MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?
Oleh: Trimanto Ngaderi*)
Secara dasar, rumah
berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas, hujan, hewan liar, atau orang
jahat. Lebih dari itu, rumah adalah tempat kita melahirkan, membesarkan, dan
mendidik anak-anak kita. Rumah sebagai tempat berkumpul, bercengkerama,
bermain, dan berbagai aktivitas keluarga lainnya. Rumah juga kita fungsikan
sebagai tempat berkumpul dengan sanak-saudara, famili, atau keluarga dekat
untuk membangun silaturrahmi, komunikasi, keakraban, kasih-sayang dan
sebagainya.
Namun, seiring dengan
perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bersifat pribadi. Bahkan, tidak
sedikit yang menganggap rumah sebagai benar-benar milik pribadi. Hal ini tampak
pada kecenderungan orang sekarang dalam membangun sebuah rumah. Depan rumah
atau beranda dipagar tinggi, dinding paling atas diberi beling atau kawat
berduri, jika perlu ada anjing penunggu pintu gerbang dan juga satpam pribadi.
Dan untuk memanggil yang empunya rumah harus dengan bel, bukan dengan salam atau
panggilan suara khas kita.
Apakah hal tersebut
semata-mata hanya untuk alasan keamanan semata? Memang seberapa banyak
harta-benda yang ada di dalamnya? Seberapa terancamkah para penghuni rumah
tersebut? Atau malah menunjukkan sifat penghuninya yang individualis atau
antisosial?
Lalu, bagaimana dengan
para tetangga atau orang lainnya yang hendak berkunjung ke rumah dengan desain
seperti di atas? Tentu ada yang merasa takut (terutama dengan anjing galaknya),
merasa segan, malu, tidak enak, ragu dan sebagainya. Paling banter, orang yang
mau datang ke rumah tersebut hanya orang-orang yang benar-benar ada keperluan
dengan si penghuni rumah, itu pun sebagian dari mereka mungkin merasa terpaksa
untuk masuk ke rumah tersebut.
Rumah-rumah di Desa
Fenomena membangun
rumah seperti tersebut di atas ternyata tidak saja melanda di daerah perkotaan,
di pedesaan pun kecenderungan tersebut mulai ada. Dengan meningkatnya taraf
ekonomi masyarakat pedesaan atau keberhasilan mereka di daerah perantauan, mereka
pun membangun rumah di pedesaan dengan dipagar tinggi atau tembok yang ada
belingnya.
Rumah desa pada zaman dulu
besar-besar dan luas. Selain memang bisa untuk menampung hasil panen, ruangan
tengah sengaja dibuat sangat lebar (luas) agar bisa dipakai untuk acara dalam
skala besar, seperti selamatan, kenduri, acara kegamaan, kumpulan, hingga acara
khitanan dan pernikahan.
Para sanak saudara dan
tetangga pun masih sering berkumpul di serambi atau ruang tengah, sekedar untuk
ngobrol sembari menikmati teh atau ubi rebus. Tak jarang, salah seorang di
antara mereka mendongeng atau bercerita. Tampak suasana yang akrab, rukun dan santai.
Bahkan, ada yang sudah menganggap rumah saudara atau tetangga sebagai rumah
sendiri. Mereka sering menginap atau menjaga rumahnya ketika ditinggal pergi.
Lebih dari itu, malah
ada yang memfungsikan rumahnya sebagai sarana aktivitas sosial. Misalnya,
tempat belajar membaca Al Qur’an, belajar kerajinan, belajar seni, tempat
diskusi atau rembug desa. Orang-orang yang rumahnya berfungsi sosial, rela jika
rumahnya menjadi kotor, suara berisik, istirahatnya jadi terganggu, atau harus
menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya.
Bagaimanakah dengan rumah kita?
Mungkin suasana rumah
yang terbuka, saling kumpul, saling bertandang, dan rumah yang berfungsi sosial
sudah jarang kita temui sekarang ini; kecuali di daerah pedesaan yang masih
amat terpencil dan pelosok.
Melihat kondisi
seperti di atas, kita tidak bisa menyalahkan perkembangan zaman atau
peningkatan taraf ekonomi semata. Kita, para manusia sebagai pemilik rumah pun
punya andil terhadap perubahan tersebut. Pertama,
sifat individualis. Kita merasa bahwa rumah kita adalah benar-benar milik kita
pribadi. Milik privat. Kita kurang suka jika ada yang datang, apalagi hanya
sekedar untuk silaturrahmi atau ngobrol, tidak ada keperluan tertentu. atau
kita hanya menemui tamu kita di depan atau beranda rumah. Atau kita tahu jika
di beranda rumah kita ada yang berteduh karena kehujanan, tapi kita enggan
untuk mengajaknya masuk ke rumah.
Kedua, berorientasi pada materi. Kita lebih suka menjadikan ruang tamu atau
ruang depan sebagai kios, toko, atau tempat usaha; atau menyewakan kamar atau
rumah kosong kita kepada orang lain, daripada memberikan kepada saudara kita
yang belum punya rumah. Kita juga sering menolak jika ada pengemis atau peminta
sumbangan yang datang ke rumah kita. Apalagi jika rumah kita difungsikan secara
sosial, tentu akan dianggap merugikan atau tidak memberikan keuntungan materi.
Ketiga, rumah dianggap sebagai tempat tinggal semata. Walaupun rumahnya bagus
dan besar, megah dan mewah, lengkap dengan sarana seperti taman, kolam renang,
kebun dan sebagainya; rumah tak lebih dari sekedar tempat istirahat, tempat
berteduh, tempat eksistensi dan status sosial, tempat mampir kalau kita sangat
sibuk di luar. Rumah belum bisa berfungsi sebagai tempat berkumpul dan menjalin
kebersamaan, media pendidikan dan pembelajaran, apalagi sebagai ruang sosial
yang bermanfaat bagi orang banyak.
Fungsi rumah dulu dan
sekarang sudah mengalami banyak pergeseran. Banyak yang telah hilang dan
berubah dari keberadaan rumah kita. Dan jika sekarang masih ada rumah yang
berfungsi sosial, itu suatu hal yang patut dibanggakan. Rumah yang bisa memberi
makan orang yang lapar, memberi ilmu bagi orang yang bodoh, tempat melatih
keterampilan, tempat yang nyaman dan damai bagi yang sedang punya masalah. Semoga
rumah kita termasuk dalam kategori ini. Amin.
*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar
Pena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!