Cari Blog Ini

Jumat, 06 Juni 2025

Jejak Cinta di Pulau Tiga Negara

 

JEJAK CINTA DI PULAU TIGA NEGARA

 

Aku menulis cerita ini di atas kapal laut KIRANA 3 milik PT Dharma Lautan Utama, dalam perjalanan dari Pelabuhan Panglima Raja, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah menuju Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

*****

Waktu begitu cepat berlalu, sekencang lari kuda di padang gurun Gobi. Anakku nomor dua sudah lulus SMK. Ia ingin ikut adikku bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Aku sengaja mengantar anakku sampai ke lokasi tujuan. Itung-itung sekalian jalan-jalan, apalagi diriku memang belum pernah menginjakkan kaki di pulau yang dihuni tiga negara itu.

Biasanya kalau pergi jauh aku naik pesawat terbang. Kali ini aku memutuskan untuk naik kapal laut. Selain belum pernah naik kapal, tentu bisa menghemat biaya. Untuk Kelas Ekonomi, ongkos naik kapal hanya sekitar 12,5-15% dari ongkos pesawat.

Aku naik KM Lawit milik PT PELNI rute Tanjung Mas-Kumai dengan ongkos Rp 240.000,- dengan waktu tempuh sekitar 25 jam. Aku tiba di pelabuhan jam 20.30, check-in jam 24.00, dan kapal berangkat jam 03.00. Adapun fasilitas kapal di antaranya: tempat tidur, makan-minum dan snack ringan 3x, air panas gratis, dan mandi air hangat.

Ternyata naik kapal tidaklah senyaman dan seindah yang kita bayangkan. Kepalaku pusing dalam jangka waktu lama. Kalau berjalan sedikit sempoyongan, seakan-akan terasa mau jatuh. Tidak hanya aku saja, banyak yang merasakan hal yang sama. Hal ini disebabkan oleh kapal yang bergoyang-goyang diterpa ombak, sekaligus suara desingan mesin yang menderu. Konon, sekitar bulan Agustus, ombak lebih besar lagi. Membuat kapal bergoncang lebih keras lagi.

 

Tiba di Tanah Borneo

Setelah menginap beberapa malam di Kecamatan Arut Selatan, tidak jauh dari Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat, aku melanjutkan perjalanan ke perkebunan kelapa sawit milik PT CARGILL di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam. Selama itu, pemandangan yang aku lihat mayoritas perkebunan kelapa sawit. Sesekali diselingi pemandangan rawa-rawa, perkebunan karet, hutan perawan, dan amat jarang menemukan desa atau perkampungan penduduk. Tidak melihat areal persawahan sebagaimana di Jawa.

Sewaktu masih di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, mayoritas jalan raya adalah beraspal. Namun, ketika memasuki Kalimantan Barat, jalan raya masih berupa tanah. Apabila kondisi panas, debu tanah beterbangan seperti kabut asap yang mengganggu pemandangan, bahkan membuat dedaunan kelapa sawit berwarna kuning bak daun layu karena menua. Sebaliknya, jika sedang hujan, jalan menjadi berlumpur dan banyak kubangan air. Tak jarang kendaraan mengalami kesulitan untuk lewat, bahkan beberapa truk sampai jatuh terguling.

Punya mobil mewah pun serasa percuma. Sesampainya di tujuan, seluruh bodi mobil akan kotor laksana seekor kerbau usai berendam di kubangan lumpur. Seperti tampak pada foto berikut ini.



Lokasi yang aku tuju adalah Belangiran Estate, kawasan perumahan karyawan perusahaan kelapa sawit. Fasilitas tempat tinggal karyawan dan keluarganya, termasuk listrik dan air. Ada pula fasilitas sekolah dasar, klinik, dan tempat ibadah. Mayoritas penghuninya berasal dari Pulau Jawa, ada pula yang dari Sumatera, NTT, dan daerah lainnya di Indonesia.

Baru sehari tinggal di sana, aku sudah tidak kerasan. Siang hari sunyi-sepi, orang-orang pada kerja. Mau keliling di sekitar estate isinya pohon kelapa sawit semua. Kalau mau ke perkampungan penduduk, jaraknya masih cukup jauh. Mau cari tempat tongkrongan seperti warung makan atau warung kopi tidak ada. Adanya warung kelontong kecil dengan barang dagangan seadanya ditambah sayur-sayuran. Sepi. Bosan.

Padahal, pada awalnya saya bisa tinggal di perkampungan penduduk terutama komunitas suku Dayak untuk bisa mengenal mereka secara lebih dekat. Mengenal keseharian mereka, mata pencaharian, adat-istiadat, tradisi, budaya, kepercayaan, dan hal-hal menarik lainnya.

Mau main HP, kartu XL tidak ada sinyal sama sekali. Yang ada hanya sinyal kartu Telkomsel. Sementara kartu perdana di sini termasuk barang langka dan mahal. Aku buka konter di Jawa, kartu perdana susah lakunya sampai kadaluwarsa.

Akhirnya, keesokan paginya saya minta pulang dan kembali ke Arut Selatan, Kalteng.

Wisata di Pangkalan Bun dan Sekitarnya

Selama di Arut Selatan, tempat-tempat yang saya kunjungi di antaranya: seputaran Tugu Pancasila, pasar tradisional Indrasari, Tebing Tinggi, Stadion Sampuraga, Desa Wisata Pasir Panjang, dan warung makan apung. Ada juga Istana Kuning, tapi belum sempat ke sana. Yang paling seru naik perahu sampan. Sekitar 30 menit dengan ongkos Rp 50.000,-.

Sebenarnya di sekitar Pelabuhan Kumai cukup banyak destinasi wisata, seperti Taman Nasional Orangutan, pantai-pantai, desa wisata, dll. Barangkali di lain waktu. I hope so.

Ketika perjalanan menuju Kendawangan kemarin, sempat mampir di Istana Kotawaringin Lama. Di sana ada makam Kiai Gede (Habib Abdul Qadir Assegaf), yang merupakan ulama penyebar agama Islam di pedalaman Kalimantan yang berasal dari Kerajaan Demak pada abad 16-17 M. Terdapat pula Masjid Kiai Gede yang semua bahan bangunannya terbuat dari kayu, terutama kayu ulin, yang masih tetap awet hingga saat ini. Menariknya, masjid ini tepat berada di pinggir sungai besar.



Pangkalan Bun sendiri termasuk kota yang cukup besar dan terkenal. Di sini ada Bandara Iskandar dan  Pelabuhan Panglima Raja. Dua moda transportasi utama ini digunakan oleh orang-orang dari Kalteng sendiri maupun dari Kalbar, terutama dari Ketapang.

Berburu Tanaman

Aku melihat di sini banyak sekali tanaman kadaka yang tumbuh secara liar di pohon-pohon, termasuk di pohon kelapa sawit. Amat sangat banyak. Melimpah-ruah. Kalau di Jawa harganya cukup mahal, bisa sampai ratusan ribu rupiah, di sini ibarat rumput yang tak berguna. Aku pun mencari yang masih kecil untuk dibawa pulang. Banyaklah.

Termasuk membawa juga bibit kecombrang (Sunda=honje), biji karet, jahe bangkok, singkong berdaun kecil-kecil dan panjang. Sayang sekali tidak menemukan tanaman anggrek liar.

Selain itu, aku juga berburu jamur yang tumbuh dari janjang buah kelapa sawit. Jamurnya sangat banyak, berada di bawah pohon kelapa sawit. Kalau rajin mncari dan mengumpulkan, bisa dijual di pasar dan harganya juga lumayan.

Saya juga untuk pertama kalinya mencicipi sayur daun pakis. Sewaktu di Jakarta dulu, setahuku yang suka mengonsumsi daun pakis adalah orang Sunda.

Biaya Hidup

Secara umum, biaya hidup di Kalimantan hampir 2x lipat dari di Jawa, meski di daerah terpencil sekalipun. Contohnya, sayur-sayuran di sini rata-rata Rp 5.000,- seikat. Lauk pauk, bumbu-bumbu dapur, snack juga demikian. Bahkan, gas subsidi 3 kg terkadang bisa mencapai Rp 40.000,-.

Biaya transportasi apalagi. Dari pelabuhan ke rumah adikku yang hanya berjarak 10 km, diminta ongkos Rp 75.000,-. Kemarin dari Kendawangan ke Pangkalan Bun diminta Rp 400.000,- (waktu tempuh sekitar 5 jam). Maklum, biar pun Pangkalan Bun termasuk kota besar, punya bandara dan pelabuhan, tapi belum memiliki angkutan umum.

Biaya makan pun demikian. Pertama, mencoba makan pakai ikan nila tanpa minum (membawa air putih sendiri) harganya Rp 40.000,-. Lalu, makan dengan ikan baung plus es jeruk tarifnya Rp 62.000,-. Es teh di pinggir-pinggir jalan rata-rata lima ribu.

Pun harga buah-buahan, jangan ditanya harganya. Pernah bertanya di kios pinggir jalan, jeruk Rp 60.000,- per kg, alpukat Rp70.000,- per kg.

Sebenanya tanah Kalimantan amat sangat luas. Kalimantan adalah pulau tebesar ketiga di dunia dan terbesar kedua di Indonesia. Masih banyak lahan yang menganggur alias belum dimanfaatkan, baik yang berupa hutan perawan, rawa-rawa, kebun kosong, dan lahan tidak produktif lainnya. Di sini lebih fokus ke tanaman perkebunan, terutama kelapa sawit. Tidak hanya perusahaan, perorangan lebih suka menanam kelapa sawit. Mungkin pertimbangannya lebih mudah dan murah biaya perawatannya dan hasilnya lumayan besar.

Itulah sekilas cerita perjalananku ke pulau tiga negara. Jejak langkah yang penuh cinta dan sukacita. Tulisan ini merupakan catatan pribadi dan bersifat subyektif semata. Apabila ada kesalahan maupun kekeliruan, semoga bisa dimaklumi.

Kapal Kirana III, 5-6 Juni 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komentar Anda!