Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2019

Kemiskinan: Fakta atau Fiksi?

KEMISKINAN: FAKTA ATAU FIKSI

Kemiskinan. Ya, kemiskinan. Kita mungkin sama-sama sependapat bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, atau dalam bahasa yang lebih etis disebut sebagai “pra-sejahtera”. Karena kalau disebut miskin, akan bisa menimbulkan persepsi negatif, dikatakan tidak manusiawi, merendahkan harkat-martabat manusia, dan sebagainya.

Kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah sering mengadakan sensus atau pendataan terkait warga miskin. Pemerintah memiliki kriteria-kriteria atau indikator-indikator untuk menentukan apa dan siapa yang disebut miskin itu. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan kepada mereka dalam bentuk program-program tertentu agar mereka bisa terlepas dari lingkaran kemiskinan dan naik menjadi keluarga sejahtera. Terlebih memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk membantu mereka, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945.

Saat ini, wujud dari program-program pemerintah dalam rangka menangani kemiskinan cukup banyak, di antaranya: Beras Miskin (Raskin) yang kini telah menjadi Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kini telah menjadi Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat Penerima Bantuan Iuran (KIS PBI), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Subsidi Gas dan Listrik, Subsidi Pupuk dan Bibit Tanaman, dan lain-lain.

Sumber gambar: indopos.co.id

Miskin Menurut Agama Islam
Secara eksplisit, kata miskin sering disebut berbarengan dengan kata fuqara (fakir). Disebut orang miskin yaitu mereka yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) secara layak. Sedangkan fakir adalah mereka yang nyaris tak memiliki harta dan masih banyak kekurangan dalam hal memenuhi kebutuhan pokok. Jadi fakir berada di bawah miskin.

Di dalam Islam, yang berkewajiban membantu fakir-miskin adalah orang-orang yang memiliki harta lewat mekanisme zakat. Orang kaya yang hartanya telah mencapai nishab, wajib mengeluarkan zakat untuk disalurkan kepada fakir-miskin. Jika saja setiap orang kaya sadar akan kewajibannya, maka setiap fakir-miskin akan tersantuni dengan baik, tidak ada yang terlantar atau mengalami kelaparan. Selain itu, orang yang tidak kaya pun bisa membantu fakir-miskin lewat jalur infaq dan shadaqah. Jika infaq adalah dalam bentuk mata uang, sedangkan shadaqah bisa berwujud barang, tenaga, atau pemikiran.

Secara akidah, kaya atau miskin tidaklah ada bedanya. Jika diberi kekayaan hendaklah bersyukur, dan jika diberi kekurangan hendaklah bersabar. Itulah ciri utama orang yang beriman. Dalam kondisi apapun (kaya atau miskin) selalu dianggap sebuah kebaikan dan masing-masing memiliki peluang untuk meraih pahala dan ridha dari Allah swt. Sebab di mata Dia, yang diukur bukan kaya atau miskin, melainkan ketakwaannya.

Seperti Apakah Kemiskinan Itu?
Walau kriteria atau indikator miskin dari pemerintah sudah jelas, tapi pada kenyataannya istilah miskin masih menjadi perdebatan yang cukup pelik. Hal ini terkait dengan situasi dan kondisi di lapangan, daerah di mana tinggal, faktor lingkungan dan alam, pandangan hidup, sosial-budaya, sistem kepercayaan, dan sebagainya.

Secara umum terutama di Pulau Jawa, untuk menemukan keluarga yang rumahnya kayu atau bambu dan berlantaikan tanah juga sudah agak susah, karena memang sekarang sudah zamannya rumah semi-permanen atau permanen. Alasannya, kayu sudah agak susah didapat dan harganya  sangat mahal, belum lagi tiap beberapa tahun mesti diganti. Demikian halnya menemukan keluarga yang masih kekurangan makan atau bahkan mengalami kelaparan juga sudah sulit.

Orang yang memiliki rumah semi-permanen dan berada di lingkungan yang mayoritasnya memiliki rumah kayu atau bambu, maka ia disebut orang mampu. Sedangkan orang yang memiliki rumah semi-permanen dan berada di lingkungan yang mayoritasnya memiliki rumah permanen, maka ia disebut orang miskin. Orang memiliki lahan satu hektar di luar Jawa mungkin dianggap miskin, tapi memiliki sawah satu hektar di Jawa bisa dianggap orang kaya.

Ada orang yang rumahnya masih kayu atau bambu, tapi memiliki sawah atau kebun yang luas, ditambah memiliki beberapa ternak, dan memiliki simpanan perhiasan. Sedangkan ada pula yang rumahnya sudah semi-permanen atau bahkan permanen, tapi tak memiliki sawah-kebun atau ternak, kerjanya hanya buruh pabrik dan punya banyak anak yang masih sekolah. Kelihatannya memiliki kendaraan, perabot rumah yang lengkap, padahal itu didapat dengan cara berhutang (kredit).

Ada orang yang sudah mampu dan memiliki kehidupan yang lebih baik, tapi masih iri dengan orang miskin yang mendapat bantuan, dan berkata “kenapa saya tidak ikut dapat bantuan seperti mereka?”. Tak jarang warga yang satu menganggap mampu warga yang lain, demikian sebaliknya. Sama-sama merasa miskin, atau lebih tepatnya memiskinkan diri. Itu lho dia punya sawah luas,kenapa masih dapat bantuan. Di pihak seberang juga berkata, itu lho dia sudah dapat gaji bulanan kenapa menerima bantuan. Masing-masing merasa dirinya miskin dan “menuduh” pihak lain telah mampu. Menjadi tidak jelas lagi, siapa sebenarnya yang miskin siapa yang mampu.

Ahhh… ternyata istilah miskin (termasuk juga kaya) itu hanya prasangka-prasangka.  Miskin hanya sebuah pandangan, persangkaan belaka. Faktor emosional terlibat di sana. Ada kecemburuan sosial. Mereka yang cemburu bukan hanya orang yang benar-benar miskin dan belum dapat bantuan, tapi juga mereka yang sebenarnya sudah mampu, tapi masih mengharap dapat bantuan juga (bermental miskin).

Terlebih lagi jika kita membicarakan tentang kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural, akan lebih rumit dan kompleks lagi. Secara sederhana, kemiskinan kultural disebabkan oleh sikap mental mereka sendiri, seperti malas bekerja, tidak memiliki cita-cita atau tujuan hidup, merasa miskin,pasrah yang berlebihan, keyakinan yang salah dll. Sedangkan kemiskinan struktural lebih diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang membuat warga sulit merubah hidupnya, tidak bisa melawan, tertindas, dikalahkan, dipinggirkan,dll. Untuk hal ini akan dibahas secara khusus dalam tulisan tersendiri.

Penutup
Belum lagi masalah terkait bantuan yang masih belum tepat sasaran, Terkait penerima Manfaat yang memberikan data tidak benar, ditambah pula petugas yang memasukkan data secara tidak jujur. diajukan pada sebuah pertanyaan mendasar yaitu, “Apa dan siapa yang disebut miskin itu?”. Jangan-jangan perihal miskin merupakan sesuatu yang bisa dikarang-karang, layaknya sebuah cerita fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!