Cari Blog Ini

Kamis, 15 Agustus 2019

Asal-Usul Nama Kacangan

KI GITADIPURA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi


Ketika raja Kasunanan Surakarta dijabat oleh Sunan Pakubuwono X, hiduplah seorang kiai yang sangat terkenal namanya, yaitu Kiai Yahya. Kemasyhurannya di kalangan keluarga kerajaan dikarenakan memiliki ilmu agama yang sangat tinggi, pribadi yang jujur, serta memiliki budi pekerti yang mulia. Oleh karena itu, Pakubuwono X mengawinkan kakak perempuannya dengan putra Kiai Yahya yang bernama Ki Gitadipura.

Kepercayaan yang besar dari raja kepada Kiai Yahya mengantarkan Ki Gitadipura diangkat sebagai Bendara Kliwon Kacangan, yang kebetulan pada saat itu jabatan tersebut masih kosong. Pada awalnya, Pakubowono X telah memerintahkan agar Ki Gitadipura berkedudukan di Desa Krajan (Desa Karangmojo, Klego sekarang). Akan tetapi, oleh Kiai Genthong (guru dari Ki Gitadipura) tidak diperbolehkan, tapi harus berkedudukan di desa sebelah timur Desa Sumur Genthong.

Perintah dari sang guru dipatuhinya. Mulailah Ki Gitadipura menjalankan tugas sebagai Kliwon Kacangan, yang cakupan wilayahnya sangatlah luas. Sebelah barat dimulai dari Sungai Boyomoro di Karanggede, sebelah utara hingga perbatasan Juwangi, sebelah timur sampai dengan Sungai Bengawan Solo, dan sebelah selatan sampai di Banyudono.

Ki Gitadipura memiliki watak yang tak jauh berbeda dari ayahnya, yaitu berjiwa besar, bijaksana dalam memimpin, berakhlak mulia, serta senantiasa melakukan riyadlah. Ia memiliki keluarga yang sangat besar, karena beristrikan lima orang. Pada zaman dahulu, lazim seorang keluarga raja beristri banyak.

Ki Gitadipura termasuk orang yang sangat akitf dalam melakukan dakwah Islam. Hal ini telah menjadi agenda utama dalam kepemimpinannya. Jasa-jasa dari Ki Gitadipura dalam menyebarkan agama bisa dilihat sekarang ini. Daerah Kacangan dan sekitarnya menjadi basis kegiatan agama Islam, termasuk banyak pondok pesantren yang berdiri. Cahaya Islam juga mewarnai gerak kehidupan masyarakatnya, dan hampir tidak pernah terjadi kejahatan yang serius di daerah ini.

Selain aktif berdakwah, Ki Gitadipura juga membangun tata ruang daerah Kacangan menjadi lebih baik dan lebih nyaman. Ia merintis pembuatan jalan raya yang tadinya melintas di tengah-tengah Desa Kacangan dengan bentuk agak melegkung, kemudian dibuat lurus seperti yang ada sekarang ini. Hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan pemakai jalan, karena jalan tersebut melewati pasar (pasar Kacangan lama berada di sebelah barat desa). Jalan yang baru ini menerobos komplek pekuburan dan membaginya menjadi dua, sebelah utara menjadi daerah pemukiman (pertokoan sekarang) dan sebelah selatan menjadi Desa Magersari Wetan. Ki Gitadipura pun membangun pondok pesantren dan sampai saat ini masih berjalan.

Pada suatu ketika, pemerintah kolonial Belanda ingin mengusahakan tanah perkebunan. Demi terwujudnya hal itu, Belanda tak segan-segan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Konon, Belanda memiliki pabrik tepung tapioka di Desa Sendang. Pada awalnya, hubungan antara Ki Gitadipura dengan penguasa pabrik tersebut sangatlah baik. Akan tetapi, pada akhirnya jadi merenggang akibat politik adu-domba yang dijalankan oleh kompeni. Sampai-sampai pihak Belanda menghasut keluarga keraton. Beruntung, pihak keraton tidak buru-buru menanggapinya.

Bendara Kliwon Kacangan segera mengambil langkah tegas. Daripada memiliki jabatan yang selalu makan hati dan harus mengalah kepada yang salah, ia sengaja tak pernah hadir pada “pisowanan ageng” di keraton Surakarta. Hal ini dilakukannya untuk mendapat perhatian dari pihak kerajaan.

Sayang sekali, harapan Ki Gitadipura tidak terwujud. Yang terjadi justru sepasukan tentara Belanda mendatangi rumah Ki Gitadipura dan mengusirnya bersama semua keluarganya, tanpa diperbolehkan membawa barang miliknya satupun, kecuali hanya pakaian yang dikenakannya saja (lunga ngadeg). Dengan berat hati, Bendara Kliwon pergi meninggalkan Kacangan dan menetap di daerah Cakran, Surakarta hingga akhir hayatnya.

Sepeninggal Bendara Kliwon Kacangan (1927 M), tempat tinggal beserta pekarangannya dibagi-bagikan kepada penduduk dan akhirnya menjadi tempat yang sangat ramai. Tempat tersebut dinamakan Desa Magersari (artinya: orang yang bertempat tinggal di pekarangan orang lain). sedangkan tempat kedudukan Bendara Kliwon diberi nama Kliwonan (Magersari Kulon).
Setelah adanya pembagian wilayah administrasi, sebelah utara jalan menjadi Desa Kacangan dan sebelah selatan jalan menjadi Desa Mojo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!