Cari Blog Ini

Selasa, 11 Juni 2013

MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?



MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Secara dasar, rumah berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas, hujan, hewan liar, atau orang jahat. Lebih dari itu, rumah adalah tempat kita melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak kita. Rumah sebagai tempat berkumpul, bercengkerama, bermain, dan berbagai aktivitas keluarga lainnya. Rumah juga kita fungsikan sebagai tempat berkumpul dengan sanak-saudara, famili, atau keluarga dekat untuk membangun silaturrahmi, komunikasi, keakraban, kasih-sayang dan sebagainya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bersifat pribadi. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap rumah sebagai benar-benar milik pribadi. Hal ini tampak pada kecenderungan orang sekarang dalam membangun sebuah rumah. Depan rumah atau beranda dipagar tinggi, dinding paling atas diberi beling atau kawat berduri, jika perlu ada anjing penunggu pintu gerbang dan juga satpam pribadi. Dan untuk memanggil yang empunya rumah harus dengan bel, bukan dengan salam atau panggilan suara khas kita.

Apakah hal tersebut semata-mata hanya untuk alasan keamanan semata? Memang seberapa banyak harta-benda yang ada di dalamnya? Seberapa terancamkah para penghuni rumah tersebut? Atau malah menunjukkan sifat penghuninya yang individualis atau antisosial?

Lalu, bagaimana dengan para tetangga atau orang lainnya yang hendak berkunjung ke rumah dengan desain seperti di atas? Tentu ada yang merasa takut (terutama dengan anjing galaknya), merasa segan, malu, tidak enak, ragu dan sebagainya. Paling banter, orang yang mau datang ke rumah tersebut hanya orang-orang yang benar-benar ada keperluan dengan si penghuni rumah, itu pun sebagian dari mereka mungkin merasa terpaksa untuk masuk ke rumah tersebut.

Rumah-rumah di Desa
Fenomena membangun rumah seperti tersebut di atas ternyata tidak saja melanda di daerah perkotaan, di pedesaan pun kecenderungan tersebut mulai ada. Dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat pedesaan atau keberhasilan mereka di daerah perantauan, mereka pun membangun rumah di pedesaan dengan dipagar tinggi atau tembok yang ada belingnya.

Rumah desa pada zaman dulu besar-besar dan luas. Selain memang bisa untuk menampung hasil panen, ruangan tengah sengaja dibuat sangat lebar (luas) agar bisa dipakai untuk acara dalam skala besar, seperti selamatan, kenduri, acara kegamaan, kumpulan, hingga acara khitanan dan pernikahan.

Para sanak saudara dan tetangga pun masih sering berkumpul di serambi atau ruang tengah, sekedar untuk ngobrol sembari menikmati teh atau ubi rebus. Tak jarang, salah seorang di antara mereka mendongeng atau bercerita. Tampak suasana yang akrab, rukun dan santai. Bahkan, ada yang sudah menganggap rumah saudara atau tetangga sebagai rumah sendiri. Mereka sering menginap atau menjaga rumahnya ketika ditinggal pergi.

Lebih dari itu, malah ada yang memfungsikan rumahnya sebagai sarana aktivitas sosial. Misalnya, tempat belajar membaca Al Qur’an, belajar kerajinan, belajar seni, tempat diskusi atau rembug desa. Orang-orang yang rumahnya berfungsi sosial, rela jika rumahnya menjadi kotor, suara berisik, istirahatnya jadi terganggu, atau harus menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya.

Bagaimanakah dengan rumah kita?
Mungkin suasana rumah yang terbuka, saling kumpul, saling bertandang, dan rumah yang berfungsi sosial sudah jarang kita temui sekarang ini; kecuali di daerah pedesaan yang masih amat terpencil dan pelosok.

Melihat kondisi seperti di atas, kita tidak bisa menyalahkan perkembangan zaman atau peningkatan taraf ekonomi semata. Kita, para manusia sebagai pemilik rumah pun punya andil terhadap perubahan tersebut. Pertama, sifat individualis. Kita merasa bahwa rumah kita adalah benar-benar milik kita pribadi. Milik privat. Kita kurang suka jika ada yang datang, apalagi hanya sekedar untuk silaturrahmi atau ngobrol, tidak ada keperluan tertentu. atau kita hanya menemui tamu kita di depan atau beranda rumah. Atau kita tahu jika di beranda rumah kita ada yang berteduh karena kehujanan, tapi kita enggan untuk mengajaknya masuk ke rumah.    

Kedua, berorientasi pada materi. Kita lebih suka menjadikan ruang tamu atau ruang depan sebagai kios, toko, atau tempat usaha; atau menyewakan kamar atau rumah kosong kita kepada orang lain, daripada memberikan kepada saudara kita yang belum punya rumah. Kita juga sering menolak jika ada pengemis atau peminta sumbangan yang datang ke rumah kita. Apalagi jika rumah kita difungsikan secara sosial, tentu akan dianggap merugikan atau tidak memberikan keuntungan materi.

Ketiga, rumah dianggap sebagai tempat tinggal semata. Walaupun rumahnya bagus dan besar, megah dan mewah, lengkap dengan sarana seperti taman, kolam renang, kebun dan sebagainya; rumah tak lebih dari sekedar tempat istirahat, tempat berteduh, tempat eksistensi dan status sosial, tempat mampir kalau kita sangat sibuk di luar. Rumah belum bisa berfungsi sebagai tempat berkumpul dan menjalin kebersamaan, media pendidikan dan pembelajaran, apalagi sebagai ruang sosial yang bermanfaat bagi orang banyak.

Fungsi rumah dulu dan sekarang sudah mengalami banyak pergeseran. Banyak yang telah hilang dan berubah dari keberadaan rumah kita. Dan jika sekarang masih ada rumah yang berfungsi sosial, itu suatu hal yang patut dibanggakan. Rumah yang bisa memberi makan orang yang lapar, memberi ilmu bagi orang yang bodoh, tempat melatih keterampilan, tempat yang nyaman dan damai bagi yang sedang punya masalah. Semoga rumah kita termasuk dalam kategori ini. Amin.

*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar Pena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!