Cari Blog Ini

Kamis, 22 Desember 2011

KONFLIK FLP: DISHARMONISASI PERAN

Pengurus dan anggota dalam sebuah organisasi memiliki fungsi dan peran masing-masing. Dengan fungsi dan peran itulah, mereka akan melakukan pekerjaannya sesuai dengan visi dan misi organisasi demi tercapainya tujuan bersama. Dalam organisasi yang sesungguhnya (organisasi mapan), tiap-tiap pengurus dituntut untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dan bertanggung jawab.
 
Walaupun FLP sebagai sebuah organisasi, tapi pada praktiknya lebih bersifat sebagai komunitas. Komunitas lebih menekankan pada kebersamaan, sedangkan organisasi pada umumnya lebih mengutakan keteraturan. Sekalipun komunitas memiliki pengurus tertentu, tetapi fungsi dan perannya bersifat fleksibel. 

Dalam hal kasus FLP, kini bukan sekedar komunitas dengan anggota sekelompok orang saja, tapi sudah melibatkan massa yang besar dengan cakupan yang luas. Untuk itulah diperlukan kepengurusan yang rapi agar organisasi bisa berjalan dengan baik dan tertib, sehingga para pengurus memiliki tugas dan tanggung jawab seperti halnya organisasi lainnya. Di sisi lain, FLP adalah organisasi nirlaba, dalam arti para pengurus tidak mendapat gaji atau imbalan tertentu atas pekerjaannya, hanya bekerja secara sukarela. Secara organisasi kita tidak dapat menuntut mereka untuk bekerja sebagaimana mestinya sesuai harapan kita. Mereka melakukan tugas dan tanggung jawabnya lebih kepada dorongan moral yang berasal dari dalam diri sendiri. Singkatnya, amanah sesuai kemampuan. Yang terjadi adalah ada pengurus yang aktif, ada yang tidak aktif. Ada pengurus yang mau bekerja, ada pula yang sekedar “numpang nama”.

Dari berbagai kenyataan di atas, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, di antaranya:

1.      Peran ganda (rangkap jabatan)
Jika ada pengurus yang tidak aktif atau tidak berfungsi, maka pengurus lain mau tidak mau harus mengambil alih peran tersebut.

2.      Dominasi peran
Dalam hal ini, pengaruh atau intervensi dari para senior (baik mantan pengurus/anggota lama) masih cukup besar. Hal ini bisa terjadi karena pengurus baru dianggap belum sepenuhnya mampu menjalankan organisasi dan masih perlu pembinaan; atau memang mereka kurang memberi kepercayaan kepada pengurus baru untuk menjalankan organisasi.

3.      Tidak mendapat peran
Ada anggota yang cukup cakap dan punya potensi, tetapi malah tidak diberi kesempatan untuk berperan aktif. Ada juga pengurus atau mantan pengurus yang tidak pernah dipakai (tidak laku) di FLP-nya sendiri, tapi laku di FLP lain atau di tempat lain.

4.      Peran yang tidak jelas
Walau sudah ada struktur organisasi dan job description yang jelas, tapi pada praktiknya masih sering terjadi peran yang tumpang-tindih, miskomunikasi, alur kerja yang tidak jelas, dll.

5.      Peran invisible hand
Biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah bukan pengurus lagi dan atau bahkan tidak aktif lagi, tapi masih ingin tetap berperan dan menanamkan pengaruh.

Ketidakpuasan, kecemburuan dan ketidakseimbangan peran-peran yang ada merupakan salah satu sebab pemicu terjadinya konflik. Setiap orang perlu bersosialisasi, beraktualisasi diri dan mendapat pengakuan, salah satunya melalui peran yang ia mainkan.

Ini hanya sebuah catatan harian saja, bila ada yang kurang mohon diperbaiki. Terima kasih.
Balai Pustaka Baru; 12/22/2011 11:03:09 AM

Trimanto (Humas FLPW)

1 komentar:

  1. Kalau ini catatan harian pribadi.. tolong jangan diletakkan di sini Kak.. karena ini blog wilayah bukan? Mungkin lebih baik di blog pribadi karena masih sangat subjektif.. dan tidak ada dasar yang jelas..

    BalasHapus

Ditunggu komentar Anda!