Cari Blog Ini

Senin, 31 Agustus 2020

Kalau Anda Bertanya

KALAU ANDA BERTANYA 


Klo Anda Bertanya ...... Bisnis Apakah yg paling Prospek dan menguntungkan ditengah pandemi? 

Klo Anda Bertanya ....Bisnis Apakah yg lagi nge-Trend dimasa kini? 

Klo Anda Bertanya .....Bisnis Apakah yg Banyak digandrungi oleh kaum Melenial sampai ibu2 dan bapak2 saat ini? 

Klo Anda Bertanya .... Bisnis Apakah yg punya visi Lingkungan, menjaga ketebalan Lapisan Azon dan mengurangi panas bumi? 

Klo Anda Bertanya .... Bisnis  Apakah yg mempunyai visi agar udara kota menjadi segar dan bersih?

Klo Anda Bertanya .... Bisnis Apakah yg membuat setiap Rumah Tangga bisa menanam sayur, buah dan tanaman pekarangan lainnya..... dan bisa dipanen utk komsumsi Rumah Tangga  dg sehat? 

Klo Anda Bertanya ......Bisnis apakah yg bs membuat setiap rumah tangga, perkantoran dan jg rumah makan serta fasilitas publik tetep Asri dan Estitika? 

Klo Anda Bertanya ..... Bisnis apakah yg mempunyai visi SEHAT SEGAR BAHAGIA? 


BARANGKALI INILAH JAWABANNYA....... 

Bergabung bersama PT LABA Indoagro Nusantara.... yg menyiapkan dan mendistribusikan NUTRISI utk Urban Farming :  dg product2 edisi premium seperti Manohara, Fortune, Dewa Dewi, Hijau, Laba Hidroponik aerta product2 handal lainnya....

Mauuuuuu? 


#LABAIndoagroNusantara

#SehatSegarBahagia

Senin, 24 Agustus 2020

Mencermati Tren Urban Farming

 

MENCERMATI TREN URBAN FARMING

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

 

Saat ini bidang pertanian tidak hanya milik orang perdesaan saja, tapi sudah mulai diminati oleh masyarakat perkotaan. Walaupun tidak memiliki lahan seperti orang di desa, orang perkotaan memanfaatkan lahan pekarangan, teras, garasi, dinding rumah, loteng, atau atap rumah untuk bercocok tanam. Media tanam pun tak harus berupa tanah, tapi bisa juga berupa air (hidroponik). Inilah yang kemudian dikenal dengan pertanian perkotaan (urban farming).

Urban farming tidak hanya mengacu pada daerah perkotaan semata, tapi juga berlaku di daerah perdesaan. Sebab, tidak semua orang desa punya lahan atau sawah, sehingga mereka pun menerapkan model urban farming. Kita bisa melihat di pelosok-pelosok desa, tren menanam tanaman hias, tanaman sayur-sayuran/buah-buahan di pekarangan, maupun hidroponik mulai menggejala.

Beberapa tahun terakhir ini, tren pertanian perkotaan berkembang begitu pesat. Di benua Eropa maupun Amerika, kota-kota tampak begitu hijau, di atap-atap rumah atau gedung terlihat pemandangan yang mengagumkan. Berbagai jenis sayur dan buah dihasilkan bukan dari bawah (tanah), melainkan dari gedung-gedung pencakar langit.

Begitu pula terjadi di negara kita. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dll banyak kita jumpai pertanian perkotaan baik yang dilakukan oleh perorangan maupun yang dikelola oleh komunitas atau lembaga. Hal ini sangat berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan, keasrian lingkungan, dan menghidupkan perekonomian.


Munculnya fenomena pertanian perkotaan, setidaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:

1.   Pelestarian Lingkungan Hidup

Udara di perkotaan sudah sedemikian tercemar dari polusi kendaraan bermotor, industri, limbah, sampah, dll; sehingga membutuhkan tanaman yang dapat menyegarkan atmosfer perkotaan dan mengurangi polusi. Selain itu, tanaman juga mampu mempertahankan lapisan ozon agar tidak cepat menipis.


2.   Semangat Kembali ke Alam

Kesadaran pentingnya mengonsumsi makanan yang sehat dan bebas dari bahan kimia kian tinggi. Mereka memproduksi sendiri kebutuhan hidup sehari-hari sehingga terlibat langsung dalam proses penamanan, perawatan, hingga pemupukan. Termasuk penggunaan pupuk organik yang lebih aman dan sehat.


3.   Bisa Menambah Penghasilan

Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, sebagian dapat dijual. Hasil dari pertanian perkotaan biasanya didistribusikan ke supermarket atau swalayan, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Bahkan, beberapa di antaranya sudah masuk ekspor.  


4.   Sebagai New Hobby

Bercocok tanam kini menjadi hobi baru terutama bagi masyarakat perkotaan. Untuk melepas rasa jenuh, mengisi waktu luang, kesulitan ekonomi, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Anjuran untuk “di rumah saja” dimanfaatkan untuk bercocok tanam.

 

Mencermati fenomena urban farming inilah yang berusaha ditangkap oleh PT LABA Indoagro Nusantara dengan memproduksi pupuk berkualitas, di antaranya: ManoHARA, Hijau, Dewa-dewi, Fortune, Laba Hidroponik (on progress). Perusahaan ini berkantor di Jl. Raya Mangu No. 2, Glonggong, Nogosari, Boyolali 57384.

 

Kamis, 06 Agustus 2020

Mengenal "Urban Farming"

Apa itu URBAN FARMING.... ? 

Urban Farming sebenarnya awalnya merupakan gerakan dr para aktivis Lingkungan yg sangat mengkuatirkan dampak pemanasan Global dan Pencemaran Udara di kota-kota Besar.

Belakangan, dalam bbrp tahun terakhir ini ... URBAN FARMING berubah menjadi TREN yg sangat masif sebagai GAYA HIDUP MASYARAKAT PERKOTAAN, bahkan menjalar sampai pelosok desa yg sesungguhnya masih cukup lahan pertanian....  Itulah suatu fenomena klo sdh menjadi GAYA HIDUP .... 

Fenomena sungguh sangat bagus dan menguntungkan, dan apalagi para penggiat URBAN FARMING justru di dominasi oleh anak2 muda perkotaan dan jg anak muda desa desa. 

Kenapa kita harus merasa terpanggil utk ikut dan mendorong konsep URBAN FARMING? Setidaknya ada beberapa hal yg menjadi keuntungan dr tren bagus ini, antara lain : 
(1) Menjaga Ketahanan Pangan, terutama pemenuhan akan sayur dan buah yg di produksi sendiri secara sehat dan segar; 
(2) Menurunkan suhu udara, yg mmg sdh sangat panas, terutama di kota2 besar; 
(3) Mengurangi Polusi udara yg sdh sangat mengkuatirkan, sebagai dampak dr masibnya pembakaran baik oleh kendaraan bermotor maupun industri;
(4) Estitika Lingkungan, bahwa ternyata kebutuhan estitika tdk lagi dianggap sebagai kebutuhan sekunder di medio sekarang ini, justru estitika menjadi kebutuhan yg sangat vital tdk hanya oleh para ibu ibu tetapi jg para bapak bapak....  Memaintance rumah dan pekarangan dg tanaman hias dan tanaman pekarangan telah benar menjadi Tren Gaya Hidup Medio sekarang.... 

Diantaranya karena itulah .... kami hadir bersama PT LABA Indoagro Nusantara, sebuah perusahaan yg di gagas utk menyiapkan Nutrisi, terutama adalah Nutrisi Organik dan Semi Organik utk mendukung URBAN FARMING baik yg media Tanah maupun media air (HIDROPONIK).  

Sebagai Agronomis.... kami sangat menyadari betapa penting Nutrisi bagi Tanaman, terutama adalah utk Tanaman Hias, Sayuran maupun Buah2an yg menggunakan media Tanah maupun Air....  Kami sangat peduli dan ingin bergerak secara bersama dlm mendukung dan membersamai TREN GAYA HIDUP MASYARAKAT KOTA ..... semoga sumbangsih kami terus kami sempurnakan dan berguna bagi semua....

Senin, 30 Maret 2020

Puisi Gus Mus tentang Corona


*TUHAN MENGAJARKAN MELALUI CORONA*

*Karya : KH Mustofa Bisri*



Vatikan sepi
Yerusalem sunyi
Tembok Ratapan dipagari
Paskah tak pasti
Ka'bah ditutup
Shalat Jumat dirumahkan
Umroh batal
Shalat Tarawih Ramadhan mungkin juga bakal sepi.

Corona datang
Seolah-olah membawa pesan bahwa ritual itu rapuh!
Bahwa "hura-hura" atas nama Tuhan itu semu
Bahwa simbol dan upacara itu banyak yang hanya menjadi topeng dan komoditi dagangan saja.

sumber gambar: https://ajnn.net


Ketika Corona datang,
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di Basilika Santo Petrus
Bukan di Ka'bah.
Bukan di dalam gereja.
Bukan di masjid
Bukan di mimbar khotbah
Bukan di majels taklim
Bukan dalam misa Minggu
Bukan dalam sholat Jumat.

Melainkan,
Pada kesendirianmu
Pada mulutmu yang terkunci.
Pada hakikat yang senyap
Pada keheningan yang bermakna.

Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada ritual
Tuhan itu ada pada jalan keputus-asaanmu dengan dunia yang berpenyakit.

Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa.
Kecuali Tuhan itu sendiri!
Tidak ada lagi indoktrinasi yang menjajah nalar.
Tidak ada lagi sorak sorai memperdagangkan nama Tuhan.

Datangi, temui dan kenali DIA di dalam relung jiwa dan hati nuranimu sendiri.
Temukan Dia di saat yang teduh dimana engkau hanya sendiri bersamaNya.

Sesungguhnya Kerajaan Tuhan ada dalam dirimu.
Qalbun mukmin baitullah.
Hati orang yang beriman adalah rumah Tuhan.

Biarlah hanya Tuhan yang ada.
Biarlah hanya nuranimu yang bicara.
Biarlah para pedagang, makelar, politikus dan para penjual agama disadarkan oleh Tuhan melalui kejadian ini.
Semoga kita bisa belajar dan mengambil hikmah dari kejadian ini.

____
Surabaya. 22 Maret 2020 ikhtiar dan bermunajat

Minggu, 29 Maret 2020

Puisi tentang Corona


*KEAGUNGAN CORONA CINTA*
 (karya: Uten Sutendy)



Sambutlah kehadiran keagungan cinta dalam gelombang besar bernama corona.

Ia datang menakutkan banyak orang. Padahal tuk mengingatkan berapa banyak aturan hidup yang dilanggar karena menistakan cinta.

Katanya ia menjadi pandemi,  menghancurkan banyak ruang kehidupan. Padahal hadir tuk membersihkan dan memurnikan cinta kehidupan dari rupa-rupa kotoran dan kemubaziran.

Menyerupai monster global menghantui para penguasa adikuasa dunia. Padahal muncul tuk menutup mulut kesombongan dan menghentikan langkah keangkuhan  mereka, yang  mengatur dunia tanpa aura cinta.

Menjadi bayangan kematian hingga mengoyak-ngoyak  pribadi manusia di banyak negeri. Padahal ia menjelma tuk merapatkan jiwa- jiwa robek, karena kehilangan dan kekeringan mata air cinta.

Mengepung para orang tua hingga mengkhawatirkan anak-anak sekolah. Padahal ia menampakan diri untuk memberi jalan, agar kita segera pulang mendekap mesra anggota keluarga di rumah dengan semangat cinta.

Menghentikan aneka jenis pekerjaan, menghilangkan pendapatan. Padahal ia menunjukkan, bagaimana cara  kita mendekatkan diri kepada pemilik semua pekerjaan  dengan sujud  cinta.

sumber gambar: https://kompas.com


Corona adalah bentuk lain dari cintaNya.

Seperti cinta matahari,  memanaskan bumi lalu menumbuhkan pohon.
Bagai cinta air hujan pada tanah mengalir, menghanyutkan, menenggelamkan, lalu menyuburkan.
Bak cinta api pada tungku, menyala, membakar, lalu mematangkan.
Juga seperti cinta rembulan pada malam, bercahaya, menerangi, lalu menyembunyikan  cinta.





Kamis, 03 Oktober 2019

Syaikh Subakir, Wali Pertama di Tanah Jawa


SYAIKH SUBAKIR



Wus kalayan karsa Nata, yata kan kocapa mangkin, janma kang samya tinilar, aneng jroning pulo Jawi, binadog ing dedemit, meh telas pan amung kantun, sakawan dasa somah, giri mahanira sami, lajeng layar mantuk mring Ngerum nagara (Kitab Musaras Syaikh Subakir, hal. 23)

Syaikh Subakir termasuk salah satu Walisongo generasi awal. Ia merupakan ulama hebat yang berasal dari negeri Persia. Ia memiliki keahlian khusus yang membuatnya sangat terkenal di Nusantara, terutama di tanah Jawa, yaitu melakukan ruqyah Pulau Jawa yang konon masih dianggap angker dan keramat. Ia mensucikan Pulau Jawa dari berbagai macam energi negatif, termasuk membersihkan kekuatan-kekuatan ghaib yang dapat mengganggu proses dakwah Islam di Nusantara. Pada waktu itu, Pulau Jawa belum begitu banyak penduduknya, sehingga masih banyak tempat-tempat yang dihuni oleh makhluk halus dan tak jarang mengganggu kehidupan manusia.

Melalui cerita ini, akan diuraikan kembali jejak historis Syaikh Subakir yang masih belum banyak dikenal orang dan belum banyak diulas dalam buku-buku cerita maupun buku sejarah yang ada. Adapun cerita-cerita yang selama ini beredar lebih cenderung bersifat magis-mistis daripada telaah kritis terhadap kiprah dan peran beliau dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sehingga di lapangan masih ditemukan banyak versi dan silang-sengkarut terkait kisah Syaikh Subakir ini. Hal ini dapat dimaklumi, sebab sangat sedikit sekali sumber ilmiah yang dapat dijadikan referensi.

Sumber gambar: www.tabloidjawatimur.com


Biografi Singkat Syaikh Subakir
Menurut catatan sejarah, Syaikh Subakir lahir pada 20 Ramadhan 787 H di Persia. Memiliki nama lengkap Syaikh Tambuh Aly bin Syaikh Baqir, atau ada yang menyebut Muhammad Al Baqir. Namun, ketika datang di Pulau Jawa, orang menyebut beliau dengan Syaikh Subakir. Beberapa sumber menjelaskan bahwa nama Al Baqir merupakan sebuah gelar, yang berarti “membelah bumi”, dalam arti memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa, diibaratkan mampu membelah bumi,mengeluarkan segala isinya yaitu berupa ilmu pengetahuan.

Bila dilacak berdasarkan garis nasabnya, ia masih keturunan Salman al Farisi, salah seorang sahabat Nabi saw yang memiliki semangat luar biasa dalam memperjuangkan agama Islam. Mengenai asal-usul Syaikh Subakir, ada pula yang mengatakan bahwa ia berasal dari negeri Rum (Turki Utsmani). Konon ia diutus oleh Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di negeri-negeri Timur (kawasan Nusantara).

Sebelum melakukan dakwah Islam, Syaikh Subakir pernah belajar di Mekkah selama 10 tahun. Di tanah suci tersebut, ia mendapatkan pengetahuan dan pelajaran agama dari  para ualam setempat. Ia juga bergaul dengan banyak orang dari beragam latar belakang adat-istiadat dan budaya dari seluruh dunia. Hal ini kelak menjadi bekal dalam rangka melaksanakan misi dakwah dan penyebaran Islam.
Tumbal Tanah Jawa.

Sebelum kedatangan Syaikh Subakir di tanah Jawa,masyarakat di Pulau Jawa masih menganut agama Hindu-Buddha. Ditambah pula masih kuatnya kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Mereka masih percaya adanya kekuatan pada arwah leluhur, pohon besar, batu, tempat keramat, atau benda-benda pusaka. Mereka juga masih melafalkan mantra-mantra yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib (magis).

Lalu beredarlah sebuah kisah mengenai seorang utusan dari negeri Arab untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Para utusan dari Arab sebelumnya selalu gagal dalam misi dakwah di tanah Jawa. Hal ini kemudian memicu kegelisahan yang luar biasa. Setiap utusan ke tanah Jawa pasti binasa dan tidak tersisa. Pada saat itu tanah Jawa digambarkan masih berupa hutan lebat dengan para penghuninya makhluk halus yang sangat buas. Dengan kata lain, Pulau Jawa diibaratkan seperti tanah tak bertuan.

Di gunung-gunung, lembah, sungai besar, gua, pohon besar dan lain-lain, masih dihuni makhluk-makhluk halus yang ganas dan berbahaya. Di daerah Boyolali dan sekitarnya, tempat seperti lereng Gunung Merapi-Merbabu,Pengging, Tlatar, hutan di kawasan Kemusu dan Juwangi termasuk yang masih angker dan wingit.

Oleh karena itu, diutuslah Syaikh Subakir yang dikenal memang sakti mandraguna.  Beliau diutus secara khusus untuk menangangi masalah-masalah yang berbau mistis dan supranatural, yang dinilai telah menjadi penghalang proses penyebaran Islam di tanah Jawa, yang masyarakatnya masih banyak yang menyembah pohon dan batu-batuan.

Menurut cerita yang berkembang, konon Syaikh Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seluruh Nusantara.  Untuk tanah Jawa, batu hitam diletakkan di tengah-tengah, yaitu tepatnya di Gunung Tidar (masuk Kabupaten Magelang saat ini). Efek dari kekuatan ghaib dari batu hitam tersebut dapat menimbulkan gejolak yang luar biasa. Hal ini membuat para jin dan makhluk halus lainnya kaget dan mengamuk. Untunglah, Syaikh Subakir mampu mengatasi dan meredam amukan para makhluk halus tersebut.

Akan tetapi, raja jin tanah Jawa datang menemui Syaikh Subakir dan berkata, “Ya Syaikh, walaupun engkau sudah mampu meredam amukan kami, dan mampu merintis penyebaran Islam di tanah Jawa, tetapi qadratullah tetap masih berlaku atasku, ingat baik-baik itu wahai Syaikh Subakir!”
“Apakah itu?” tanya Syaikh Subakir penasaran.
“Aku masih diperbolehkan menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah.” Jawab raja jin tegas dan mantap.

Akhirnya, setelah ditaklukkannya si raja jin, tanah Jawa menjadi aman dan tenang. Dari hari ke hari, pemeluk agama Islam semakin bertambah. Para makhluk halus semakin tergusur, banyak di antara mereka yang mengungsi ke Laut Selatan, di mana Nyi Roro Kidul berkuasa.


Versi Lain Kisah Syaikh Subakir
Pada suatu ketika, dikisahkan datanglah para ulama dari negeri seberang lautan (Mesir) ke tanah Jawa. Mereka diutus oleh Sultan Mesir untuk menyebarkan agama Islam yang menurut laporan tanah Jawa waktu itu masih banyak yang kafir. Mereka dipimpin oleh seorang Syaikh yang bernama Syaikh Subakir.

Sebelum rombongan Syaikh Subakir, sudah ada beberapa ulama yang menginjakkan kaki di tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu mengalami kegagalan dalam menyebarkan agama Islam. Hal inilah yang selalu menjadi pertanyaan di benak Syaikh Subakir, mengapa bisa demikian?
Tidak berapa lama setelah tiba di Pulau Jawa, Syaikh Subakir berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata seluruh Pulau Jawa dari ujung barat hingga ujung timur dijaga oleh bangsa jin yang dipimpin oleh Sabdo Palon. Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah para jin kafir yang tidak mau memeluk Islam dan selalu menentang penyebaran agama Islam.

Untunglah, Syaikh Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia da para ulama yang dipimpinnya mampu mengetahui keberadaan pada jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para jin itu ada yang berwujud ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut para penumpangnya. Ada yang berwujud angin putting-beliung yang mampu merusak dan menghancurkan rumah dan pepohonan. Ada pula yang menjelma menjadi hewan buas seperti harimau, ular, buaya, dan lain-lain. Perubahan bentuk dan wujud itulah yang selama ini diduga telah mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Kemudian, terjadilah pertempuran dahsyat antara para jin dan pasukan ulama. Konon, pertempuran berlangsung selama berhari-hari dan sulit untuk diperkirakan pihak mana yang akan memenangkan pertempuran tersebut. Melihat situasi yang tidak menguntungkan,maka Sabdo Palon mengusulkan adanya gencatan senjata dan melakukan perundingan.

Akhirnya, terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak. Salah satu isi kesepakatan itu adalah Sabdo Palon memberikan kesempatan kepada Syaikh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, akan tetapi tidak boleh dengan paksaan. Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk berkuasa di tanah Jawa dengan beberapa catatan, di antaranya jangan sampai meninggalkan adat-istiadat dan budaya yang telah ada.
Sekian…


(Trimanto B. Ngaderi)

R. Ng. Yosodipuro, Senior Pujangga Mataram


R. Ng. YOSODIPURO I



R. Ng. Yosodipuro merupakan pujangga ternama di Kasunanan Surakarta. Ia masih memiliki garis keturunan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Ia lahir pada tahun 1729 M di Pengging. Ayahnya bernama Raden Tumenggung Padmonegoro dan ibunya Siti Maryam (Nyi Ageng Padmonegoro). Pada waktu mudanya, Padmonegoro adalah seorang prajurit Mataram yang pernah bersama Sultan Agung menyerbu VOC di Batavia. Atas jasanya dalam peperangan tersebut, ia diangkat sebagai Adipati Pekalongan.

Pada suatu malam, Padmonegoro merasa heran karena di halaman rumahnya berkumpul banyak orang. Setelah ditanyakan, mereka menjawab bahwa telah melihat ndaru[1] sebesar cengkir (kelapa muda) yang jatuh di atas rumah Padmonegoro. Mendengar hal itu, ia berharap semoga kejadian tersebut merupakan pertanda kebaikan bagi keluarganya.

Tidak berselang lama dari peristiwa tersebut, Siti Maryam mengandung lagi. Menjelang kelahiran si bayi, waktu itu hari Kamis malam Jum’at Pahing Padmonegoro kedatangan tamu seorang sesepuh dari daerah Pedan yang mengaku sebagai petinggi Palar. Sesepuh itu mengatakan bahwa berdasarkan ilmu nujum, kalau ada bayi yang lahir pada hari Jum’at Pahing, maka akan membawa keberuntungan dan kelak bayi tersebut akan memiliki kelebihan dari anak yang lainnya.

Petinggi Palar tersebut diterima oleh mertua Padmonegoro, yaitu Kiai Kalipah Caripu. Tidak berapa lama, datanglah Kiai Hanggamaya, sahabat karib Kiai Kalipah yang merupakan seorang ulama besar dari Bagelen. Kiai Hanggamaya mengatakan bahwa Nyi Ageng Padmonegoro pada waktu Subuh nanti akan melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi anak yang pandai dan menjadi manusia yang memiliki beberapa kelebihan serta cinaket ing ratu[2].

Saking begitu asyiknya mereka ngobrol, hingga tak terasa waktu sebentar lagi Subuh, sehingga mereka segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid. Usai shalat, mereka diberitahu bahwa Nyi Ageng Padmonegoro akan segera melahirkan.
 Beberapa saat kemudian, Siti Mariyam melahirkan seorang anak laki-laki. Bayi itu lahir dalam keadaan masih terbungkus dan lehernya terlilit usus. Usus yang melingkar dibenahi hingga terlepas lalu dibersihkan. Menurut kepercayaan setelah besar nanti akan selalu pantas dan luwes mengenakan pakaian.

Bayi mungil itu diberi nama Bagus Banjar. Tetapi karena lahir pada waktu Subuh, ia juga dikenal dengan sebutan Jaka Subuh. Sedangkan oleh kakeknya, bayi tersebut diberi nama Jaenal Ngalim, untuk menghormati nama guru ayahnya di Palembang, yaitu Kiai Zainal Abidin.
Petinggi Palar dan Kiai Hanggamaya berada di Pengging hingga tujuh hari. Pada saat Kiai Hanggamaya akan kembali ke Bagelen, ia berpesan kepada Padmonegoro agar kalau Bagus Banjar sudah berumur sewindu agar dikirim ke Bagelen untuk berguru kepadanya.

Sumber gambar: www.hystoryana.blogspot.com

Kegemaran Bagus Banjar waktu kecil adalah memakan pisang ambon dan anehnya tidak mau disuapi oleh siapa pun. Ia tidak pernah mau makan nasi, ia baru mau makan nasi setelah berumur 7 tahun. Kebiasaannya yang tidak pernah ditinggalkan adalah kegemarannya memakan intip (kerak nasi).
Ketika berusia 8 tahun, Bagus Banjar diantarkan ayahnya ke Bagelen untuk berguru kepada Kiai Hanggamaya, sahabat karib kakeknya. Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu agama, menulis Jawa maupun Arab, dan kesusasteraan. Ia juga belajar ilmu beladiri dan ilmu kebatinan. Ia melakukan tapabrata dan melatih kesabaran dengan cara berpuasa mutih, ngrowot, dan ngebleng. Ia tergolong murid yang cerdas, cakap, dan memiliki ketajaman berpikir. Sehingga dalam waktu ia mampu menyelesaikan masa bergurunya.

Pada usia 14 tahun, ia kembali ke Pengging dan berniat ingin mengabdikan diri di Mataram. Saat itu, di Mataram sedang terjadi Geger Pacinan (pemberontakan orang-orang Cina), yang menyebabkan keraton Kartasura hancur luluh. Karena terdesak dan tak mampu mengatasi pemberontakan, Sunan Pakubuwono II dan para pembantunya mengungsi ke Desa Kentheng, Ponorogo. Bagus Banjar menghadap Pakubuwono II di Ponorogo dan menyatakan keinginannya untuk menjadi abdi dalem. Ia diterima sebagai abdi dalem yang bertugas sebagai prajurit.

Setelah keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Pakubuwono II atas bantuan VOC, Bagus Banjar menjadi prajurit keraton. Ia bertugas di bagian nameng raja (pengawal raja) dengan sebutan “kuda pengawe[3]”. Tugas utamanya adalah menjaga dan merawat gedung pusaka, terutama pusaka keraton yang bernama Kiai Cakra.

Berkaitan dengan tugasnya, Bagus Banjar banyak belajar tentang adat-istiadat dan tatacara keraton, aturan dan pranata, termasuk bidang kebudayaan dan sastra. Karena kepandaian dan kecakapannya, ia diangkat menjadi carik keraton dan diberi gelar Raden Ngabehi Yosodipuro I. Tugasnya kini adalah membantu Pangeran Wijil yang pada saat itu menjadi pujangga keraton.

Yosodipuro telah memiliki dasar-dasar dalam hal sastra, sehingga ia menjadi orang yang mumpuni di bidangnya. Ia menjadi bersemangat dan lebih tekun lagi dalam belajar dan menjalankan tugas. Tak mengherankan jika ia mampu melahirkan karya-karya yang bagus dan menarik. Hingga Pakubuwono II memberinya sebutan Pujangga Anom.

Pemindahan Keraton Mataram
Usai peristiwa Geger Pacinan, Keraton Kartasura sudah rusak parah dan dianggap tidak layak lagi, ditambah wibawanya mulai merosot dan tidak bersinar lagi. Maka ketika Pakubuwono II kembali dari pengungsian, ia mempunyai ide untuk memindahkan keraton ke tempat yang baru. Untuk mewujudkan hal ini, Sunan mengutus Yosodipuro dan beberapa abdi lainnya untuk mencari lokasi bagi calon tempat keraton yang baru.

Dari hasl penelitian, ditemukan beberapa pilihan lokasi antara lain Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Atas kesimpulan dari tim peneliti dan persetujuan dari Sunan, maka dipilihlah Desa Sala sebagai calon lokasi keraton yang baru,karena dinilai kelak akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Selain itu juga dibahas mengenai tempat yang tepat sebagai titik pusat keraton. Lalu, tim peneliti melakukan penelitian lebih lanjut.

Akhirnya disepakati bahwa titik pusat pendirian keraton berada di daerah sekitar Rawa Kedungkul. Pakubuwono II segera memerintahkan untuk memulai pembangunan keraton. Namun ada kendala yang dihadapi yaitu air Rawa Kedungkul tidak bisa dikeringkan. Untuk mengatasi hal ini, Pangeran Wijil dan Yosodipuro melakukan tapa-brata di Kedungkul selama tujuh hari tujuh malam untuk memohon petunjuk kepada Tuhan YME.

Yosodipuro akhirnya mendapat petunjuk bahwa untuk mengeringkan air rawa harus dilakukan beberapa syarat, yaitu membuat gong sekar delima, menimbun rawa dengan daun lumbu, dan memberikan korban seorang waranggana (ledek). Menimbun rawa dengan daun lumbu maksudnya adalah menimbun rawa dengan tanah Kiai Gede yang ditumbuhi tanaman lumbu. Sedangkan korban waranggana bermakna membutuhkan uang atau dana yang tidak sedikit.

Maka, dimulailah pembangunan keraton yang baru. Sebagai pelaksana pembangunan adalah Mayor Hogendorp (Belanda), Adipati Pringgalaya, dan Tumenggung Tirtawiguna. Pangeran Wijil dan Kiai Kalipah Caripu (kakek Yosodipuro) sebagai yang memperhitungkan kekuatan bangunan. Sedangkan Kiai Tohjoyo bertanggung atas atas keindahan bangunan.

Setelah keraton selesai dibangun, maka segera dilakukan perpindahan dari Kartasura ke Desa Sala. Di keraton yang baru ini, R. Ng. Yosodipuro I diangkat menjadi abdi dalem kadipaten di bekas rawa Kedungkul (sekarang bernama kampong Yosodipuran).

Pakubuwono II Wafat
Ketika jenazah Pakubuwono II akan dimakamkan, jenazahnya tidak bisa dimasukkan ke dalam liang kubur.walau sudah dilakukan dengan berbagai cara, selalu saja tidak cukup. Melihat kejadian itu, Yosodipuro melakukan samadi. Dalam samadinya, ia memperoleh wangsit bahwa Alm. Pakubuwono II tidak berkenan dimakamkan di astana Laweyan, beliau minta dimakamkan di Imogiri. Hal ini lalu disampaikan kepada Nyai Manggung Secanegara. Selanjutnya, Nyi Manggung berikrar di hadapan peti jenazah agar Sunan berkenan dimakamkan di Laweyan untuk sementara waktu. Nanti jika keadaan Negara sudah aman, akan dipindahkan ke Imogiri. Terjadilah keajabaikan, usai ikrar dilaksanakan, akhirnya jenazah dapat dimasukkan ke liang kubur.

Pernikahan Raden Ajeng Sentul
Setelah terjadinya konflik berkepanjangan antara Pakubuwono III dengan adiknya Pangeran Mangkubumi dikarenakan daerah kekuasaan Mataram akan dikurangi dan diberikan kepada Belanda. Maka berdasarkan Perjanjian Giyanti, kerajaan dibagi menjadi dua, Kasunan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III dan Kasultananan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I).

Sultan HB I berusaha menjalin silaturrahmi dengan Sunan PB III agar tidak terjadi lagi permasalahan antara dua kerajaan. Demi tercapainya kerukunan dan kekeluargaan, Sultan HB I mengajukan lamaran kepada Raden Ajeng Sentul (puteri Sunan PB III dari selir Ratu Mas Retnadi) untuk putranya yang bernama Pangeran Mangkunegoro. Akan tetapi lamaran ini hanya ditanggapi setengah-setengah, dalam arti tidak diterima juga tidak ditolak. Apabila didesak untuk segera member jawaban, selalu mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Hal ini membuat Sultan HB I marah, hingga ia mengatakan akan menganggap musuh pada siapa pun yang menjadi suami R.A. Sentul.
Keluarga Kasunanan menjadi sangat resah karena tidak ada seorang pun yang berani meminang R.A.Sentul. selanjutnya Sunan memanggil Yosodipuro untuk memecahkan masalah tersebut. Yosodipuro menyarankan Sunan agar mencari menantu dari anak keturunan Sultan Hadiwijaya, karena semasa hidupnya ia selalu berbakti dan membela Sultan HB I, yang menyebabkan Sultan HB I merasa berhutang budi kepadanya dan berniat mencari keturunan dari Sultan Hadiwijaya. Apabila R.A. Sentul menikah dengan anak keturunan Sultan Hadiwijaya, maka akan meluluhkan kemarahan Sultan HB I, bahkan beliau akan memuliakannya.

Lalu oleh Yosodipuro mengusulkan Raden Sumodiwiryo dan Sunan menyetujuinya. Pernikahan R.A. Sentul dan Raden Sumodiwiryo pun segera dilakukan. Berita tentang perkawinan ini didengar oleh Sultan HB I yang membuatnya menjadi terharu. Seketika itu juga kemaran Sultan mereda, bahkan beliau merestui perkawinan tersebut dan mengirimkan sumbangan yang banyak ke keraton Surakarta.
Akhirnya Sultan HB I berkenan memanggil Yosodipuro ke Yogyakarta untuk menceritakan riwayat anak keturunan Sultan Hadiwijaya. Oleh karena jasanya ini, Yosodipuro diberi hadiah berupa uang, pakaian, dan tanah yang disukainya. Yosodipuro memilih tanah di Pengging yang kelak menjadi makam beliau dan keturunannya.

Pengepungan Keraton Surakarta
Keraton Surakarta dikepung oleh Belanda dan Kasultanan Yogyakarta pada masa Sunan Pakubuwono IV. Penyebab pengepungan itu adalah Sunan tidak bersedia menyerahkan para abdi sekaligus gurunya, yaitu Kiai Bahman, Kiai Nur Soleh, Tumenggung Wirowirejo, Tumenggung Sujonopuro,dan Tumenggung Prawirodigdo, karena mereka membuat ulah dan memberi nasehat-nasehat kepada Sunan yang meresahkan pihak Belanda maupun Yogyakarta.

Mereka sering memfitnah orang-orang yang dianggap menghalangi tujuan mereka. Di antara orang yang difitnah itu adalah Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Pringgalaya yang diberhentikan dari jabtannya tanpa alasan yang jelas. Selain itu mereka juga membangun permusuhan dengan Belanda maupun Yogyakarta, bahkan berniat mengembalikan Yogyakarta menjadi wilayah kekuasaan Surakarta.

Pada saat itu, Pakubuwono IV masih berumur 23 tahun. Kewibawaannya sebagai pemimpin belum stabil sehingga mudah sekali terpengaruh oleh para guru-gurunya tersebut. Ia sering menyerahkan berbagai persoalan kepada para guru andalannya tersebut, sehingga mereka sering berbuat mendahului titah sang raja.

Pada tahun 1717 M, datanglah utusan Belanda bernama Ideler Jen Grepe ke keraton. Tujuannya adalah meminta untuk menyerahkan semua guru-gurunya kepada Belanda, karena mereka dianggap telah berbuat keonaran,kekeruhan, terputusnya hubungan Surakarta dengan Belanda dan Yogyakarta. Oleh karena permintaan sudah berkali-kali dilakukan dan belum juga mendapat jawaban yang memuaskan, maka Belanda dan Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengepung keraton Surakarta.

Pada saat pengepungan tersebut, Pakubuwono IV memanggil Yosodipuro untuk meminta nasihatnya. Yosodipuro menyarankan agar orang-orang yang diminta oleh Belanda diserahkan saja. Akhirnya Sunan mengambil keputusan untuk menangkap lima orang tersebut dan diserahkan kepada Belanda. Setelah itu, kondisi Kasunanan Surakarta berangsur-angsur aman dan pulih kembali. Hubungan antara Surakarta, Yogyakarta dan Belanda juga mulai membaik.

Sumber gambar: www.budayajawa.id

Menjadi Pujangga Keraton
Jasa terbesar R.Ng. Yosodipuro I adalah perannya sebagai pujangga keraton. Tugas utamanya adalah menjaga, memelihara,dan melestarikan karya-karya sastra lama. Oleh karena itu, ia terlibat aktif dalam membangun perpustakaan keraton dan mengisinya dengan berbagai bacaan. Ia juga memiliki kemampuan menerjemahkan buku-buku berbahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga buku-buku tersebut bisa dibaca banyak orang dan mengetahui secara jelas isi cerita-cerita kuno.
R.Ng. Yosodipuro I berjasa besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan terutama bahasa dan sastra Jawa. Karya-karya dari beliau dibagi menjadi dua bagian,yaitu “mbangun” dan serat-serat enggal. Yang termasuk karya mbangun di antaranya: Bharatayuda, Ramayana, Dewa Ruci, Serat Tajussalatin, Serat Paniti Sastra, Serat Menak, Serat Ambiya, Serat Rama, Serat Mintaraga,dll. Sedangkan yang tergolong serat enggal adalah Babad Giyanti, Babad Pacinan, Babad Gabolek, dan sebagainya.

R. Ng. Yosodipuro I dinilai memiliki paham mistik Islam Kejawen. Dilihat dari isi kandungannya, karya sastra beliau mencerminkan adanya sinkretisme antara Hindu, Budha,dan Islam. Serat Cebolek merupakan contoh karya beliau yang kental dengan nuansa sinkretisme. Yang jelas, unsur religius selalu mendominasi karya-karyanya.

Beliau wafat pada 20 April 1802 (versi lain 14 Maret 1803) dan dimakamkan di Pengging (sekarang masuk Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali). Anak beliau ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pujangga,sehingga ia dikenal dengan Yosodipuro II.

 (Trimanto B. Ngaderi)


[1] Sinar berwarna hijau keputihan
[2] Menjadi orang yang dekat dengan raja
[3] Ada yang menyebut “kuda pancawe”