CERITA RAKYAT YANG TAK LAGI MERAKYAT
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Orang-orang yang yang seumuran dengan
saya dan generasi sebelumnya, tentu masih ingat betul ketika masa kecil dulu.
Masa di mana hanya beberapa orang saja di desa yang sudah memiliki pesawat
televisi maupun radio, belum ada koran atau majalah masuk desa, belum banyak
buku bacaan, bahkan belum ada handphone/smartphone. Maka, ketika selesai
belajar membaca Al Qur’an, ketika sedang duduk-duduk di halaman saat bulan
purnama, atau di dipan kayu menjelang tidur; kita sering mendengar cerita atau
dongeng dari guru atau orangtua kita.
Adalah sesuatu yang menyenangkan dan
mengasikkan saat sedang mendengar dongeng. Ditemani marneng (jagung tua digoreng sangrai), kwaci buah trembesi, atau
singkong bakar, kita diajak untuk mengembara ke ruang masa lalu, berimajinasi
ke negeri antah-berantah, serta mencoba menemukan berbagai pesan dan hikmah di
balik cerita. Ketika kita merasa senang dan menikmati cerita tersebut, maka
momen mendapat dongeng adalah sesuatu hal yang sangat ditunggu-tunggu.
Ya, itulah cerita rakyat. Cerita yang
beredar luas di kalangan masyarakat kecil (bawah) secara turun-temurun. Cerita
rakyat disampaikan dari generasi ke generasi tanpa kita pernah tahu siapa
pengarangnya atau siapa yang menceritakan pertama kali. Oleh karena itu, cerita
rakyat dikenal sebagai cerita anonim. Karena disampaikan secara lisan, maka
dalam perjalanannya cerita rakyat tentu mengalami distorsi. tidak ada cerita
rakyat yang original.
Tradisi Lisan ke Tradisi Digital
Berabad-abad lamanya negeri Nusantara
mengamalkan tradisi lisan. Sedangkan tradisi tulis belum membudaya. Selain
mungkin karena karakter kita yang cenderung lebih ke tradisi tutur, juga pada
waktu itu bahan kertas atau media tulis lainnya masih sangat terbatas.
Kelemahan tradisi lisan adalah banyak
cerita-cerita yang mengandung nilai sejarah yang tidak terdokumentasi secara
tertulis. Sehingga tak jarang kita temui sejarah-sejarah yang ada saat ini
masih tak lepas dari pengaruh mitos, legenda, maupun fantasi. Hal ini
menyebabkan kita kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar sejarah dan
mana yang bukan sejarah,mana yang fakta dan mana yang fiksi. Efek lain dari
tradisi lisan yaitu munculnya gosip, rumor, hoaks dan semacamnya, karena orang
begitu mudah untuk menambah atau mengurangi sebuah informasi atau cerita,
memelintir, bahkan merubahnya sama sekali. Sampai kini pun, budaya gosip dan
hoaks masih kental di Indonesia.
Ketika bahan kertas dan media cetak
mudah ditemukan, Indonesia tak kunjung memiliki tradisi tulis. Orang-orang yang
memiliki minat untuk menulis atau menjadi penulis tetap saja minim. Salah satu
faktornya adalah minat baca masyarakat yang masih minim pula. Padahal untuk
menjadi seorang penulis syaratnya adalah gemar membaca. Selain memang,profesi
sebagai penulis di Indonesia masih dianggap profesi yang kurang bergengsi.
Sekarang eranya adalah teknologi
digital. Perubahan terjadi secara cepat dan masif di segala bidang kehidupan.
Dampak terbesar dari era digital ini adalah hilangnya tradisi lisan di
masyarakat. Tiada lagi cerita, tiada lagi dongeng. Dari segi orang tua atau
guru, mereka tak punya waktu lagi untuk bercerita. Sedangkan dari sisi anak,
mereka tak lagi tertarik mendengar dongeng, tapi lebih fokus pada gadget. Game
maupun cerita-cerita impor lebih menarik bagi mereka daripada mendengar cerita
Malin Kundang, Sangkuriang, Jaka Tingkir, dan sebagainya.
Yang sangat disayangkan di sini
adalah ketika masyarakat belum memiliki tradisi tulis, kini telah masuk ke
lingkaran tradisi digital. Sehingga dari tradisi lisan langsung meloncat ke
tradisi digital. Berbeda halnya yang terjadi di Barat, mereka melewati era
secara berurutan, tahap demi tahap. Dimulai dari tradisi lisan, dilanjutkan
dengan tradisi tulis, kemudian baru tradisi digital. Yang terjadi adalah banyak
masyarakat kita yang menjadi “gaptek”.
Sumber gambar: www.dongengceritarakyat.com
Cerita Rakyat Kreasi Baru
Banyak di antara cerita-cerita rakyat
yang dianggap sudah kuno, tidak menarik, dan tidak relevan lagi, sehingga
ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri. Akibatnya, generasi sekarang tak lagi
mengenal cerita rakyat, karena memang tidak ada proses pewarisan. Budaya
mendongeng sepertinya telah hilang, rasa memiliki terhadap dongeng juga kian
memudar.
Walau di sekolah-sekolah dan di
komunitas masih diajarkan dongeng, tapi lebih bersifat formalitas. Sehingga
generasi sekarang mendengar dongeng bukan karena merasa senang melainkan lebih
karena sebuah kewajiban.
Nah, agar sebuah cerita atau dongeng
tetap menarik bagi generasi masa kini, perlu diadakan inovasi maupun rekreasi.
Dongeng bukanlah sebuah karya ilmiah, jadi boleh melakukan perubahan, adaptasi,
atau dengan sudut pandang baru. Cerita rakyat boleh ditambah, dikurang, diubah,
dibumbu-bumbu, dibalik faktanya dan seterusnya. Cerita Malin Kundang boleh
diubah menjadi yang durhaka bukanlah si anak, melainkan si ibu yang telah lupa pada
anaknya.
Sekian, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!