JEJAK
CINTA DI PULAU TIGA NEGARA
Aku menulis
cerita ini di atas kapal laut KIRANA 3 milik PT Dharma Lautan Utama, dalam
perjalanan dari Pelabuhan Panglima Raja, Kecamatan Kumai, Kabupaten
Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah menuju Pelabuhan Tanjung Mas,
Semarang.
*****
Waktu
begitu cepat berlalu, sekencang lari kuda di padang gurun Gobi. Anakku nomor
dua sudah lulus SMK. Ia ingin ikut adikku bekerja di perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Aku sengaja mengantar anakku sampai ke
lokasi tujuan. Itung-itung sekalian jalan-jalan, apalagi diriku memang belum
pernah menginjakkan kaki di pulau yang dihuni tiga negara itu.
Biasanya
kalau pergi jauh aku naik pesawat terbang. Kali ini aku memutuskan untuk naik
kapal laut. Selain belum pernah naik kapal, tentu bisa menghemat biaya. Untuk
Kelas Ekonomi, ongkos naik kapal hanya sekitar 12,5-15% dari ongkos pesawat.
Aku naik KM
Lawit milik PT PELNI rute Tanjung Mas-Kumai dengan ongkos Rp 240.000,- dengan
waktu tempuh sekitar 25 jam. Aku tiba di pelabuhan jam 20.30, check-in jam
24.00, dan kapal berangkat jam 03.00. Adapun fasilitas kapal di antaranya:
tempat tidur, makan-minum dan snack ringan 3x, air panas gratis, dan mandi air
hangat.
Ternyata
naik kapal tidaklah senyaman dan seindah yang kita bayangkan. Kepalaku pusing
dalam jangka waktu lama. Kalau berjalan sedikit sempoyongan, seakan-akan terasa
mau jatuh. Tidak hanya aku saja, banyak yang merasakan hal yang sama. Hal ini
disebabkan oleh kapal yang bergoyang-goyang diterpa ombak, sekaligus suara
desingan mesin yang menderu. Konon, sekitar bulan Agustus, ombak lebih besar
lagi. Membuat kapal bergoncang lebih keras lagi.
Tiba di
Tanah Borneo
Setelah
menginap beberapa malam di Kecamatan Arut Selatan, tidak jauh dari Pangkalan
Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat, aku melanjutkan perjalanan ke
perkebunan kelapa sawit milik PT CARGILL di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam. Selama itu,
pemandangan yang aku lihat mayoritas perkebunan kelapa sawit. Sesekali
diselingi pemandangan rawa-rawa, perkebunan karet, hutan perawan, dan amat
jarang menemukan desa atau perkampungan penduduk. Tidak melihat areal
persawahan sebagaimana di Jawa.
Sewaktu
masih di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, mayoritas jalan raya adalah
beraspal. Namun, ketika memasuki Kalimantan Barat, jalan raya masih berupa
tanah. Apabila kondisi panas, debu tanah beterbangan seperti kabut asap yang
mengganggu pemandangan, bahkan membuat dedaunan kelapa sawit berwarna kuning
bak daun layu karena menua. Sebaliknya, jika sedang hujan, jalan menjadi
berlumpur dan banyak kubangan air. Tak jarang kendaraan mengalami kesulitan
untuk lewat, bahkan beberapa truk sampai jatuh terguling.
Punya mobil
mewah pun serasa percuma. Sesampainya di tujuan, seluruh bodi mobil akan kotor
laksana seekor kerbau usai berendam di kubangan lumpur. Seperti tampak pada
foto berikut ini.
Lokasi yang
aku tuju adalah Belangiran Estate, kawasan perumahan karyawan perusahaan kelapa
sawit. Fasilitas tempat tinggal karyawan dan keluarganya, termasuk listrik dan
air. Ada pula fasilitas sekolah dasar, klinik, dan tempat ibadah. Mayoritas
penghuninya berasal dari Pulau Jawa, ada pula yang dari Sumatera, NTT, dan
daerah lainnya di Indonesia.
Baru sehari
tinggal di sana, aku sudah tidak kerasan. Siang hari sunyi-sepi, orang-orang
pada kerja. Mau keliling di sekitar estate isinya pohon kelapa sawit semua.
Kalau mau ke perkampungan penduduk, jaraknya masih cukup jauh. Mau cari tempat
tongkrongan seperti warung makan atau warung kopi tidak ada. Adanya warung
kelontong kecil dengan barang dagangan seadanya ditambah sayur-sayuran. Sepi.
Bosan.
Padahal,
pada awalnya saya bisa tinggal di perkampungan penduduk terutama komunitas suku
Dayak untuk bisa mengenal mereka secara lebih dekat. Mengenal keseharian
mereka, mata pencaharian, adat-istiadat, tradisi, budaya, kepercayaan, dan hal-hal
menarik lainnya.
Mau main
HP, kartu XL tidak ada sinyal sama sekali. Yang ada hanya sinyal kartu
Telkomsel. Sementara kartu perdana di sini termasuk barang langka dan mahal.
Aku buka konter di Jawa, kartu perdana susah lakunya sampai kadaluwarsa.
Akhirnya,
keesokan paginya saya minta pulang dan kembali ke Arut Selatan, Kalteng.
Wisata
di Pangkalan Bun dan Sekitarnya
Selama di
Arut Selatan, tempat-tempat yang saya kunjungi di antaranya: seputaran Tugu
Pancasila, pasar tradisional Indrasari, Tebing Tinggi, Stadion Sampuraga, Desa
Wisata Pasir Panjang, dan warung makan apung. Ada juga Istana Kuning, tapi
belum sempat ke sana. Yang paling seru naik perahu sampan. Sekitar 30 menit
dengan ongkos Rp 50.000,-.
Sebenarnya
di sekitar Pelabuhan Kumai cukup banyak destinasi wisata, seperti Taman
Nasional Orangutan, pantai-pantai, desa wisata, dll. Barangkali di lain waktu. I
hope so.
Ketika
perjalanan menuju Kendawangan kemarin, sempat mampir di Istana Kotawaringin
Lama. Di sana ada makam Kiai Gede (Habib Abdul Qadir Assegaf), yang merupakan
ulama penyebar agama Islam di pedalaman Kalimantan yang berasal dari Kerajaan
Demak pada abad 16-17 M. Terdapat pula Masjid Kiai Gede yang semua bahan
bangunannya terbuat dari kayu, terutama kayu ulin, yang masih tetap awet hingga
saat ini. Menariknya, masjid ini tepat berada di pinggir sungai besar.
Pangkalan
Bun sendiri termasuk kota yang cukup besar dan terkenal. Di sini ada Bandara
Iskandar dan Pelabuhan Panglima Raja.
Dua moda transportasi utama ini digunakan oleh orang-orang dari Kalteng sendiri
maupun dari Kalbar, terutama dari Ketapang.
Berburu
Tanaman
Aku melihat
di sini banyak sekali tanaman kadaka yang tumbuh secara liar di pohon-pohon,
termasuk di pohon kelapa sawit. Amat sangat banyak. Melimpah-ruah. Kalau di
Jawa harganya cukup mahal, bisa sampai ratusan ribu rupiah, di sini ibarat
rumput yang tak berguna. Aku pun mencari yang masih kecil untuk dibawa pulang. Banyaklah.
Termasuk membawa
juga bibit kecombrang (Sunda=honje), biji karet, jahe bangkok, singkong berdaun
kecil-kecil dan panjang. Sayang sekali tidak menemukan tanaman anggrek liar.
Selain itu,
aku juga berburu jamur yang tumbuh dari janjang buah kelapa sawit. Jamurnya
sangat banyak, berada di bawah pohon kelapa sawit. Kalau rajin mncari dan
mengumpulkan, bisa dijual di pasar dan harganya juga lumayan.
Saya juga
untuk pertama kalinya mencicipi sayur daun pakis. Sewaktu di Jakarta dulu,
setahuku yang suka mengonsumsi daun pakis adalah orang Sunda.
Biaya
Hidup
Secara
umum, biaya hidup di Kalimantan hampir 2x lipat dari di Jawa, meski di daerah
terpencil sekalipun. Contohnya, sayur-sayuran di sini rata-rata Rp 5.000,- seikat.
Lauk pauk, bumbu-bumbu dapur, snack juga demikian. Bahkan, gas subsidi 3 kg
terkadang bisa mencapai Rp 40.000,-.
Biaya
transportasi apalagi. Dari pelabuhan ke rumah adikku yang hanya berjarak 10 km,
diminta ongkos Rp 75.000,-. Kemarin dari Kendawangan ke Pangkalan Bun diminta
Rp 400.000,- (waktu tempuh sekitar 5 jam). Maklum, biar pun Pangkalan Bun
termasuk kota besar, punya bandara dan pelabuhan, tapi belum memiliki angkutan
umum.
Biaya makan
pun demikian. Pertama, mencoba makan pakai ikan nila tanpa minum (membawa air
putih sendiri) harganya Rp 40.000,-. Lalu, makan dengan ikan baung plus es
jeruk tarifnya Rp 62.000,-. Es teh di pinggir-pinggir jalan rata-rata lima ribu.
Pun harga
buah-buahan, jangan ditanya harganya. Pernah bertanya di kios pinggir jalan,
jeruk Rp 60.000,- per kg, alpukat Rp70.000,- per kg.
Sebenanya tanah
Kalimantan amat sangat luas. Kalimantan adalah pulau tebesar ketiga di dunia
dan terbesar kedua di Indonesia. Masih banyak lahan yang menganggur alias belum
dimanfaatkan, baik yang berupa hutan perawan, rawa-rawa, kebun kosong, dan
lahan tidak produktif lainnya. Di sini lebih fokus ke tanaman perkebunan,
terutama kelapa sawit. Tidak hanya perusahaan, perorangan lebih suka menanam
kelapa sawit. Mungkin pertimbangannya lebih mudah dan murah biaya perawatannya
dan hasilnya lumayan besar.
Itulah sekilas
cerita perjalananku ke pulau tiga negara. Jejak langkah yang penuh cinta dan
sukacita. Tulisan ini merupakan catatan pribadi dan bersifat subyektif semata. Apabila
ada kesalahan maupun kekeliruan, semoga bisa dimaklumi.
Kapal Kirana
III, 5-6 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komentar Anda!