Cari Blog Ini

Senin, 26 Agustus 2024

Malaysia Seri 10 Tidak Ada Tiang Listrik dan Tiang Telepon

MALAYSIA SERI 10 TIDAK ADA TIANG LISTRIK DAN TIANG TELEPON

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Selain jalanan di Malaysia minim reklame (sebagaimana telah saya bahas di Seri 9), juga hampir tidak ada tiang listrik maupun tiang telepon.  Di kanan-kiri jalan tampak bersih dan rapi. Gedung-gedung, komplek rukan dan ruko, maupun perumahan penduduk tampak jelas terlihat tanpa terhalang oleh tiang-tiang maupun kabel-kabel. Ada sih tiang listrik atau tiang lampu yang saya jumpai di beberapa tempat, tapi sangat jarang.

Itu yang saya lihat di tiga kota besar yang saya kunjungi, yaitu Kuala Lumpur, Malaka, dan Johor Bahru. Sedangkan di daerah perdesaan, saya masih melihat tiang-tiang listrik di pinggir jalan, terutama dari Kuala Lumpur menuju perbatasan dengan Thailand.

Sudah tiang-tiang telepon tidak ada, tower-tower operator seluler pun saya juga tidak melihatnya. Padahal, secara umum negara Malaysia didominasi oleh dataran tinggi (pegunungan), pun saya tak melihat tower di atas gunung.

Sangat Berbeda dengan Indonesia

Di kota-kota besar di Indonesia terutama Jakarta, kanan-kiri jalan akan dipenuhi pemandangan penuh sesaknya tiang-tiang listrik, tiang Lampu Penerangan Jalan (LPJ), dan tiang-tiang telepon/internet. Kabel-kabelnya yang berseleweran sampai menutupi gedung-gedung, rukan, ruko, maupun perumahan warga.

Terlebih tiang-tiang internet yang sekarang banyak pemain (dari swasta). Terkadang satu titik diisi 3-5 tiang. Belum lagi kabelnya yang tidak tertata rapi dan terlihat sangat mengganggu. Belum lagi dari tiang-tiang itu, kabel dihubungkan ke gedung-gedung, rukan, ruko, maupun perumahan warga, termasuk disambungkan ke gang-gang kecil.

Tower-tower juga bertebaran di mana-mana dalam jarak tertentu. Hal ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, melainkan hingga ke kota kecil  tingkat kecamatan. Di setiap kota kecamatan biasanya ada 3 hingga 5 tower sesuai dengan jumlah operator seluler yang ada di Indonesia. Selain di kota kecamatan, di pelosok desa pun juga didirikan tower lagi, yang desa tersebut jaraknya agak jauh dari ibukota kecamatan.

Hingga akhirnya muncul kekhawatiran Indonesia bakal menjadi hutan tower, karena di setiap tempat didirikan beberapa tower sekaligus. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, kemudian pemerintah membuat kebijakan satu tower dipakai bersama. Tidak perlu satu operator seluler mendirikan satu tower tersendiri. Kebijakan ini pula membawa manfaat terhadap penghematan anggaran (biaya peralatan tower dan biaya sewa lahan).

Berbeda Lagi di Thailand

Kondisinya lebih parah lagi di negara Thailand, terutama di Provinsi Songkhla yang pernah saya kunjungi. Kabel-kabelnya amat sangat banyak, ruwet, dan semrawut. Bahkan, sebagian lagi ada yang sampai berseleweran di sekitar tiang maupun di pinggir-pinggir jalan, mengganggu pejalan kaki. Saya tidak bisa membayangkan jika kabel tersebut tanpa sengaja tersenggol atau terpegang oleh seseorang.

Benar-benar ruwet dan semrawut. Lebih jelasnya bisa dilihat pada foto berikut.

 

                                        Sumber: akun FB Badminton Wonder Fans


                                                Sumber: https://wowkeren.com


*****

Kalau di Malaysia kita nyaris tidak melihat tiang listrik maupun tiang telepon/internet, di sana sepertinya memakai kabel tanam. Berarti boleh dikata, teknologi mereka sudah selangkah lebih maju dari kita. Di Indonesia, boro-boro mau menerapkan sistem kabel tanam, wong jalan saja kadang sudah tak tersisa lagi buat pejalan kaki. Mau membangun trotoar sudah tak memungkinkan lagi, apalagi mau membangun instalasi kabel tanam.

Kabel tanam baru bisa diterapkan untuk kota-kota baru hasil pemekaran, termasuk di Ibukota Nusantara (IKN).

 


Selasa, 20 Agustus 2024

Malaysia Seri 9 Minim Reklame di Jalan-Jalan

 

MALAYSIA SERI 9 MINIM REKLAME DI JALAN-JALAN

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

 

Apabila kita berjalan-jalan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, kita akan melihat reklame (papan iklan) di kanan-kiri jalan. Terlebih di tempat-tempat strategis seperti jalan protokol, jalan tol, perempatan jalan, jembatan, atau ruang publik lainnya. Seakan-akan jalanan penuh sesak dengan reklame. Bahkan, reklame yang ukurannya sangat besar terkadang menutupi gedung, rumah, atau ruang terbuka hijau.

Belum lagi kalau sedang musim Pilpres maupun Pilkada, kanan-kiri jalan tampak semrawut. Para Timses memasang atribut kampanye dalam berbagai bentuk. Ada yang berupa reklame, banner, umbul-umbul, stiker, pamflet, dan sebagainya. Mereka menempel pamflet atau stiker di tembok, tiang listrik/telepon, jembatan, bahkan di angkutan umum.


                                            Sumber gambar https://tripadvisor.co.id

Kota-Kota di Malaysia

Dalam pengamatan saya selama di Malaysia, terutama di Kuala Lumpur, Malaka, dan Johor Baru, saya jarang sekali menemukan media reklame di pinggir jalan. Kanan-kiri jalan tampak bersih dan rapi. Ada sih reklame di pinggir jalan, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itupun penempatannya di lokasi yang tepat, sehingga tidak sampai mengganggu pemandangan.

Demikian halnya di jalan tol, nyaris tak ada reklame. Justru mata kita disuguhi oleh pemandangan kebun kelapa sawit di kanan-kiri jalan.

Apakah memang perusahaan-perusahaan di Malaysia tidak suka memasang iklan dengan media reklame, atau karena pemerintah menerapkan kebijakan yang sangat ketat terkait pemasangan iklan di jalan raya, entah itu terkait dengan perizinan atau besarnya biaya sewa/biaya pemasangan. Atau mereka lebih suka beriklan di media elektronik maupun media iklan. Saya tidak tahu persis.

Sudah papan reklame amat sedikit, jalanan di Malaysia juga jarang sekali terjadi kemacetan. Bahkan, volume sepeda motor di jalanan juga amat kecil. Orang Malaysia sepertinya kurang suka memakai sepeda motor, sehingga jarang kita menemukan sepeda motor berlalu-lalang di jalan. Apakah karena pengguna sepeda motor sedikit, sehingga di Malaysia sepeda motor diperbolehkan masuk di semua jalan tol yang ada di negara itu.

Bisa jadi benar apa kata para analis pemasaran bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat potensial di dunia. Selain memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, secara psikologis orang Indonesia memiliki gengsi yang tinggi dan suka dengan gaya hidup yang “wah”. Termasuk gampang tergoda dengan iklan. Thus, para perusahaan juga berani jor-joran dalam mengeluarkan anggaran periklanan.

(Seri berikutnya adalah Malaysia minim tiang listrik maupun tiang telepon)

Sabtu, 17 Agustus 2024

Malaysia Seri 8 Takmir Masjid Bergaji 7 Juta Rupiah

 

MALAYSIA SERI 8 TAKMIR MASJID BERGAJI 7 JUTA

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Salah satu agenda kami selama di Malaysia adalah mengunjungi ibukota pemerintahan negara ini, yaitu Putrajaya. Berada di sebelah selatan Kuala Lumpur, berjarak sekitar 36 KM (2 jam perjalanan). Kosa kata putra dan jaya sudah tidak asing lagi di Indonesia, sehingga kami cukup mudah untuk mengingatnya. Entah mengapa, di Malaysia banyak sekali nama-nama tempat atau gedung yang memakai kosa kata “putra”, “jaya”, termasuk kata “sentosa”.

Putrajaya hanyalah ibukota pemerintahan, sedangkan ibukota negara tetap Kuala Lumpur. Semua kantor pemerintahan berada di Putrajaya. Disediakan pula semacam apartemen untuk tempat tinggal para pegawai pemerintah dengan sistem sewa. Jadi, apabila ada pegawai yang tinggal di luar Putrajaya, tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk sampai di kantor. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi volume kendaraan dan kemacetan. Oleh karena itu, pemerintah menyediakan sistem angkutan umum yang terintegrasi.  



Masjid Putrajaya

Di Putrajaya, kami mengunjungi Putra Square yang merupakan pusat ibukota. Di kawasan ini terdapat Masjid Putra (di Jakarta setara dengan Istiqlal). Salah satu kawan kami sempat mampir ke masjid tersebut dan ngobrol dengan pengurus masjid (takmir).

Salah satu informasi yang kami dapatkan adalah bahwa dia mendapatkan gaji sebesar Rp 7 juta per bulan. Wow… jumlah yang lumayan besar (2x lipat lebih dari gaji saya sebagai pegawai pemerintah).

“Hebat sekali pemerintah Malaysia sampai menggaji takmir masjid sebesar itu”, pikir saya waktu itu. “Mereka benar-benar memberi perhatian yang serius terhadap kesejahteraan pengurus masjid”.

Apakah gaji sebesar itu hanya untuk tugas mengimami shalat wajib dan mengurusi berbagai kegiatan keagamaan di masjid itu, atau termasuk tugas dalam hal menjaga kebersihan dan kerapian masjid.

Pertanyaan berikutnya, apakah yang mendapat gaji itu hanya masjid milik pemerintah atau semua masjid yang ada di Malaysia. Atau apakah ini hanya berlaku di ibukota negara dan kota-kota besar saja, atau mencakup seluruh wilayah negara. Perlu digali lagi informasi detailnya. Sayang sekali, karena saya bukan yang ngobrol dengan dia.

Bahkan, ketika saya Googling, pada Ramadhan tahun kemarin, imam shalat Tarawih mendapat gaji sebesar Rp 19 juta. Amazing!

Kondisi di Indonesia

Secara umum, takmir masjid di Indonesia baik itu imam shalat, muadzin, maupun marbot tidak mendapat gaji secara khusus. Kecuali masjid-masjid yang berada di kota-kota besar, dan itupun masih terbatas pada masjid-masjid tertentu. Untuk daerah perdesaan, biasanya yang mendapat gaji adalah petugas kebersihan (marbot), itupun nilainya tak seberapa, sangat kecil.

Menurut saya, meskipun imam dan muadzin tidak digaji, minimal seorang petugas kebersihan mendapatkan gaji yang layak, syukur-syukur setara dengan UMR. Kalau hanya digaji sekedarnya, mereka pun bekerja sekedarnya. Misal, mereka hanya membersihkan masjid seminggu sekali, yaitu menjelang shalat Jum’at. Ditambah kalau ada acara-acara tertentu, seperti pengajian akbar atau shalat hari raya.

Wajar apabila kita menjumpai kebanyakan masjid di Indonesia terutama di toilet terlihat kotor dan bau. Jamaah setempat saja merasa tidak nyaman, apalagi musafir yang kebetulan singgah di masjid itu. Hal ini sangat kontras dengan ajaran Islam itu sendiri yang sangat mengutamakan kebersihan.

Kalau marbot digaji secara layak, ia diminta untuk membersihkan seluruh komplek masjid termasuk toilet secara rutin setiap hari. Tidak hanya satu atau dua kali dalam seminggu sebagaimana yang selama ini terjadi. Jika ia sudah menerima gaji yang layak tapi masih bekerja seenaknya, ya lebih baik digantikan dengan orang lain yang siap bekerja dengan penuh tanggung jawab.

(Masak, toilet masjid yang dipakai untuk beribadah menghadap Tuhan kalah dengan toilet di hotel yang super bersih, wangi, dan rapi).

 

Nantikan cerita-cerita seru saya di seri berikutnya ya! See you again

Selasa, 13 Agustus 2024

Mari Bergabung di Tour Aksara 2025 Tujuan 3 Negara ASEAN

 Dalam rangka menyukseskan program pengembangan literasi sekolah secara berkelanjutan serta memberi mewujudkan praktik pembelajaran literasi internasional, Forum Indonesia Menulis menyelenggarakan program TourAksara Asia Tiga Negara Tahun 2025.

 


Program ini diselenggarakan dengan rangkaian kegiatan meliputi Tour Literasi di Malaysia: berkunjung ke tempat-tempat menarik dan informatif, sekolah Indonesia luar negeri, Universitas terbaik, dan beberapa tempat edukatif yang kaya informasi. Tour Literasi di Singapura: menyaksikan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta praktik-praktik disiplin yang wajib diduplikasi. Tour Literasi di Thailand: mengunjungi tempat-tempat yang kaya akan wawasan literasi sejarah dan budaya. Fasilitas dan Iuaran dari program ini direncanakan sebagai berikut:

 

A.  Fasilitas Peserta TourAksara  

1.    Mendapatkan pelatihan literasi pra TourAksara

2.    Kaos Ekslusif Program

3.    Tour ke 3 negara dengan fasilitas All in + belajar perkembangan literasi, ilmu pengetahuan

4.    Pelatihan pasca Tour

5.    Buku

6.    E-Sertifikat peserta TourAksara

7.    E-Sertifikat Penulis

 

B.  Fasilitas untuk Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Ketua Yayasan, Ketua Komunitas, dll jika melibatkan minimal 40 peserta

1.    Gratis tour 3 negara

2.    Kaos ekslusif Program

3.    Free buku jika mengikuti praktik kepenulisan

4.    Uang tunai Rp 5.000.000

5.    Piagam penghargaan Anugerah Literasi Internasional Kategori Pejabat Publik


Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi di 0817-6041-817 (Konsultan Program).

Rabu, 31 Juli 2024

Malaysia Seri 7 Diusir Pedagang India

 

MALAYSIA SERI 7 DIUSIR PEDAGANG INDIA

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Mumpung pergi ke luar negeri, maunya sih ingin memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Namun apalah daya. Kegiatannya amat sangat padat. Dimulai dari usai shalat Subuh, langsung sarapan pagi, kemudian dilanjutkan dengan agenda yang sudah terjadwal. Pulang sudah hampir tengah malam sekitar jam 10-11 malam.

Nyaris tak ada waktu tersisa. Ingin sekali jalan-jalan menikmati suasana malam di kota Kuala Lumpur, Malaka, dan Johor Bahru. Tahu sendirilah, sepanjang hari hingga malam berkegiatan dan menempuh perjalanan jauh via darat tentu sangatlah capek. Pinginnya cepat-cepat beristirahat (tidur). Jangankan jalan-jalan, terkadang mau mandi pun rasanya malas, walau badan kotor dan bau keringat.

 

Jalan-jalan Pagi

Walaupun usai shalat Subuh diminta langsung menuju tempat sarapan, suatu pagi aku menyempatkan diri jalan-jalan di sekitar hotel. Menikmati suasana jalan raya sembari melihat gedung-gedung pencakar langit dan orang-orang yang berlalu lalang.

Sepagi itu, toko-toko banyak yang masih tutup. Hanya ada beberapa warung makan yang sudah buka. Hingga aku menemukan sebuah toko kelontong kecil yang di depannya menjual surat kabar. Aku tertarik dan mendatangi tersebut. Penasaran juga dengan koran di Malaysia itu seperti apa. “Biar pun agak mahal, biarlah akan aku beli” batinku sembari melangkahkan kaki menuju tempat koran dipajang. Secara aku memang suka membaca.

Sekilas aku melihat koran dalam bahasa Melayu, Inggris, dan India. Aku makin penasaran dan memegang-megang koran tersebut untuk melihat apa isi beritanya.

Baru beberapa detik menyentuh koran, si pedagang yang berperawakan India keluar dari toko dan berkata, “Mau beli apa?” tanyanya terkesan ketus dan tanpa senyuman.

“Saya lihat-lihat dulu ya”, jawabku singkat.

“Kalau tidak beli, tidak boleh dipegang-pegang!” serunya dengan nada mengusir.

“Hah…???”

Spontan aku terkejut. Membelalakkan mata dan mulut terbuka. Hampir saja koran yang aku pegang terjatuh dari genggaman.

Tanpa berpikir panjang, aku meminta maaf dan bergegas pergi.

 

                                            sumber gambar https://titipku.com

Di Mana Customer Satisfaction?

Namanya pedagang, setahu saya akan berusaha bagaimana calon pelanggan mau membeli dagangan kita. Sebisa mungkin kita bersikap ramah, murah senyum, proaktif, dan melayani dengan sepenuh hati. Termasuk berusaha meyakinkan calon customer agar mengambil keputusan untuk membeli produk kita. Akan lebih baik lagi jika kita dapat membuat pelanggan kita merasa puas baik dengan produk yang ia beli maupun dengan pelayanan yang kita berikan, sehingga ia akan datang dan membeli lagi (repeat order).

Makanya, kalau punya karakter yang tidak ramah, susah tersenyum, dan tidak bisa melayani; sebaiknya lupakan untuk menjadi pedagang. Orang seperti ini cocoknya menjadi TNI, polisi, atau satpam, hehe…

Habis bukannya membuat orang tertarik dan mendekat, malah pergi ketakutan. Bahkan trauma.


(Tunggu seri berikutnya ya...)

Sabtu, 27 Juli 2024

Malaysia Seri 6 Pekerja Migran Asia Selatan

 MALAYSIA SERI 6 BURUH MIGRAN ASIA SELATAN

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Ketika turun dari pesawat dan masuk di Kuala Lumpur International Airport, aku terkejut melihat cukup banyak pekerja migran dari Asia Selatan yang bekerja di bandara tersibuk ke-14 di dunia ini. Asia Selatan di sini adalah India, Bangladesh, Sri Langka, dan Pakistan. Mereka kebanyakan menempati posisi satpam, petugas penjaga, petugas kebersihan, pelayan restoran atau toko, dan lain-lain.

Aku sempat bertanya ke beberapa petugas. Sayang sekali, sebagian dari mereka malah belum bisa berbahasa Melayu. “Please in English” kata dia. Kalau aku diajak ngobrol pakai bahasa Inggris sih, It’s okay. By the way, kalau orang India atau Malaysia pada pinter bahasa Inggris, aku sih nggak heran. Secara keduanya dulu bekas koloni Inggris gitu loh!

Persoalannya, orang yang aku ajak bicara itu ternyata bahasa Inggris-nya pas-pasan. Aku coba ajak bicara dengan bahasa Inggris tetap nggak nyambung dech. “Ah! Mending tanya ke petugas orang Malaysia sajalah”, pikirku saat itu.



Mencapai 6,8%

Setelah beberapa hari berkeliling di negara Malaysia, ternyata populasi orang Asia Selatan (terutama India) cukup besar. Menurut Wikipedia, mencapai 6,8% (2022). Saya melihat mereka menjadi pelayan, sopir, karyawan, dll. Termasuk di jalanan, mereka terlihat banyak berlalu-lalang.

Sebagian mereka sudah menetap lama di Malaysia dan menjadi warga negara, karena menikah dengan orang pribumi atau memang lahir dan besar di sini. Sebagian lagi mereka berstatus sebagai pekerja migran dan hanya tinggal sementara sesuai dengan jangka waktu kontrak kerja.

Menurut salah satu sumber, konon orang pribumi tidak suka bekerja kasar (buruh). Mereka lebih suka bekerja di kantor atau menjadi pegawai pemerintah. Orang Jawa menyebutnya “mriyayi” atau cenderung ke pekerjaan halus. Itulah sebabnya, negara Malaysia senang mengimpor tenaga kerja dari Asia Selatan (terutama India) maupun sesama Asia Tenggara (terutama dari Indonesia dan Filipina).

Sumber yang sama juga mengatakan bahwa orang-orang Asia Selatan, secara status sosial menempati kelas ketiga alias “kasta terendah”. Kelas kedua adalah ketunan China sebagai kaum pedagang dan pebisnis. Sedangkan kelas pertama sudah barang tentu orang pribumi.

Banyak simbol dan ikon orang India di Malaysia. Kita dapat menemukan bangunan tempat-tempat ibadah mereka, komplek permakaman, termasuk destinasi wisata Batu Cave yang kita kunjungi juga adalah tempat ibadah mereka. Souvenir yang mereka jual pun berbau khas agama mereka, seperti patung, aksesoris, hiasan rumah, kerajinan, dan sebagainya.

Ngomong-ngomong, hebat ya Malaysia itu, untuk urusan tenaga kerja saja sampai mendatangkan pekerja dari luar negeri. Kalau Indonesia sih boro-boro mendatangkan pekerja asing, kita lebih suka mencari pekerjaan ke luar negeri. Menjadi pekerja migran (dulu disebut TKI/TKW) ke Hongkong, Taiwan, Arab Saudi atau negara Timur Tengah lainnya. Kalau sekarang banyak yang pergi ke Jepang dan Korea Selatan.

Maklumlah, Malaysia menduduki peringkat kedua di Asia Tenggara setelah Singapura.

Lalu, bagaimana dengan karakter orang-orang Asia Selatan?



Simak tulisanku di seri berikutnya dengan judul “Diusir oleh Pedagang India”

 

 

 

Jumat, 26 Juli 2024

Malaysia Seri 5 Toko Robot

 

MALAYSIA SERI 5 TOKO ROBOT

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Umumnya tempat-tempat wisata Di Indonesia dipenuhi oleh para pedagang kaki lima. Mereka menjajakan barang dagangan di kanan-kiri jalan, sehingga tak jarang mengganggu wisatawan yang sedang lewat atau berjalan kaki. Dan sudah kita maklumi Bersama bahwa harga di tempat wisata cukup mahal, bias 2-3x lipat dari harga normal.

Berbeda dengan di Malaysia.

Secara umum, destinasi wisata di sana nyaris tidak ada pedagang kaki lima-nya. Aku memang sempat menemukan beberapa pedagang kaki lima dan bisa dihitung dengan jari. Makanya, kalau kita jalan-jalan di tempat-tempat wisata akan merasa aman dan nyaman. Ditambah lagi jalannya yang lebar dan kondisi lingkungan sekitar yang bersih dan rapi.

Kalau nyaris tidak ada pedagang kaki lima, lantas bagaimana kalau pingin jajan?

                                            Toko Robot di kawasan Red Square Malaka


Toko Tanpa Pelayan

Sebagai penggantinya, di tempat-tempat wisata disediakan “Toko Robot”, saya menyebutnya demikian. Toko yang menjual aneka minuman dan snack. Kita tidak perlu membeli atau menukar koin terlebih dahulu. Kita cukup memasukkan uang kertas Ringgit. Kemudian di layar, kita tinggal memilih produk yang kita inginkan. Barang yang kita beli akan keluar di bagian bawah, termasuk keluar pula uang kembalian jika yang kita masukkan bukan uang pas.

Toko Robot seperti itu tidak hanya ada di destinasi wisata saja, di tempat-tempat lain pun banyak aku jumpai, termasuk di masjid-masjid.

Di Indonesia, Toko Robot juga sudah ada di tempat-tempat seperti stasiun, mal, bandara, atau ruang publik lainnya. Cuma belum sebanyak di Malaysia. Dan setahuku, kita mesti menukar koin terlebih dahulu, tidak bisa langsung memasukkan uang kertas Rupiah. Dengan demikian, Malaysia sudah selangkah lebih maju dari kita.

Toko Robot memang sangat canggih. Kecerdasan buatan (artificial intelligence) memang telah memberi berbagai kemudahan kepada manusia. Akan tetapi, namanya juga teknologi tetap memiliki sisi kelemahan. Misalnya saja, bagaimana jika bagaimana jika barang yang kita beli tidak bisa keluar; bagaimana jika uang kembalian tidak bisa keluar; bagaimana kalau uang kertas yang kita masukkan tidak terbaca oleh sistem; dan sebagainya.

Dampak dari Digitalisasi

Digitalisasi dalam berbagai bidang kehidupan selain membawa dampak positif, tentu juga membawa efek negatif. Salah satunya adalah digantikannya pekerjaan manusia dengan mesin (robot). Kini tak ada lagi petugas pintu tol, petugas penjaga tiket, atau petugas-petugas lainnya yang berhubungan dengan pembayaran, karena pembayaran bisa dilakukan secara digital. Termasuk Toko Robot yang aku ceritakan di atas.

Lama-kelamaan, tenaga manusia tak dibutuhkan lagi karena semakin banyak jenis pekerjaan digantikan oleh mesin.

Tapi kita tak perlu khawatir. Di sisi lain, dengan adanya digitalisasi dalam berbagai bidang kehidupan juga membawa banyak peluang baru. Jenis-jenis pekerjaan baru bermunculan. Bahkan, jenis pekerjaan itu tak terikat oleh tempat dan waktu. Orang bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Orang bisa mendapatkan penghasilan hanya dengan duduk-duduk menghadap laptop atau memainkan handphone.

Kesimpulan

Dengan nyaris tak ada pedagang kaki lima di tempat-tempat wisata di Malaysia, berarti Malaysia termasuk “negara ramah wisatawan”. Aku benar-benar merasakan hal itu. Makanya, aku masih ingin pergi ke sana lagi lho, mengajak anak-isteri. Semoga.

 

(Simak seri Malaysia berikutnya ya!) …..