Cari Blog Ini

Selasa, 31 Desember 2013

REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP



REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP


Adakalanya rasa syukur itu disimpan dalam hati dan tidak diungkapkan; adakalanya diekspresikan lewat kata-kata; dan ada pula yang diawujudkan dalam tindak-laku perbuatan. Nah, melalui tulisan ini, aku ingin sekali mengungkapkan rasa syukurku kepada FLP lewat untaian kata dan kalimat.

Dulu, sebelum aku bergabung di FLP Depok, aku orangnya sangat pemalu dan minderan. Bertemu dengan orang yang lebih kaya atau lebih pandai aku minder. Berbicara di depan umum juga malu dan tidak percaya diri. Aku merasa lebih rendah dari orang lain. Merasa banyak kekurangan, merasa tidak mampu, dan berbagai atribut negatif lainnya.

Akan tetapi, setelah bergabung di FLP (2006) dan tiga tahun kemudian dijadikan pengurus – walau sebenarnya aku ini belum bisa nulis “beneran” – telah merubah segalanya. Percaya diri meningkat (terkadang over-pede malah, hehe…), diminta berbicara di depan hayuk aja (yang penting berani dulu to).

Lebih dari itu, setelah melewati perenungan yang panjang, ternyata menjadi orang itu yang benar haruslah rendah hati, bukan rendah diri. Berhadapan dengan siapapun tidak boleh merasa minder atau rendah diri. Keyakinan ini lama-kelamaan membentuk konsep diri aku yang utuh. Bahwa manusia ini sejajar-setara, yang membedakan hanyalah ilmu dan amalnya (Islam = taqwa). Sehingga kalau aku ketemu pejabat kek, kyai-lah, guru besar, pakar, atau apalah, aku menempatkan diri setara dengannya.

Yang tak kalah penting adalah dengan gabung di FLP aku bisa belajar banyak hal dan belajar kepada banyak orang. Jika boleh menyebut di antaranya: dengan Taufan E. Prast bisa belajar bagaimana menikmati dan memaknai hidup ini secara sederhana sekaligus benar; dengan Yanuardi Syukur bisa belajar bagaimana menjadi seorang “priyayi” terpelajar; dengan M. Irfan Hidayatullah belajar akan kelembutan dan kehalusan budi; dengan Pipiet Senja meneladani semangat hidup dan perjuangan; dan masih banyak lagi.

Dengan FLP Hongkong belajar soal kerja keras dan  pengorbanan; dengan FLP Ciputat belajar tentang konsep nasionalisme, demokrasi dan pluralisme (tiga kata yang terkadang cukup “sensitif” di FLP).

Pokoknya banyak hal dech yang sudah aku dapatkan di FLP dan banyak perubahan hidup pada diriku. Terima kasih FLP, terima kasih semuanya.

Menjadi Pengurus FLP
Menjadi pengurus FLP tidaklah mudah, tapi juga tidaklah sulit. Memang, butuh niat dan pengorbanan. Pengalaman menjadi pengurus cabang, pengurus wilayah, dan kemudian pengurus cabang lagi (harusnya naik pangkat jadi pengurus pusat ya, hihi…) membuatku memiliki sudut pandang yang berbeda terkait amanah di FLP.

Doktrin-doktrin seperti ingin berdakwah, ladang amal, pahala atau semacamnya; sepertinya tidak lagi ampuh agar seseorang mau menjadi pengurus atau berbuat sesuatu untuk FLP. Dalam berbagai bidang kehidupan, biasanya motif ekonomi dan disusul kemudian motif sosial lebih dominan daripada sekedar motif agama. Motif agama bersifat abstrak dan tidak bisa dinikmati saat ini, terlebih di zaman yang cenderung hedonistik dan materialistik ini. Bukti nyata adalah banyak FLP yang tidak aktif, mati suri, antara ada dan tiada, gonta-ganti pengurus, besar di permukaan.

Sebagai perbandingan, mengapa motif agama tidak begitu menarik adalah dalam hal sebaliknya, yaitu banyak orang yang tak lagi takut dosa, siksa, neraka, adzab dll walau ia seorang tokoh agama sekalipun (kasus korupsi).

Kembali ke laptop, eh kembali ke FLP. Kalau aku sendiri yang saat ini dijadikan ketua (walau aku sudah menolak sedemikian rupa, tapi sedikit “diperkosa”), ya yang jelas aku lebih mengutamakan kepentingan keluargaku dululah, soalnya kalau mengabaikan mereka aku kan bisa berdosa; sedangkan kalau menomorduakan FLP paling di-unek-unekke thok.

Penumpang Gelap
Kita sih sudah pada sepakat kalau FLP itu gerakan dakwah bil qalam, memberikan pencerahan, kampanye gemar membaca-menulis dan semacamnya. Tapi menurutku, jika ada yang punya motif politik di FLP, ya bisa jadi. Dalam pandangan “mata batin” ku kiranya adalah yang seperti itu. Ibarat satu gerbong yang disusupi penumpang gelap.

Menarik juga akhir-akhir ini FLP sering dihubung-hubungkan dengan parpol tertentu. Bahkan ada yang berani menyatakan “hampir 100% pengurus BPP adalah kader partai tertentu”. Kok tanggung amat, kok nggak dibilang sekalian “hampir 100% pengurus FLP cabang dan wilayah di Indonesia dan luar negeri adalah kader partai tertentu” (jadi pingin mengucapkan amin 1000x dah J).

Pastinya kalau sering disebut-sebut gitu tetap ada dampak positifnyalah bagi partai tersebut. Walupun kader partai itu sedang ada noda atau koreng, paling tidak nama partai itu menguat di memori dan makin mudah diingat, dan suatu saat nanti noda atau koreng tadi akan dilupakan orang.

Kekhawatiran akan adanya "pekaesisasi" di tubuh FLP sepertinya terlalu berlebihan, tapi bisa juga benar adanya. Berlebihan karena orang-orang FLP pintar dan cerdas, tentu tidak mudah dipengaruhilah. Bisa benar jika para “penumpang gelap” itu melakukan gerakan bawah tanah, aksi laten, atau pandai menjadi bunglon.

Terlepas dari semua itu, aku pribadi sangat senang dengan dunia politik.

Akhir kata, selamat memasuki tahun 2014 ya. (Trimanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!