“Baiklah, saya akan melaksanakan perintah Guru semampu saya,” jawab Jaka Tingkir mantap.

“Aku percaya kepadamu,anakku. Jika saya tidak salah melihat, di suatu hari nanti engkau akan mendapat karunia dari Tuhan berupa kedudukan yang tinggi di dunia. Oleh karena itu, hendaklah engkau selalu dekat dengan Tuhan dan senantiasa menjalankan segala perintahNya,” ujar Ki Selo memberi wejangan.
Jaka Tingkir adalah murid yang cerdas dan rajin, semua ilmu dapat dipelajari dengan baik dan cepat. Hal ini membuat gurunya menjadi senang, sehingga Jaka Tingkir diangkat menjadi anaknya.

***
Pada suatu malam Ki Ageng Selo bermimpi sedang membabat hutan untuk membuat ladang. Sewaktu dia datang ke hutan, dia melihat Jaka Tingkir sudah berada di sana, bahkan sudah menebang beberapa pohon. Setelah itu dia langsung terbangun. Sejenak dia memikirkan tentang tafsir mimpi tersebut. Menurut yang diketahui, membersihkan hutan berarti akan menjadi raja. Kalau begitu, kelak Jaka Tingkir akan menjadi seorang raja. Di sisi lain, Ki Ageng Sela yang masih keturunan ningrat Majapahit selalu berdoa agar suatu saat nanti anak-keturunannya dapat menjadi seorang raja juga.

Dari kejadian mimpi tersebut,maka bertanyalah Ki Selo kepada Jaka Tingkir,apakah dia pernah bermimpi yang aneh.
“Saya pernah bermimpi bulan jatuh di pangkuan saya. Dan ketika saya bangun, saya mendengar suara dentuman yang berasal dari puncak gunung itu. Hal itu terjadi sewaktu saya bertapa di Gunung Telamaya,” jawab Jaka Tingkir jelas.
“Ini adalah mimpi yang sangat bagus. Untuk membuka tabir mimpi itu, sebaiknya engkau pergi ke keraton Demak dan menjadi abdi dalem di sana guna mendapatkan posisi yang baik di lingkungan keraton. Aku akan berdoa untuk keberhasilanmu,” kata Ki Selo memberikan saran.

Sebelum berangkat ke Demak, Jaka Tingkir menemui ibu angkatnya Nyai Tingkir terlebih dahulu. Nyai Tingkir terkejut melihat anaknya pulang belajar lebih awal. Lalu Jaka Tingkir menjelaskan bahwa ia mendapat tugas untuk pergi ke Demak dan mengabdi di keraton. Nyai Tingkir sempat merasa was-was karena Sultan Demaklah yang membunuh ayah Jaka Tingkir. Tapi karena yang memerintahkan itu Ki Ageng Sela yang memiliki kemampuan membaca masa depan, ia percaya dan merestui kepergian Jaka Tingkir.

“Di Demak, engkau bisa tinggal di rumah saudaraku di Desa Ganjur, pamanmu di sana sebagai lurah.”
Akhirnya Jaka Tingkir berangkat ke Demak dengan penuh keyakinan dan disertai doa restu dari ibu angkatnya.

***
Dari Tingkir ke Demak merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Selain melewati hutan-hutan lebat, juga menyusuri lereng-lereng bukit dan lembah. Perjalanan dengan naik kuda bisa ditempuh lebih dari satu hari satu malam.

Setibanya di Desa Ganjur, Jaka Tingkir langsung mencari rumah Lurah Ganjur. Setelah bertemu dengan Lurah Ganjur, ia menyerahkan surat dari Nyi Ageng Tingkir. Usai membaca surat itu, Ki Lurah berkata, “Hai Jaka,keponakanku, ternyata sekarang kamu sudah besar. Aku teringat ketika terakhir berkunjung ke rumahmu, kamu masih berumur lima tahun,” ujar Ki Lurah sembari memandangi wajah dan tubuh Jaka secara seksama. Jaka sendiri hanya tersenyum dan diam tertunduk.
“Jaka seorang pemuda yang tampan dan kuat, aku yakin dia akan mudah untuk menjadi abdi dalem keraton,” bisik Ki Lurah dalam hari. “Oh ya Jaka,besok adalah hari Jum’at. Sultan akan sembahyang di Masjid Agung Demak. Jadi besok pagi-pagi kita akan pergi untuk membersihkan masjid dan menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan shalat Jumlat. Aku harap Sultan akan melihatmu dan berkenan mengangkatmu sebagai abdi dalem atau pengawalnya,” lanjut Ki Lurah bersemangat.

“Matur sembah nuwun Ki. Ini kesempatan saya untuk melihat Sultan untuk pertama kalinya, “sahut Jaka dengan girang dan penuh harap.
Benar,pagi-pagi betul Ki Lurah dan para pembantunya serta Jaka Tingkir sudah berada di masjid dan mulai membersihkan lantai dan lingkungan masjid, menimba air untuk mengisi kulah dan gentong, menyiapkan tikar, menyapu halaman dan memotong rumput dan dahan,dan sebagainya.

Jaka Tingkir tampak rajin dan sigap terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Saking seriusnya dalam bekerja,sampai-sampai ia tidak menyadari kalau sang Sultan dan rombongan telah tiba dan akan berjalan melewati tempat Jaka bekerja. Seketika itu juga, Jaka merasa kaget. Ia bingung, jika ia pergi begitu saja maka ia akan membelakangi sang Sultan. Tapi jika ia tetap diam di tempat itu, tentu ia akan dilanggar oleh Sultan dan rombongan. Sementara posisi Jaka sendiri berada di antara dua kolam yang tempatnya sempit. Tanpa berpikir panjang, spontan si Jaka melompat melampuai kolam dengan ilmu silatnya yang telah dipelajari dari Ki Ageng Sela.

Sultan dan rombongan amat terkejut sekaligus kagum, begitu juga dengan Ki Lurah. Lalu sang Sultan mendekati Ki Lurah dan memberi tanda agar si Jaka menemuinya usai shalat Jum’at. Seketika itu juga, Ki Lurah Ganjur pucat mukanya, “Hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sultan kepada keponakanku?” gumam Ki Lurah lirih.
Setelah Sultandan rombongan berlalu, Ki Ganjur menemui Jaka Tingkir dan berkata, “Tingkir, tindakanmu tadi melanggar tatakrama dan adat kesopanan. Sultan berkenan menemuimu usai shalat Jum’at nanti,” ucap Lurah Ganjur cemas.

“Saya minta maaf Paman, tadi saya tidak menyadari kalau Sultan dan rombongan tiba-tiba sudah ada di depan saya,” balas si Jaka dengan nada penuh penyesalan.
“Apa yang mesti kukatakan kepada ibumu, jika Sultan memberikan hukuman kepadamu,” jerit Ki Lurah meradang, tampak ketakutakan di raut wajahnya.
“Mungkinkah dia memberi hukuman kepadaku? Saya hanya melompati kolam,kemudian dihukum karena perbuatan itu,Paman?” tanya Jaka tak mengerti.
“Dengan berbuat seperti itu, kamu telah dianggap pamer kepandaian. Perlu kamu tahu, Demak adalah gudangnya para master silat.”
***
Shalat Jum’at pun usai. Tidak berapa lama kemudian, Sultan dan rombongan keluar menemui si Jaka yang sudah siap menunggu di pintu keluar masjid. Jaka segera memberi hormat. Jantungnya berdegup kencang kalau-kalau Sultan akan marah kepadanya.
“Siapa namamu anak muda?” sapa Sultan dengan nada ramah dan bersahabat.
“Saya Jaka Tingkir, Gusti.”
“Siapakah orang tuamu?”
“Ayah saya bernama Ki Ageng Tingkir, masih ada hubungan keluarga dengan Ki Lurah Ganjur.”

Lalu Sultan melihat ke arah Ki Lurah dan berkata, “Hmmm…kamu tidak pernah cerita kalau kamu punya seorang keponakan yang tampan dan gagah. Saya ingin besok Jaka menghadap saya di keraton,” kata Raja Demak itu memberi perintah.
Singkat cerita, Jaka Tingkir diterima sebagai abdi dalem keraton. Karena dia pandai, berilmu, dan tahu tata krama kerajaan, dua tahun kemudian ia diangkat sebagai tumenggung di kalangan prajurit. Ia mengadakan reorganisasi di tubuh prajurit serta menjadikan prajurit Demak cukup disegani. Sultan merasa senang dan puas atas hasil kerja Jaka Tingkir, sehingga Jaka Tingkir diangkatnya sebagai anak.

***
Pada suatu hari,tanpa sengaja Jaka Tingkir melihat Putri Mas Cempa (anak Sultan) di kaputren. Putri pun melihat dia.
“Melihat dari sorot matanya, nampaknya dia juga jatuh hati sama seperti saya. Tapi bagaimana saya bisa mengutarakan isi hati saya kepadanya, sementara tak seorang pun diperbolehkan masuk ke kaputren,” bisik Jaka dalam hati.
Jaka hampir saja melupakan pertemuan itu. Hingga pada suatu hari datang seseorang yang mengantar surat rahasia dari Putri. Dia mengundang Jaka ke kaputren dan menyertakan pula peta jalan rahasia untuk sampai ke kaputren. Sejak saat itu, terjadilah beberapa kali pertemuan rahasia di antara keduanya.
Pada akhirnya, seorang pengawal melihat dari kejauhan Putri sedang bersama Jaka Tingkir. Ia pun segera melapor kepada Sultan.

Jaka Tingkir dipanggil untuk menghadap Sultan. Sultan tampak sangat murka. Ia memecat Jaka Tingkir dari jabatannya dan menghukumnya untuk masuk ke hutan tanpa membawa senjata, serta memerintahkan semua prajurit Demak untuk menangkapnya hidup atau mati. Bahkan, Sultan hendak mengumumkan bahwa Jaka Tingkir telah mencuri pusaka keramat kerajaan,baju antakusuma, sehingga nantinya tidak saja prajurit yang mengejarnya, tapi semua rakyat Demak ikut mengejarnya.

Jaka Tingkir pun pergi meninggalkan keraton dan masuk ke hutan, tapi tak seorang prajurit pun mengejar untuk membunuhnya.
Sultan sendiri merasa menyesal telah mengusir Jaka Tingkir. Dia sebenarnya masih membutuhkan Jaka Tingkir, sebab ia prajurit yang baik, organisatoris yang handal, dan seorang pemuda yang tampan. Jaka adalah pemuda sempurna tanpa cacat yang pernah ia temui dan cocok pula menjadi menantunya.
Dengan kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa, Jaka Tingkir pergi menuju Pengging tempat kelahirannya. Ia ingin berziarah ke makam ayahnya. Sesampai di makam ayahnya, ia sempat tertidur karena terlalu lelah berjalan jauh. Ia bermimpi seseorang datang kepadanya dan berkata, “Anakku Karebet, jangan bersedih dan jangan biarkan hidupmu sia-sia. Temuilah Ki Buyut Banyubiru di Desa Banyubiru. Jadilah muridnya dan patuhilah semua perintahnya. Aku adalah ayahmu,” setelah itu Jaka langsung terbangun.

Jaka Tingkir segera pergi ke Desa Banyubiru. Ia pun diterima sebagai murid oleh Ki Banyubiru. Di sana telah ada murid yang lain, seperti Mas Manca putra Jabaleka, tamtama dari prajurit Majapahit, juga Wuragil dan Wila yang masih keponakan Ki Banyubiru sendiri. Jaka Tingkir belajar dengan sangat rajin sehingga dalam tempo tiga bulan, ia sudah dapat menguasai semua ilmu dan lulus dalam ujian.

Lalu Ki Banyubiru menganjurkan Jaka untuk kembali ke Demak untuk menghadap Sultan. Beliau membekali Jaka dengan segenggam tanah untuk dimasukkan ke mulut kerbau Danu yang akan ditemuinya di perjalanan.
“Sultan akan mengadakan kunjungan ke Gunung Prawata pada musim ini. Kerbau yang engkau masukkan segenggam tanah tadi akan mabuk dan mengamuk, berlari menuju depan pesanggrahan sang Sultan. Kemudian ia akan memintamu untuk menangkap binatang itu,” kata Ki Banyubiru.
“Semoga semua rencana ini dapat terwujud Guru,” jawab Jaka Tingkir penuh harap.
Jaka Tingkir pergi ke Gunung Prawata ditemani oleh Ki Manca, Ki Wuragil, dan Ki Wila.

***
Setelah tiba di kaki Gunung Prawata, mereka melihat seekor kerbau yang sedang merumput. Mereka yakin inilah kerbau Danu yang diceritakan oleh Ki Banyubiru. Padang rumput ini pula lokasinya dekat dengan pesanggrahan sang Sultan. Jaka Tingkir segera mengambil segenggam tanah dalam kantungnya, mendekati kerbau itu, dan kemudian menjejalkan tanah itu ke dalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, kerbau itu menggoyang-goyangkan kepalanya, matanya mulai memerah, dan kakinya digaruk-garukkan ke tanah.

Kini, kerbau Danu benar-benar telah mabuk. Dia lari kencang dan menabrak apa saja yang ada di depannya. Ia lari menuju ke halaman pesanggrahan sang Sultan, dan di sana ia mengamuk. Satu pasukan prajurit mencoba menangkapnya, namun gagal. Bahkan beberapa prajurit ada yang terluka. Jaka Tingkir dan kawan-kawan juga mengikuti kerbau Danu hingga ke pesanggrahan.

Melihat kejadian itu, Sang Sultan merasa cemas, kalau kerbau itu semakin ganas dan membuat banyak kerusakan. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Sultan melihat Jaka Tingkir berada di halaman pesanggrahan. Maka ia mengutus seorang pengawal untuk memanggil Jaka Tingkir untuk menghadapnya.
“Jaka, aku perintahkan kepadamu untuk menangkap kerbau itu. Jika engkau berhasil aku berkenan mengampunimu,” perintah Sultan kepada Jaka Tingkir.
“Baik, Kanjeng Sinuhun.”

Lalu, Jaka mendekati kerbau Danu yang sedang mengamuk itu. Ia mencoba menangkap ekornya beberapa kali gagal, karena kerbau itu lari dengan liar. Jaka tidak patah semangat, ia terus berusaha mengejar kerbau itu dan berusaha menangkap ekornya. Akhirnya ia berhasil memegang ekor kerbau itu dan menariknya dengan sekuat tenaga hingga kerbau itu pingsan. Lalu ia memukul kepala kerbau itu dengan tenaga dalam hingga kepala itu pecah. Kerbau pun mati seketika.

“Hidup Jaka, hidup Jaka, hidup Jaka....!” seru para prajurit dan warga sekitar yang menonton kejadian itu bangga.
Sultan pun sangat senang dengan keberhasilan Jaka melumpuhkan kerbau itu. Ia memerintahkan Jaka dan ketiga kawannya untuk menghadapnya keesokan harinya di keraton Demak.

***
“Jaka Tingkir, mulai sekarang engkau kembali menduduki posmu sebagai tamtama di keprajuritan Demak,” titah Sultan kepada Jaka Tingkir.
Setelah enam bulan berjalan, Sultan menaikkan pangkatnya menjadi tumenggung (setara jenderal di kemiliteran modern). Para prajurit sangat menghormati Jaka, karena ia seorang pemimpin yang kharismatik. Jaka bekerja keras untuk memperbaiki militer Demak, apalagi Sultan punya ambisi untuk memperluas kerajaannya hingga Supit Urang, Mataram, dan Pasuruan.

Pada akhirnya, Sultan memutuskan untuk menerima Jaka Tingkir sebagai menantunya, menikahkan dengan putrinya Ratu Mas Cempa, karena ia tahu keduanya saling mencintai sejak lama. Seluruh rakyat Demak pun merestui pernikahan pasangan yang sangat serasi ini. Usai pesta pernikahan, Sultan mengangkat Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang.

Sumber gambar: www.viroet.wordpress.com

***
Jaka Tingkir dan keluarganya tinggal di Pajang sebagai Adipati Pajang. Mereka bekerja keras untuk membangun daerahnya. Jaka Tingkir adalah adipati yang arif dan bijaksana serta sangat perhatian terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, banyak rakyat dari wilayah kekuasaan Demak yang pindah ke Pajang untuk menjadi rakyatnya Adipati Pajang. Jika ada pemilihan, rakyat lebih setuju memilih Jaka sebagai raja mereka.

Karena semua sahabat dan rakyatnya mendukung dia menjadi raja, maka akhirnya Jaka Tingkir mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Ia tidak melupakan janjinya kepada Ki Ageng Sela, maka ia memanggil keluarga gurunya itu untuk dijadikan sebagai pembantu-pembantunya di kerajaan Pajang.  

 (Trimanto B. Ngaderi)



Rabu, 02 Oktober 2019

Cerita Rakyat yang Tak Lagi Merakyat


CERITA RAKYAT YANG TAK LAGI MERAKYAT
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Orang-orang yang yang seumuran dengan saya dan generasi sebelumnya, tentu masih ingat betul ketika masa kecil dulu. Masa di mana hanya beberapa orang saja di desa yang sudah memiliki pesawat televisi maupun radio, belum ada koran atau majalah masuk desa, belum banyak buku bacaan, bahkan belum ada handphone/smartphone. Maka, ketika selesai belajar membaca Al Qur’an, ketika sedang duduk-duduk di halaman saat bulan purnama, atau di dipan kayu menjelang tidur; kita sering mendengar cerita atau dongeng dari guru atau orangtua kita.

Adalah sesuatu yang menyenangkan dan mengasikkan saat sedang mendengar dongeng. Ditemani marneng (jagung tua digoreng sangrai), kwaci buah trembesi, atau singkong bakar, kita diajak untuk mengembara ke ruang masa lalu, berimajinasi ke negeri antah-berantah, serta mencoba menemukan berbagai pesan dan hikmah di balik cerita. Ketika kita merasa senang dan menikmati cerita tersebut, maka momen mendapat dongeng adalah sesuatu hal yang sangat ditunggu-tunggu.

Ya, itulah cerita rakyat. Cerita yang beredar luas di kalangan masyarakat kecil (bawah) secara turun-temurun. Cerita rakyat disampaikan dari generasi ke generasi tanpa kita pernah tahu siapa pengarangnya atau siapa yang menceritakan pertama kali. Oleh karena itu, cerita rakyat dikenal sebagai cerita anonim. Karena disampaikan secara lisan, maka dalam perjalanannya cerita rakyat tentu mengalami distorsi. tidak ada cerita rakyat yang original.

Tradisi Lisan ke Tradisi Digital
Berabad-abad lamanya negeri Nusantara mengamalkan tradisi lisan. Sedangkan tradisi tulis belum membudaya. Selain mungkin karena karakter kita yang cenderung lebih ke tradisi tutur, juga pada waktu itu bahan kertas atau media tulis lainnya masih sangat terbatas.

Kelemahan tradisi lisan adalah banyak cerita-cerita yang mengandung nilai sejarah yang tidak terdokumentasi secara tertulis. Sehingga tak jarang kita temui sejarah-sejarah yang ada saat ini masih tak lepas dari pengaruh mitos, legenda, maupun fantasi. Hal ini menyebabkan kita kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar sejarah dan mana yang bukan sejarah,mana yang fakta dan mana yang fiksi. Efek lain dari tradisi lisan yaitu munculnya gosip, rumor, hoaks dan semacamnya, karena orang begitu mudah untuk menambah atau mengurangi sebuah informasi atau cerita, memelintir, bahkan merubahnya sama sekali. Sampai kini pun, budaya gosip dan hoaks masih kental di Indonesia.

Ketika bahan kertas dan media cetak mudah ditemukan, Indonesia tak kunjung memiliki tradisi tulis. Orang-orang yang memiliki minat untuk menulis atau menjadi penulis tetap saja minim. Salah satu faktornya adalah minat baca masyarakat yang masih minim pula. Padahal untuk menjadi seorang penulis syaratnya adalah gemar membaca. Selain memang,profesi sebagai penulis di Indonesia masih dianggap profesi yang kurang bergengsi.

Sekarang eranya adalah teknologi digital. Perubahan terjadi secara cepat dan masif di segala bidang kehidupan. Dampak terbesar dari era digital ini adalah hilangnya tradisi lisan di masyarakat. Tiada lagi cerita, tiada lagi dongeng. Dari segi orang tua atau guru, mereka tak punya waktu lagi untuk bercerita. Sedangkan dari sisi anak, mereka tak lagi tertarik mendengar dongeng, tapi lebih fokus pada gadget. Game maupun cerita-cerita impor lebih menarik bagi mereka daripada mendengar cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Jaka Tingkir, dan sebagainya.

Yang sangat disayangkan di sini adalah ketika masyarakat belum memiliki tradisi tulis, kini telah masuk ke lingkaran tradisi digital. Sehingga dari tradisi lisan langsung meloncat ke tradisi digital. Berbeda halnya yang terjadi di Barat, mereka melewati era secara berurutan, tahap demi tahap. Dimulai dari tradisi lisan, dilanjutkan dengan tradisi tulis, kemudian baru tradisi digital. Yang terjadi adalah banyak masyarakat kita yang menjadi “gaptek”.
Sumber gambar: www.dongengceritarakyat.com 

Cerita Rakyat Kreasi Baru
Banyak di antara cerita-cerita rakyat yang dianggap sudah kuno, tidak menarik, dan tidak relevan lagi, sehingga ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri. Akibatnya, generasi sekarang tak lagi mengenal cerita rakyat, karena memang tidak ada proses pewarisan. Budaya mendongeng sepertinya telah hilang, rasa memiliki terhadap dongeng juga kian memudar.

Walau di sekolah-sekolah dan di komunitas masih diajarkan dongeng, tapi lebih bersifat formalitas. Sehingga generasi sekarang mendengar dongeng bukan karena merasa senang melainkan lebih karena sebuah kewajiban.

Nah, agar sebuah cerita atau dongeng tetap menarik bagi generasi masa kini, perlu diadakan inovasi maupun rekreasi. Dongeng bukanlah sebuah karya ilmiah, jadi boleh melakukan perubahan, adaptasi, atau dengan sudut pandang baru. Cerita rakyat boleh ditambah, dikurang, diubah, dibumbu-bumbu, dibalik faktanya dan seterusnya. Cerita Malin Kundang boleh diubah menjadi yang durhaka bukanlah si anak, melainkan si ibu yang telah lupa pada anaknya.
Sekian, terima kasih.