Cari Blog Ini

Kamis, 19 Juni 2014

Lomba Blog Dies Natalis Universitas Terbuka ke-30



UT INOVATIF, MAHASISWA PUN HARUS KREATIF DAN PRESTATIF
Oleh: Trimanto*)

Seorang temanku, sebut saja namanya Joko, berkata bahwa kalau cuma lulus SMA hidup tidak akan maju. Ia menyatakan keinginannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi sejauh yang ia tahu, kuliah bagi karyawan hanya bisa di perguruan tinggi swasta dengan mengambil kelas malam atau kelas Sabtu-Minggu. Itu pun dengan biaya yang jauh dari jangkauan.
Ternyata ia belum tahu kalau ada perguruan tinggi negeri dengan biaya terjangkau dan bisa belajar secara mandiri. Bahkan, sekretariat atau kampusnya berada di setiap ibukota provinsi dan beberapa perwakilan di luar negeri. Jarak dan lokasi tidak menjadi hambatan, karena proses belajarnya bisa jarak jauh dan sekarang dengan bantuan teknologi internet, semuanya bisa serba online. Syarat mendaftar tidak ada batasan usia maupun nilai tertentu, dan dalam setahun dibuka dua kali pendaftaran.
“Kok aku baru tahu kalau ada Universitas Terbuka”, pekiknya penuh antusias usai mendengar penjelasanku. Singkat cerita, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri dan memintaku untuk membantu mengantarkannya ke kampus Universitas Terbuka terdekat.
Dari cerita singkat di atas, ternyata masih ada (mungkin masih banyak) orang yang belum mengetahui tentang Universitas Terbuka (UT), walau ia tidak tinggal di daerah terpencil.

Inovasi UT
UPBJJ UT Surakarta, Jl. Raya Solo-Tawangmangu KM 9,5
UT http://www.ut.ac.id melakukan langkah yang kreatif dalam menyelenggarakan proses pembelajaran di perguruan tinggi, yaitu sistem belajar jarak jauh, dengan membuka Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di setiap ibukota provinsi dan perwakilan di luar negeri. Disebut sistem belajar jarak jauh karena dalam proses belajarnya, si mahasiswa tidak harus datang ke kampus baik dalam urusan administrasi maupun kegiatan belajar itu sendiri. Semuanya bisa dilakukan secara jarak jauh baik via surat-menyurat atau media online, seperti kegiatan registrasi, pembayaran SPP dan modul, ujian, nilai ujian, dan lain-lain.
Inovasi yang luar biasa tersebut ternyata memberi banyak kemudahan sekaligus solusi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, namun memiliki berbagai keterbatasan, seperti biaya, jarak/lokasi, usia, atau waktu. Bahkan, ketika kita berada dalam kondisi tertentu, UT memberikan kesempatan untuk mengambil cuti selama maksimal empat kali masa registrasi (semester).
Inovasi lain terkait dengan prasarana-sarana belajar mengajar banyak sekali. Mulai dari CD interaktif sebagai pelengkap modul, bekerja sama dengan radio dan televisi untuk siaran mata kuliah, maupun sarana yang bersifat online (tutorial, latihan soal, diskusi, perpustakaan, dll).
Ke depan, UT akan terus-menerus melakukan inovasi guna memberikan kemudahan-kemudahan bagi mahasiswa dalam belajar dan memahami mata kuliah yang sedang diambil. Akhirnya dikembalikan lagi kepada mahasiswa sendiri, apakah akan menggunakan berbagai fasilitas yang telah disediakan UT tersebut atau tidak.
Maka layaklah jika UT memiliki motto “Making Higher Education Open to All”.

Mahasiswa Harus Kreatif dan Prestatif
Kalau UT sudah melakukan inovasi pendidikan sedemikian rupa, maka mahasiswa UT pun harus bisa mengimbanginya dengan menjadi mahasiswa yang kreatif dan prestatif. Akan menjadi suatu hal yang sia-sia tentunya berbagai inovasi yang telah dilakukan UT tanpa direspons secara baik oleh mahasiswanya.
Dengan sistem belajar yang mandiri dan harus bekerja untuk mencari nafkah; aku berpikir hal itu bukanlah suatu halangan atau hambatan untuk maju dan sukses, tapi justru menjadi pendorong agar aku menjadi mahasiswa yang berkualitas dan berprestasi. Wajar jika orang yang kuliah di PTN/PTS konvensional bisa sukses dan berprestasi, tapi akan luar biasa jika dalam berbagai keterbatasan dan kondisi mahasiswa UT bisa juga sukses dan berprestasi, atau bahkan malah melebihi yang kuliah di kampus konvensional.
Aku sangat prihatin jika melihat mahasiswa UT hanya asal kuliah, formalitas,  sekedar mencari gelar, biar bisa naik pangkat atau dapat tunjangan di tempat kerja kalau sudah S1, terpaksa di UT karena tidak diterima di PTN idaman, dan lain-lain. Biasanya mereka hanya registrasi, baca modul, dan ujian. Setelah ujian semua materi yang dibaca hilang lagi (lupa) karena memang dia belajar niatnya agar bisa mengerjakan ujian.
Menurutku, kuliah di UT tidak sekedar baca modul (menghafal) kemudian ujian, tapi kita harus benar-benar memahami materi ajar yang ada di modul. Pemahaman dalam arti mengerti materi, kemampuan merekam (internalisasi), kegunaan materi ajar dalam kehidupan sehari-hari serta mampu menghubungkan materi ajar satu dengan materi ajar lainnya secara integratif dan komprehensif.
Komunitas Forum Belajar Ilmu Komunikasi (FORBIK) UT Surakarta
Untuk memperkuat pemahaman tersebut, biasanya aku mengajak teman-teman untuk sering berdiskusi lewat belajar kelompok. Dengan berdiskusi, akan dapat mengasah otak dan kemampuan berpikir kita, kebiasaan berbicara dan mengeluarkan pendapat, adu argumen dan sikap kritis, dan yang pasti ada proses take and give yaitu saling menerima dan memberi, sehingga bisa memperkaya wawasan dan pemahaman kita akan suatu hal. Untuk kegiatan diskusi online, UT telah menyediakan ruang khusus di http://www.ut.ac.id
Belajar (teori) penting, tapi praktik jauh lebih penting. Dalam mempelajari ilmu komunikasi terutama bidang jurnalistik, aku aplikasikan lewat praktik menulis. Aku rajin menulis baik fiksi maupun nonfiksi, dan aku coba kirimkan ke media massa (surat kabar, majalah). Juga rajin menulis di blog, forum internet, groups, notes facebook, citizen journalism, dll. Termasuk kunjungan ke kantor surat kabar.
Untuk mempraktikkan teori kehumasan, aku bergabung dengan banyak organisasi, baik organisasi keagamaan, organisasi sosial, organisasi politik, atau komunitas tertentu. Di tempat kerja, teori kehumasan dapat juga kita praktikkan, walau dalam skala dan konteks yang berbeda. Dalam sosial media, groups, atau forum di internet, kita pun bisa praktik menjadi humas.
Sedangkan dalam bidang broadcasting (kepenyiaran), aku biasanya praktik dengan tampil di panggung atau di acara tertentu, mencoba merekam suatu event, membuat film atau iklan mini, juga kunjungan ke kantor radio atau televisi.

Penutup
Pada akhir tulisan ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada UT yang telah melakukan berbagai inovasi di dunia pendidikan, sehingga dalam berbagai keterbatasan dan kondisi yang saya miliki, saya bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. UT telah banyak memberi kemudahan-kemudahan kepada saya untuk memahami bahan ajar untuk kemudian saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan tempat bekerja maupun di masyarakat luas pada umumnya. Dengan kuliah di UT, saya bisa sambil bekerja untuk mencari nafkah sekaligus membiayai kuliah saya sendiri.
Point yang tak kalah penting adalah seseorang dinilai bukan dari kampusnya, tapi dari kualitas pribadinya. Lulusan perguruan tinggi luar negeri sekalipun, kalau tidak berkualitas apalagi sekedar gaya-gayaan, ya jelas percuma kan?
Sebagai ungkapan terakhir, saya ingin meneriakkan “UT, Gue Banget Gicu Loch!”

*) Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Univeristas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-30. Tulisan adalah hasil karya sendiri dan TIDAK merupakan jiplakan).

Kamis, 12 Juni 2014

Lomba Blog Dies Natalis Universitas Terbuka ke-30



UNIVERSITAS TERBUKA:

INOVASI TIADA HENTI, PRESTASI TAK TERTANDINGI
Oleh: Trimanto*)

Aku hanya bisa terdiam. Beberapa saat lamanya. Pertanyaan, “Kamu kuliah di mana?” telah membuatku tak berkutik. Antara menjawab dengan jujur, menjawab dengan tidak jujur, atau tidak menjawabnya sama sekali.
Jika menjawab dengan jujur, rasa minder dan tak percaya diri masih menggelayuti relung hatiku. Jika menjawab tidak jujur, akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan memungkinkan adanya pertanyaan lanjutan. Dan jika tak menjawabnya sama sekali, takut juga dianggap tidak menghormati orang lain. Ahhh...benar-benar serba salah.
Bahkan, jika terpaksa harus menjawab dengan jujur, kata “cuma” selalu disematkan sebagai kata pembuka. “Cuma di UT”, yang kuucapkan dengan suara bergetar dan kurang jelas. Kata “cuma” mengindikasikan ketidakberdayaan dan kerendahdirian.
Tidak hanya itu, ketika melakukan aktivitas tertentu seperti pergi ke perpustakaan atau mendaftar acara tertentu, yang mengharuskan menunjukkan kartu mahasiswa, aku pun mengeluarkan kartu itu dengan perasaan enggan dan menekuk muka.
Citra Universitas Terbuka (UT) http://www.ut.ac.id  sebagai universitasnya para guru yang mau ambil S1, kampusnya para orang tua, perguruan tinggi murahan, lulusannya tidak berkualitas karena hanya belajar mandiri, dan berbagai label dan stigma negatif lainnya; masih meracuni pikiran dan keyakinan sebagian besar warga negeri ini. Hal inilah yang sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikirku di masa-masa awal kuliah di UT.

UT adalah Sang Juruselamat
Seiring perjalanan waktu, kesadaran mulai muncul dari dalam diriku. Aku mulai berpikir secara terbuka dan adil. Bagaimana jika orang yang bekerja tapi masih ingin melanjutkan pendidikan tinggi; bagaimana jika orang yang telah tua (lanjut usia) masih punya semangat belajar yang membara; bagaimana jika orang dari keluarga tak mampu ingin meraih cita-citanya lewat pendidikan; dan bagaimana pula orang yang berada di tempat terpencil atau tak terjangkau perguruan tinggi masih ingin sekolah lagi.
Inilah mengapa, UT melakukan sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia yaitu mendirikan sebuah Unit Pembelajaran Jarak Jauh (UPBJJ) di setiap provinsi dan perwakilan di luar negeri. Inovasi yang luar biasa. Diberi nama Universitas Terbuka dengan motto “Making higher education open for all”: terbuka bagi siapa saja dan segala usia, terbuka tanpa harus hadir di kampus atau di kelas, terbuka untuk mendapatkan pendidikan dan gelar sebagaimana kampus konvensional pada umumnya. Terbuka selebar-lebarnya tanpa hambatan.
UT ( http://www.ut.ac.id ) berinovasi dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siapa saja yang memiliki hambatan tertentu untuk mengenyam pendidikan tinggi dan meraih cita-cita. Baik hambatan usia, biaya, jarak, kesempatan, fisik, waktu dan sebagainya. Inovasi UT telah mendobrak paradigma lama bahwa kuliah harus mahal, hadir di kelas, atau usia muda.
UT adalah sang juruselamat. Ya, itulah gelar yang paling cocok disematkan kepada inovator pendidikan tersebut. Ia telah menyelamatkan ribuan-bahkan jutaan orang yang memiliki keterbatasan tertentu dalam meraih pendidikan tinggi.

Berorientasi pada Prestasi
Meskipun murah, tanpa harus tatap muka, atau belajar mandiri; bukan berarti UT dicap sebagai perguruan tinggi sekedar mencari gelar, asal lulus, atau tak berkualitas. UT juga mendorong para mahasiswanya untuk berprestasi baik secara akademis maupun praktis.
Suasana belajar kelompok jurusan Ilmu komunikasi UT Surakarta
Secara akademis, tidak sedikit mahasiswa UT yang mendapat beasiswa karena IPK tinggi, menang lomba karya tulis tingkat nasional, menerima penghargaan atas sebuah karya tertentu, menjadi peserta program pertukaran pelajar nasional maupun internasional, menjadi duta pendidikan, dan masih banyak lagi. Secara praktis, prestasi dalam bidang olahraga, seni-budaya, penciptaan produk atau karya kreasi tak terhitung lagi.
UT ( http://www.ut.ac.id ) terbukti tidak sekedar mencetak sarjana asal sarjana, tapi sarjana yang berkualitas sekaligus berprestasi. Kualitas dapat dilihat dari modul matakuliah standar PTN ditambah prasarana-sarana belajar penunjang dan media belajar lainnya, sistem online yang terintegrasi (registasi, tutorial online, sistem ujian online, tugas mandiri online, diskusi dan tatap muka), kuliah Tutorial Tatap Muka (TTM), dan kantor UPBJJ di setiap ibukota provinsi dan kota tertentu. Sedangkan untuk menuju prestasi, diadakannya kegiatan dan event internal UT (olahraga, seni-budaya), pembinaan kewirausahaan, pembinaan UKM, lomba tingkat fakultas dan universitas, serta bekerjasama dengan pihak pemerintah, swasta, perusahaan, maupun PTN lainnya baik dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh mahasiswa UT yang berprestasi dapat dilihat di http://www.ut.ac.id/profil/841-jangan-pernah-menyerah-sebelum-mencoba.html

Perguruan Tinggi Masa Depan
Kalau selama ini UT menjadi tempat kuliah orang “kepepet”, memiliki hambatan tertentu, atau alternatif terakhir jika tidak diterima di PTN, maka bisa jadi suatu saat nanti justeru UT menjadi pilihan utama.
Kampus UT ( http://www.ut.ac.id ) yang selama ini hanya sebagai tempat registrasi, ambil kartu ujian, atau tempat informasi dan konsultasi; suatu saat nanti bisa membangun gedung untuk ruang kuliah maupun tempat ujian. Selain itu, dengan semakin susahnya masuk PTN (persaingan tinggi) dan semakin mahalnya biaya pendidikan, maka boleh jadi UT menjadi pilihan yang layak diperhitungkan.
Dengan prasarana-sarana pendidikan yang cukup memadai, lulusan yang berkualitas dan berprestasi, dan UT sendiri memiliki peringkat tinggi di tingkat nasional maupun internasional; bukan mustahil suatu masa nanti UT menjadi kampus idaman-kampus harapan tuk meraih masa depan yang gilang-gemilang.

*) Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Univeristas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-30. Tulisan adalah hasil karya sendiri dan TIDAK merupakan jiplakan).