Cari Blog Ini

Kamis, 15 Desember 2011

SARTIKA BICARA LAGI


      Sekali lagi ia pandangi wajah dibalik bingkai foto itu. Berkali-kali dan entah untuk kesekian kalinya ia pandangi foto tersebut. Senyuman dalam foto itu selalu memberikannya ketenangan atas rasa kehilangannya. Senyum itu selalu memancingnya ikut tersenyum pula, meski tak jarang pula buatnya meneteskan airmata. Sekaligus senyum dibalik foto itu juga mengingatkannya pada derita para TKI di luar negeri.
       Foto itu, telah dianggapnya bagai benda keramat. Seperti sebuah alat yang dapat menghubungkan dua perasaan emosianal antara ia dengan anak perempuannya, yang dapat mempererat jalinan batin diantara mereka.
       Sengaja bingkai foto tersebut ia letakkan diatas meja dekat tempat tidurnya. Sesekali ia juga mengelap bingkai foto tersebut dari debu dan jelaga yang tumbuh. Barangkali ia akan terus membiarkan bingkai foto itu tetap seperti itu, agar dapat melihat betapa ia begitu merindu, berkeluh kesah dalam doa-doanya, dan tertidur memimpikannya.
      Akhir-akhir ini benaknya selalu diliputi kegelisahan. Ia tak bisa tenang dan selalu memandang curiga pada setiap firasat yang menghampiri. Apakah anaknya disana telah mendapatkan kelayakan seperti yang telah diidam-idamkannya? Apakah justru ia mendapatkan tekanan ataupun siksaan seperti nasib para TKI teraniaya diseberang laut sana?
       Sartika, anaknya, memang tak pergi ke jazirah Arab atau tanah Melayu. Demi memperbaiki nasib hidup, berbekalkan ijazah SMP , ia nekad merantau ke ibukota. Namun nasib sebagai pembantu dimana-mana seringkali memberikan celah pada sistem perbudakan. Cara kerjanya yang identik disuruh-suruh membuat orang-orang mudah memamerkan taring keotoriterannya, dan mudah mengkhianati kesetaraan antar manusia sebagai fenomena norma-norma hukum belaka. Nyatanya, meskipun mereka masih berada dalam satu pulau, mengabarkan keadaan diri sendiri saja masih mengalami kendala.
       Dari depan, terdengar pintu diketuk. Gedorannya keras dan menggelisahkan. Ia terlonjak kaget dan bingkai foto yang berada digenggamannya terjatuh. Kacanya retak menutupi senyum satu-satunya dalam bingkai foto tersebut. Apakah ini pertanda buruk? Suara gedoran pintu dari luar semakin terdengar keras dan menggelisahkan, maka ia campakkan bingkai foto itu dan berlari keluar.
        Saat melihat sosok yang berdiri diambang pintu, lekas ia terperangah. Sartika? Tubuh anaknya itu begitu tirus dan kurus. Ia langsung memeluk  tubuh anaknya itu. Doa-doa yang tak pernah bosan ia lantunkan seakan telah menemui jalannya. Seluruh kerinduan yang selama ini dideritanya seketika luruh mencair. Ia dapat merasakan begitu kecil dan lemahnya tubuh anaknya ini. Tubuh Sartika mendesaknya, mendorongnya ke belakang hingga hampir membuatnya terjatuh. Sartika jatuh pingsan dalam dekapannya.
       Ia langsung membawanya masuk. Jiwanya kocar-kacir. Ia tidurkan tubuh putrinya itu dibawah cahaya lampu pijar. Diminumkannya Sartika beberapa teguk segelas air putih. Wajah dan kulit tubuh anaknya begitu tipis dan sayu. Meski tak ada luka lebam ataupun luka bakar, aura dibalik wajah putrinya tak ada lagi kecerahan. Tatapan sepasang matanya mengalirkan cahaya kehampaan seakan-akan hidupnya ini telah kosong. Semenjak saat itu tak ada lagi cengkerama yang mampu mengakrabkan jalinan kasih antara ibu dan anak. Sartika tak mengenalnya lagi.
       Setiap pagi menjelang, selalu ia menatap prihatin anaknya yang melamun sendiri dipojok kamar. Ia bawakan sarapan pagi sambil coba mengarib-ngaribkan diri dengan berbagai obrolan dan pertanyaan yang mengandung perhatian. Tapi diantara mereka seperti telah tumbuh celah keterasingan yang memisahkan jiwa mereka. Entah makhluk apa yang kini mendiami tubuh Sartika hingga anaknya itu tak pernah menganggapnya ada.
        Selama ini Sartika hanya diam. Tak mau bercerita apa yang telah menimpanya di ibukota. Selalu, ia terlihat lebih asyik bermain-main dengan pikirannya sendiri, yang membuatnya tanpa sebab sesekali tersenyum, menangis, tertawa, bahkan menjerit. Selebihnya ia membisu tanpa bahasa-bahasa apalagi basa-basi.
       Sebagai seorang ibu, ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri melihat kondisi putrinya yang tak utuh lagi. Ia kutuk dirinya seburuk-buruknya kutukan. Ia telah menjadi orangtua gagal. Sepanjang malam-malamnya ia tak pernah tidur lagi. Lelapnya kini tergantikan dengan curahan airmata, meratapi segala kebodohan dan penyesalannya. Sepantasnya ia diludahi dan ditampar sampai kedua pipinya memerah. Tak seharusnya seorang ibu mengizinkan anak perempuannya pergi jauh-jauh mencari nafkah. Anak perempuan itu lebih pantas di rumah, berdandan dan bermanja-manja bersama orangtuanya.
       Kini, rumah ini terasa dihuni oleh kesunyian, kehampaan, dan kesuraman. Semua benda yang terpampang dihadapannya seakan selalu menyalahkannya. Semua diam menuntutnya.
      Kalau begitu benarkah diam itu emas?
      Kalau memang benar diam itu emas, ia rela jual suaranya.
      Kalau memang benar diam itu emas, takkan segan-segan lidah ia potong. Mulut ia jahit.
      Kalau memang benar diam itu emas, ia akan begitu bangganya memamerkan ksbisuannya ini.
      Herannya, mengapa emasnya diam itu membuat ia merasa berputar-putar ditengah pusara nereka?
      Mengapa emasnya diam itu justru membuat anaknya seperti kehilangan kodratnya sebagai manusia hakiki?
      Mungkin memang benar diam itu emas, sayangnya emasnya diam itu tak memberikan keleluasaan untuk bergemerlap dan bersinar.
       Kalau begitu ia bersumpah takkan diam menghadapi semua ini. Ia yakin adalah anugerah manusia memiliki perasaan dan pikiran. Maka segala debat dan diskusi yang timbul melalui penuangan ide-ide dan ilham-ilham bukanlah musibah, meskipun memang terkadang menciptakan  selisih dan musuh.
      Sebagai bukti dari sumpahnya, segera ia panggil seorang dukun ahli ke rumahnya untuk mengobati Sartika. Ia pikir jiwa Sartika telah dirasuki jin kota. Semula ia sendiri ragu pada pikirannya ini, namun ia yakin makhluk-makhluk penghuni alam gaib memiliki kecepatan melebihi cepatnya gerak kilat yang membuat mereka mudah berkeliaran kemana-mana, termasuk tempat seramai dan serasional kota.
       Namun kedatangan dukun itu tak membawa hasil apa-apa, selain menebar keangkeran di rumahnya dan aroma pengap asap kemenyan.
       Malam-malam berikutnya Sartika malah semakin parah. Ia menghilang. Kamarnya berantakan. Pintu rumahnya terbuka. Ia kelabakan mencarinya. Ditengah gelap, ia berputar-putar dan menjerit-jerit. Untungnya, segera ia temui anaknya itu tengah berjalan seorang diri seperti orang linglung.
        Melihat keadaan anaknya yang tak kunjung membaik, ia pun mendatangi seorang guru agama dan meminta dibacakan ayat-ayat suci pada sebotol air putih yang dibawanya. Bukankah sebagian besar makhluk-makhluk penghuni alam gaib takut dibacakan ayat-ayat Al-qur’an?
       Dengan teratur ia minumkan air dalam botol itu pada anaknya. Hasilnya nihil juga. Ia seringkali kewalahan. Sartika mulai senang berkeliaran tanpa sepengetahuannya. Tetangga-tetengga mulai mempergunjingkannya. Terpaksa ia memasung anaknya didalam rumah. Semakin hari semakin jelas penderitaan anaknya itu. Semakin jelas pula bukan roh-roh jahat yang merasukinya, melainkan telah ada makhluk kasar yang meremggut kegadisannya. Perut Sartika makin membesar.
“Salah Ibunya sendiri membiarkan anak perempuannya  pergi ke kota seorang diri. Kota itu tempat yang penuh kejutan, tempat segala sesuatu yang hanya berupa sangka dapat menjadi bukti. Nyatanya, perempuan selugu Sartika pun berani menjual kegadisannya pada sembarang lelaki”.
“Tak salah lagi ini akibat ulah Ibunya sendiri yang tak pandai mengurus anak. Kalau tidak mana mungkin suaminya meninggal di usia muda. Kini, anaknya sendiri yang ia tumbalkan pada parlente-parlente di kota”.
   Selalu, untuk kasus-kasus semacam ini, yang berkaitan dengan aib yang semestinya tersimpan rapi seperti mudah menyusup keluar memamerkan sensasinya pada khalayak ramai. Bisik-bisik diantara mereka meski diucapkan sepelan mungkin, sehati-hati mungkin dibelakangnya, tetap saja terdengar pekak ditelinganya. Barangkali di dunia ini tak ada hiburan yang lebih ramai nan seru selain daripada bisik-bisik tetangga. Mereka begitu pandai mengkreasikan setiap kata, lantas mengunyah-ngunyahnya dalam mulut menjadi sensasi lain yang sama sekali baru. Semua kata yang terlontar lebih cenderung kearah fitnah.
   Gerangan, lelaki mana yang telah dengan keji  merenggut keperawanan putrinya ini?
   Telah lengkap Sartika menjadi korban nafsu kemiskinan dan budak dari segala keterbatasan. Status yatim yang disandangnya sedari kecil bagaikan karma yang harus ditebusnya hingga dewasa. Merantau ke kota mencari harta, yang didapat justru nista. Kemalangan-kemalangan yang menimpanya bagaikan lingkaran takdir yang mengelilingi hidupnya. Tak cukup dengan setetes ataupun dua tetes airmata. Keringatpun tak cukup dikuras dengan usaha dan upaya. Puas ini seperti tersimpan ditengah api neraka dimana apabila hendak mendapatkannya ia harus bersedia mati hangus terbakar. Sebagai seorang Ibu yang mestinya senantiasa melindungi anak putrinya, adakah andil dirinya atas segala kepayahan ini dan sebegitu besarkah kealpaannya sehingga ia harus menanggung beban batin serta pikiran seberat ini?
***##***

    Bulan demi bulan berlalu mengakhiri minggu-minggunya, dan minggu demi minggu pun berjalan menghabisi hari-harinya. Sembilan bulan, tak kurang dan tak lebih dari waktu yang semestinya, akhirnya Sartika melahirkan. Ia sendiri berputar-putar kebingungan di ruang tengah, merasa sesak mendengar putrinya meraung-raung kesakitan. Tak baik kiranya ia meninggalkan seorang wanita melahirkan sendirian didalam kamar, terutama ditengah malam begini. Sementara, ia sendiri tak mengerti bagaimana cara menangani persalinan. Semua itu bukan semata demi keselamatan sang ibu dengan bayinya. Menurut apa yang dipercayainya, seorang wanita yang tengah melahirkan akan didatangi dan diawasi oleh malaikat dan iblis. Mereka berebut, pengaruhi sang bayi agar kelak dewasa nanti mengikuti salah satu dari mereka. Musibah apabila sang janin keluar diiringi dengan teriakan para iblis. Kemungkinan petaka dalam keluarga ini takkan ada henti-hentinya.
“Biarlah aku pergi daripada bayi ini mati dalam perut anakku. Lagipula, malaikat dan iblis tak terlihat mata”, ucapnya membatin. “Baik buruknya seorang anak itu tergantung orangtua bagaimana mencontohkan dan mendidiknya”.
    Malam itu juga, ia berlari mendatagi rumah Mak Onah----seorang paraji setempat yang sering dimintai kemampuannya membantu wanita-wanita hamil dan melahirkan. Ia mengetuk pintu rumahnya. Keras dan tergesa-gesa. Pintu tak kunjung dibuka. Maka kali ini ia menggedornya. Pintu terbuka. Paras renta Mak Onah terlihat kelabu dari balik pintu tersebut.
“Mak, tolong anak saya”, mohonnya cepat. “Anak saya mau melahirkan. Dia sedang menjerit kesakitan seorang diri di rumah. Saya takut bayinya keburu keluar sebelum ada yang membantu persalinannya”.
Mak Onah terdiam seperti berpikir-pikir. Lantas dengan berat hati ia berkata, “Maaf, Ceu Sanih. Bukannya saya tak mau menolong, tapi untuk saat ini saya benar-benar tak bisa”.
    Karena kemampuannya, Mak Onah dikenal sebagai sosok yang mulia nan berbudi. Berpuluh-puluh tahun sudah ia mengemban tugas yang tidak mudah, melangkahkan kaki tanpa penting arah ke tempat-tempat yang memerlukan jasa dan keahliannya. Sejauh apapun jarak yang menghadangnya didepan, sebisa mungkin ia akan tempuh. Terkadang, ketika proses persalianan terjadi diluar perhitungannya, ia mesti mengakrabkan diri dengan hujan, gelap, dingin ataupun angin. Ia tak peduli lagi dengan status atau kondisi sosial seseorang yang membutuhkannya. Selama waktu masih berada dalam genggamannya, ia selalu siap menjalani takdirnya. Tapi, mengapa tiba-tiba saja ia me-sanksi-kan kesulitanya ini?
“Kenapa?”, tekannya. Airmatanya menggenang dipelupuk matanya. “Apa ini karena tanpa pernikahan pun anak saya bisa hamil? Apa ini karena Sartika mengandung anak haram?”
“Bukan begitu, Ceu!’, tukas Mak Onah tergugu, takut-takut lawan bicaranya tersinggung. “Ceu Sanih tahu sendiri sebentar lagi Mak  akan naik haji. Mak harus mempersiapkan diri Mak sebaik mungkin. Mak harus menjaga kesehatan Mak”.
“Saya mengerti”, ucap Ceu Sanih pilu. Namun secara bertubi-tubi, melalui luapan emosi kata-katanya, ia menghentak dada Mak Onah. “Tapi bagaimana jadinya apabila yang melahirkan malam ini bukan anak saya. Orang lain. Seorang wanita bersuami. Apakah Mak Onah akan tetap bilang tidak bisa? Saya yakin Mak Onah takkan tega menolaknya dengan alasan serendah itu”.
    Mak Onah merasa tertohok. Melihat titik-titik bening menyembul keluar dari sepasang mata Ceu Sanih membuatnya tak mampu berkutik lagi. Sinar bola mata itu memendam permohonan yang amat sangat. Semua itu membuat         Mak Onah merasa digempur habis-habisan, seakan ada semacam usaha untuk menyudutkannya.
    Tak baik kiranya, seorang paraji yang mengabdikan hidupnya dalam melestarikan umat manusia mesti menelantarkan kepiluan Ceu Sanih. Dipihak lain, apabila ia tak menghiraukan kesulitanya, maka ia juga akan mendapatkan dampak buruk dari omongan masyarakat. Citra baiknya yang memiliki nilai kesepuhan akan tercoreng. Mengapa segala kebiasaan yang telah sering ia laksanakan dan telah jinak ditangannya tiba-tiba saja seperti menjelma sebuah kengerian yang tak sanggup ia hadapi? Haruskah ia menularkan tangannya sendiri dengan menyentuh najis yang tumbuh dalam rahim Sartika?
    Toh, kenapa pula ia begitu peduli dengan omongan orang-orang diluar sana? Apabila masyarakat menganggap ini sebuah kesalahan, ia sebenarnya tak perlu khawatir dengan timbulnya desas-desus. Selama ia melakukan tugas-tugasnya tidaklah dimaksudkan untuk mendapatkan penghargaan ataupun penghormatan. Ini murni pengabdian. Sebaliknya, sebagai seorang yang dianggap sepuh, seharusnya ia dapat memberikan contoh pada masuyarakat tentang arti kemanusiaan. Bahwa siapapun berhak mendapatkan rasa sosial karena tak ada seorangpun yang luput dari noktah kehidupan. Biadab atau tidak biadab, zinah atau bukan zinah, sudah menjadi kewajiban Mak Onah untuk menolongnya.
“Baiklah, kamu tenang saja”, kata ia akhirnya. “Mak siapkan dulu barang-barang yang dibutuhkan”
Ceu Sanih merasa lega. Kesediaan Mak onah bagaikan aliran udara yang melegakan nafasnya. Dengan ekspresi meluap-luap, ia mengucapkan terima kasih pada Mak Onah.
***###***

    Dengan hanya diterangi cahaya lampu pijar, Mak Onah mulai bekerja, mengerahkan segenap kemampuannya. Sartika berbaring disalah satu pojok kamar. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar dengan kedua lutut ditekuk keatas. Jeritan yang keluar dari mulutnya menambah kesan keangkeran pada keheningan malam.
    Sementara, Ceu Sanih menunggu dari balik pintu. Bulu-bulu halus disekujur tubuhnya meremang. Ada baiknya ia membantu Mak Onah didalam, namun ia tak tega melihat putri tunggalnya kesakitan tanpa adanya penawar. Ia tahu, setiap jeritan yang dibuang ke udara dalam setiap persalinan selalu tersisip kebahagiaan dan harapan besar. Tapi jeritan putrinya ini sekualitas jeritan orang yang dicambuk berkali-kali. Penuh ketakutan dan putus asa. Jeritan itu hanya untuk meredam rasa sakit saja. Ia sendiripun tak yakin proses kelahiran ini akan berakhir selamat. Selama mengandung, Sartika hanya diam terpasung didalam kamar. Tak pernah pula Ceu Sanih membawanya memeriksakan kandungan anaknya itu. Lebih-lebih, asupan gizi yang dimakan pun tak memadai. Proses persalinan ini dapat mengancam dua nyawa!
“Laki-laki!!” jerit Mak Onah dari dalam tiba-tiba. Terdengar pula jeritan bayi itu menandakan sang manusia baru telah mampu menghirup udara dunia. Namun ia tak mendengar lagi suara Sartika. Segera ia masuk. Sartika masih terbaring dipojok ruangan, melenguh lelah atas perjuangannya tadi. Tapi, seperti hari-hari yang lalu, tatapannya masih kosong dan hampa, seolah-olah tak mengerti apa yang telah terjadi padanya. Dalam kondisi begini, bagaimana mungkin Sartika dapat mengurus bayinya----bahkan menyentuhnya pun ia enggan?
    Sementara Mak Onah memotong tali pusar bayi itu dan memandikannya dalam bak kecil. Ia melakukannya dengan cepat dan kasar. Tak sedikitpun menyimpan perasaan takut menyakiti atau melukai makhluk yang masih rapuh itu. Ceu Sanih hanya melihatnya saja. Merasa ngeri. Namun Mak Onah melakukan tahap demi tahapnya dengan telaten. Setelah sang bayi dibungkus dengan kain, dengan ragu-ragu Mak Onah menyerahkannya pada Sartika. Wanita itu justru menjerit ketakutan. Melihat bayinya sendiri seperti melihat ratusan belatung dalam sepiring nasi. Ia memalingkan muka dan menolaknya.
    Ceu Sanih hanya mampu memandang kepolosan wajah bayi itu. Perasaanya diluberi keprihatinan dan kebingungan.
    Tadi, tepat sang bayi keluar dari perut ibunya bersamaan dengan terbitnya fajar dari timur dan kokok-kokok ayam bersahutan. Sesuai dengan waktu lahirnya tersebut, ia berharap bayi ini kelak dewasa nanti, hidupnya dapat memberikan banyak semangat dan harapan seperti hangatnya cahaya fajar diwaktu pagi. Juga dapat seperti ayam-ayam yang berkokok penuh kebahagiaan diwaktu pagi karena sepasang matanya dapat kembali melihat terang.
    Syukurnya, beberapa hari kemudian doa-doanya itu terjawab. Namun sesuai dengan hakikat kehidupan, setiap kebahagiaan tidaklah bisa datang dengan sukarela tanpa tertunaikan. Ceu Sanih harus kembali mengandalkan sabarnya. Ia harus siap-siap merasa kehilangan.
    Akhir-akhir ini, selama beberapa hari ini, Mak Onah tak pernah alpa bertandang ke rumahnya. Kelihatannya ia tak peduli lagi dengan rumor yang mungkin ditujukan padanya, ataupun merasa takut tertimpa azab ditanah suci nanti karena menolong persalinan Sartika. Kunjungannya sangat membantu Ceu Sanih mengatasi semua kesibukan. Kelihatannya ia merasa tidak sempurna sebelum memastikan sang bayi mendapatkan perawatan sebenarnya. Ia juga memberikan jejamuan hasil racikannya sendiri untuk Sartika. Mungkin melihat diri pasiennya yang memprihatinkan begini, ia mengatakan sesuatu yang mesti membuat Ceu Sanih berpikir-pikir.
“Ceu Sanih, kemarin ada sepasang suami istri dari kota datang kemari. Kelihatannya mereka begitu mengharapkan kehadiran seorang bayi dalam kehidupan pernikahan mereka. Mak pikir ada baiknya juga cucumu itu diurus oleh mereka. Semoga saja dalam perawatan mereka, bayi malang ini bisa mendapatkan kehidupan yang selayaknya”.
    Mungkin ada benarnya juga apa yang disarankan Mak Onah, meskipun dibenaknya sedikit tak tega. Ia tahu setiap bayi yang duturunkan ke bumi adalah anugerah, namun ia juga harus ingat ketakmampuan mengolah anugerah dapat menjadi musibah. Maka, bayi ini tak boleh tumbuh dalam kemalangan dan kesengsaraan demi memperoleh berkahnya. Hari ini saja, terhitung sejak hari kelahirannya, tak setetespun ia mengecap nikmatnya ASI dan dekapan hangat dari ibunya. Apabila ia mengurusnya seorang diri, segala keterbatasan yang dimilikinya dapat membuatnya kewalahan. Ujung-ujungnya bayi ini dapat  terlantar tak terurus. Sebelum benar-benar ia merasa memiliki tititpan ini, sebaiknya ia segera merelakannya pada orang yang pantas.
“Darimana Mak kenal mereka?”, katanya.
“Kemarin mereka kesini mencari pembantu. Katanya pembantu lama mereka kabur karena mencuri perhiasan. Kalau kamu bersedia, Mak akan bantu mempertemukan kalian”.
    Beberapa hari kemudian, pasangan suami istri yang dimaksud Mak Onah berkunjung ke rumahnya. Mereka membawa mobil pribadi. Dari penampilan luar dan tutur bicaranya yang teratur, kelihatannya mereka adalah orang kaya yang berpendidikan. Ceu Sanih merasa minder ketika mereka duduk dikursi reyot didalam rumahnya. Sepanjang percakapan itu, ia seperti sulit menegakkan kepalanya. Mak Onah mengambil peran untuk berbincang-bincang dengan mereka. Kesepakatanpun tercapai. Ceu Sanih mesti melepaskan cucunya dari dalam gendongannya.
   Ketika itupula terdengar teriakan dari dalam. Sartika berlari keluar kamar. Wajahnya mengeras baja. Dengan keji dan menggeram seperti anjing, ia menuding tajam kearah wajah si suami dari kota tersebut. “Dia telah memperkosa saya! Dia telah memperkosa saya!”.
    Semua mata yang terbuka tertuju kearah si suami dari kota itu. Mata-mata itu menyiratkan lebih jelas dari kata apapun tentang sebuah pertanyaan besar yang mesti dijawab. Si suami terlihat ketakutan dan kebingungan. Ia telah terkepung dan dituntut menjawab setiap hal yang harus ditanggungnya.
    Ceu Sanih sendiri kini terlihat lebih percaya diri menatap sepasang manusia kota itu dengan nyalang. Mereka mungkin orang berpendidikan, tapi ilmu-ilmu yang mereka hafal dibalik bangku sekolah sama sekali tak menghilangkan kudis-kudis yang melekat dalam otak mereka. Hari ini, memang sudah seharusnya Sartika bicara lagi, karena diam adalah multitafsir yang seringkali menimbulkan prasangka dan duga-duga.

-SELESAI-
(Fajhari Adjie, FLP Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!