MBAH
LOSO, KISAH SI PENJUAL GARAM SEPANJANG HAYAT
Panggilannya
Mbah Loso. Lelaki sepuh yang sudah berumur lebih dari 80 tahun ini masih tampak
sehat dan kuat. Allah swt mengkaruniakan kepadanya umur yang panjang dan juga
kesehatan. Anak-cucunya sangat banyak. Bahkan, cucunya sudah banyak yang
menikah (punya buyut/cicit).
Profesinya
selain bertani adalah penjual garam. Makanya, orang desanya menjulukinya “Mbah
Loso si Bakul Uyah” atau sering disingkat “Mbah Uyah”. Tidak seperti pedagang
lain yang menjual beberapa atau banyak barang dagangan, Mbah Loso hanya menjual
garam saja. Sepekan sekali (menurut hari pasaran Jawa), ia pergi ke pasar
tingkat kecamatan, sekitar dua kilometer
dari rumahnya dengan mengendarai sepeda onthel kunonya. Ia mengayuh sepeda
dengan penuh semangat dan membawa beban yang cukup berat tentunya. Selain di
pasar, ia juga sehari-hari berjualan di rumah sederhananya.
Tempat
kulakan garamnya cukup jauh. Ia naik bis untuk belanja barang dagangannya. Berarti
ia masih kuat untuk bepergian jauh, termasuk berdesak-desakan di bis. Maklum,
di desa bis masih jarang, jadi sering penuhnya, dan kadang sudah tidak mau
menaikkan penumpang lagi karena sudah overload.
Banyak
orang bertanya, kenapa hanya menjual garam saja, berapa sih untungnya?
Pertanyaan lain, mengapa masih menjual garam, padahal ia sudah sangat tua,
apalagi anak-cucunya kebanyakan sudah hidup sukses? Sebuah pertanyaan yang
tidak saja mengusik para tetangga dan masyarakat sekitar, tapi juga bagi
anak-cucunya sendiri.
Menurut
cerita Mbah Loso yang dituturkan kepada penulis, garam telah menjadi bagian
dari seluruh hidupnya. Ia menjual garam bukan terpaksa karena tidak ada kerjaan
lain. Ia menekuni pekerjaan itu dengan sepenuh hati, sepenuh jiwanya. Ia
menjalani profesinya dengan penuh ketekunan, kesabaran, dan istiqamah.
Beratnya
beban garam ketika kulakan, bau asin, hingga untung yang kecil, tak membuat Mbah
Loso bergeming. Semangat untuk mencari rizki yang halal, menafkahi keluarga
besarnya, serta itikad untuk melayani orang lain (pembeli) secara layak;
semuanya telah membuatnya setia kepada garam.
Walaupun
pengetahuan agamanya pas-pasan, ia sangat menyakini bahwa dalam berdagang tidak
boleh menipu, curang, mengurangi timbangan, mengatakan barang yang jelek
disebut baik, mengingkari janji. Termasuk pula harus sabar menghadapi berbagai
karakter pembeli. Jika ada pembeli yang cerewet, banyak maunya, menawar habis;
kata dia kita tidak boleh marah. Tetap layani pembeli dengan baik dan
memperlakukannya dengan baik pula.
“Rejeki
sudah ada yang ngatur”, katanya dengan mantap. Keyakinannya itu benar-benar
terbukti. Anak-cucunya rata-rata hidup sukses dan bahagia. Sedangkan dia
sendiri juga sudah menunaikan rukun Islam kelima.
Walau hanya menjual garam, asal
dijalani dengan benar dan sungguh, rejeki akan datang dengan mudah. Selain itu,
keyakinan bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan hambaNya. Jangan lupa ibadah
dijaga secara istiqamah, termasuk amalan-amalan sunnah, mudah-mudahan rejeki
yang didapat akan barakah, demikian imbuhnya.
Terakhir,
dan ini yang terpenting, menjual garam tidak hanya menjual semata. Akan tetapi,
garam memiliki makna filosofi yang sangat tinggi. Garam adalah kebutuhan pokok
manusia, terutama dalam hal masakan. Tidak ada masakan yang tidak membutuhkan
bumbu garam. Dan bisa kita bayangkan, entah bagaimana rasanya jika suatu
masakan tidak ada garamnya.
Menurut
Mbah Loso, demikian halnya dalam hidup, kita harus bisa berguna (bermanfaat)
bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Hidup tanpa membawa manfaat bagi orang lain
adalah hidup yang sia-sia katanya. Jadilah seperti garam, yang bermanfaat bagi
semua masakan. Pungkasnya mengakhiri perbincangan kami.
Trimanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!