Cari Blog Ini

Rabu, 02 Oktober 2019

Cerita Rakyat yang Tak Lagi Merakyat


CERITA RAKYAT YANG TAK LAGI MERAKYAT
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Orang-orang yang yang seumuran dengan saya dan generasi sebelumnya, tentu masih ingat betul ketika masa kecil dulu. Masa di mana hanya beberapa orang saja di desa yang sudah memiliki pesawat televisi maupun radio, belum ada koran atau majalah masuk desa, belum banyak buku bacaan, bahkan belum ada handphone/smartphone. Maka, ketika selesai belajar membaca Al Qur’an, ketika sedang duduk-duduk di halaman saat bulan purnama, atau di dipan kayu menjelang tidur; kita sering mendengar cerita atau dongeng dari guru atau orangtua kita.

Adalah sesuatu yang menyenangkan dan mengasikkan saat sedang mendengar dongeng. Ditemani marneng (jagung tua digoreng sangrai), kwaci buah trembesi, atau singkong bakar, kita diajak untuk mengembara ke ruang masa lalu, berimajinasi ke negeri antah-berantah, serta mencoba menemukan berbagai pesan dan hikmah di balik cerita. Ketika kita merasa senang dan menikmati cerita tersebut, maka momen mendapat dongeng adalah sesuatu hal yang sangat ditunggu-tunggu.

Ya, itulah cerita rakyat. Cerita yang beredar luas di kalangan masyarakat kecil (bawah) secara turun-temurun. Cerita rakyat disampaikan dari generasi ke generasi tanpa kita pernah tahu siapa pengarangnya atau siapa yang menceritakan pertama kali. Oleh karena itu, cerita rakyat dikenal sebagai cerita anonim. Karena disampaikan secara lisan, maka dalam perjalanannya cerita rakyat tentu mengalami distorsi. tidak ada cerita rakyat yang original.

Tradisi Lisan ke Tradisi Digital
Berabad-abad lamanya negeri Nusantara mengamalkan tradisi lisan. Sedangkan tradisi tulis belum membudaya. Selain mungkin karena karakter kita yang cenderung lebih ke tradisi tutur, juga pada waktu itu bahan kertas atau media tulis lainnya masih sangat terbatas.

Kelemahan tradisi lisan adalah banyak cerita-cerita yang mengandung nilai sejarah yang tidak terdokumentasi secara tertulis. Sehingga tak jarang kita temui sejarah-sejarah yang ada saat ini masih tak lepas dari pengaruh mitos, legenda, maupun fantasi. Hal ini menyebabkan kita kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar sejarah dan mana yang bukan sejarah,mana yang fakta dan mana yang fiksi. Efek lain dari tradisi lisan yaitu munculnya gosip, rumor, hoaks dan semacamnya, karena orang begitu mudah untuk menambah atau mengurangi sebuah informasi atau cerita, memelintir, bahkan merubahnya sama sekali. Sampai kini pun, budaya gosip dan hoaks masih kental di Indonesia.

Ketika bahan kertas dan media cetak mudah ditemukan, Indonesia tak kunjung memiliki tradisi tulis. Orang-orang yang memiliki minat untuk menulis atau menjadi penulis tetap saja minim. Salah satu faktornya adalah minat baca masyarakat yang masih minim pula. Padahal untuk menjadi seorang penulis syaratnya adalah gemar membaca. Selain memang,profesi sebagai penulis di Indonesia masih dianggap profesi yang kurang bergengsi.

Sekarang eranya adalah teknologi digital. Perubahan terjadi secara cepat dan masif di segala bidang kehidupan. Dampak terbesar dari era digital ini adalah hilangnya tradisi lisan di masyarakat. Tiada lagi cerita, tiada lagi dongeng. Dari segi orang tua atau guru, mereka tak punya waktu lagi untuk bercerita. Sedangkan dari sisi anak, mereka tak lagi tertarik mendengar dongeng, tapi lebih fokus pada gadget. Game maupun cerita-cerita impor lebih menarik bagi mereka daripada mendengar cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Jaka Tingkir, dan sebagainya.

Yang sangat disayangkan di sini adalah ketika masyarakat belum memiliki tradisi tulis, kini telah masuk ke lingkaran tradisi digital. Sehingga dari tradisi lisan langsung meloncat ke tradisi digital. Berbeda halnya yang terjadi di Barat, mereka melewati era secara berurutan, tahap demi tahap. Dimulai dari tradisi lisan, dilanjutkan dengan tradisi tulis, kemudian baru tradisi digital. Yang terjadi adalah banyak masyarakat kita yang menjadi “gaptek”.
Sumber gambar: www.dongengceritarakyat.com 

Cerita Rakyat Kreasi Baru
Banyak di antara cerita-cerita rakyat yang dianggap sudah kuno, tidak menarik, dan tidak relevan lagi, sehingga ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri. Akibatnya, generasi sekarang tak lagi mengenal cerita rakyat, karena memang tidak ada proses pewarisan. Budaya mendongeng sepertinya telah hilang, rasa memiliki terhadap dongeng juga kian memudar.

Walau di sekolah-sekolah dan di komunitas masih diajarkan dongeng, tapi lebih bersifat formalitas. Sehingga generasi sekarang mendengar dongeng bukan karena merasa senang melainkan lebih karena sebuah kewajiban.

Nah, agar sebuah cerita atau dongeng tetap menarik bagi generasi masa kini, perlu diadakan inovasi maupun rekreasi. Dongeng bukanlah sebuah karya ilmiah, jadi boleh melakukan perubahan, adaptasi, atau dengan sudut pandang baru. Cerita rakyat boleh ditambah, dikurang, diubah, dibumbu-bumbu, dibalik faktanya dan seterusnya. Cerita Malin Kundang boleh diubah menjadi yang durhaka bukanlah si anak, melainkan si ibu yang telah lupa pada anaknya.
Sekian, terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!