Cari Blog Ini

Kamis, 15 Desember 2011

MENYOAL PENGANGGURAN INTELEKTUAL

Oleh Ali Rif'an
Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Peserta Program Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari tahun 2011 menyebutkan bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 8.12 juta orang. Sementera pada Agustus tahun 2010 mencapai 8.32 juta orang atau 7.14%. Jika dirinci, 11.92% adalah pengangguran lulusan sarjana dan 12.78% pengangguran lulusan diploma. Dari data tersebut menunjukkan bahwa ada sekitar 967.904 orang dengan predikat sarjana menjadi pengangguran terbuka atau benar-benar tidak bekerja.

Mengapa pengangguran intelektual di Indonesia jumlahnya begitu fantastis? Paling tidak, terdapat tiga faktor umum. Pertama, karena kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi pada kebutuhan pasar. Kedua, karena kebijakan ekonomi khususnya investasi yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja sesuai dengan jumlah angkatan kerja. Ketiga, karena kebijakan pembangunan ekonomi yang cenderung berorientasi pada padat modal ketimbang pada padat karya.

Selain itu, faktor khusus yang tak kalah penting adalah karena metode pembelajaran perguruan tinggi (PT) di Tanah Air belum mengacu pada pendidikan orang dewasa. Ciri pendidikan orang dewasa adalah mengutamakan penggalian, pendalaman, pengembangan, bukan sekadar menghafal.

Meminjam istilah Russel (1984), pendidikan orang dewasa adalah suatu pendidikan yang mensyaratkan bahan ajar yang mencakup konsep baru, orientasi individual, berbentuk self instructional, dan volume belajar bergantung pada kemampuan mahasiswa. Konsepnya, para sarjana diproyeksikan tidak hanya menangkap informasi, tetapi mencari informasi, tidak hanya mampu menerima ilmu pengetahuan, tetapi harus menemukan ilmu pengetahuan.

Alhasil, para sarjana dituntut tidak hanya mampu menjawab persoalan dirinya sendiri, tetapi juga bangsanya, seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan malah menjadi beban masyarakat. Banyaknya penganggur dengan status 'sarjana' di Indonesia menandakan bahwa kondisi dan kualitas sarjana kita sangat berbeda jauh dengan kondisi dan kualitas para sarjana di negara-negara lain.

Studi yang dilakukan Denison (1962), misalnya, menyebutkan bahwa jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat, selama kurun 1929-1957 mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42%. Begitu halnya kelulusan perguruan tinggi di Jepang dalam kurun waktu 1961-1971 mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35%.

Tumbuhkan Kreativitas
Seperti dikatakan banyak kalangan, terdapat dua langkah strategis untuk mengatasi problem 'kesarjanaan' di negeri ini, yakni dengan merekonstruksi atau melakukan menataan ulang sistem pendidikan nasional dan mengubah mindset (pola pikir) mahasiswa itu sendiri. Harus diakui, kurang berhasilnya perguruan tinggi (PT) dalam menumbuhkan kreativitas mahasiswa sangat terkait dengan sistem atau metode pembelajaran yang selama ini telah berjalan.

Jenjang pendidikan sarjana Indonesia kurang menyentuh pelajaran khusus mengenai aspek logic dan critical thinking yang menjadi syarat semua pendidikan bidang kesarjanaan di dunia. Pembelajaran orang dewasa tidak dilakukan sehingga yang terjadi adalah para siswa dan mahasiswa belajar hanya untuk menjawab materi soal ujian semata tanpa memahami substansinya. Mereka cenderung belajar menghafal teks sehingga pemahaman yang didapat cenderung parsial, bukan belajar secara konteks dan ke akar permasalahan sehingga pemahaman yang didapat secara mendalam.

Sebagai contoh, Departemen Kesehatan (Depkes) dulu dilaorkan pernah mengirim 2.000 perawat ke Belanda namun gagal karena setelah dites dalam 3 bulan rata-rata tidak layak untuk dipekerjakan. Demikian pula dengan kontrak Depkes untuk mengirim tenaga dokter ke Kuwait sebanyak 600 orang, konon, kesemuanya dipulangkan hanya dalam waktu 2 bulan karena tidak satu pun dokter Indonesia yang memenuhi standar.

Kondisi inilah yang oleh Rektor Institute Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Djoko Santoso disebut sebagai fenomena 'sarjana kertas'. Bukan dalam pengertian sarjana yang ahli membuat kertas, tetapi sarjana yang lulus hanya karena ijazah tanpa disertai kemampuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya di perguruan tinggi tempat ia belajar.

Celakanya, kondisi ini diperparah dengan pola pikir mahasiswa kebanyakan yang menempuh studi cenderung hanya berorientasi pada mencari ijazah, cepat lulus, dan cepat mendapatkan pekerjaan, bahkan berlomba-lomba ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Artinya, hanya sedikit sekali mahasiswa yang berpikir bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Apalagi, kini banyak ditemukan kampus-kampus 'siluman' yang kerap memperjualbellikan ijazah. Dengan modal hanya Rp 10 juta, mereka sudah bisa mendapatkan gelar sarjana.

Untuk itu, fenomena ini harus kita baca sebagai otokritik untuk membenahi kondisi 'kesarjanaan' kita. Dengan kata lain, sudah saatnya kita harus berbenah diri. Peran pemerintah dan pihak swasta penting dalam rangka penyediaan lapangan pekerjaan. Tetapi 'menggodok' kualitas sarjana supaya mampu berinovasi dan berkompetisi, serta berorientasi menciptakan lapangan pekerjaan juga jauh lebih penting. Hanya dengan begitu, persoalan 'pengangguran intelektual' akan dapat diatasi.

(Suara Karya, 17 November 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!