Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juli 2024

Segitiga Lintas Negara

 Puisi

SEGITIGA LINTAS NEGARA


Kukhayalkan sebuah impian

Kugantungkan sebuah harapan

Kupanjatkan sebuah permohonan

Di segitiga lintas negara


Kulangkahkan kaki di tanah suburmu

Kuedarkan pandangan  di gemerlap kotamu

Kudengarkan desiran angin di pasir putih pantaimu 

Kusaksikan kemegahan gedung-gedung pencakar langitmu

Oh... segitiga lintas negara!


Aku hadir dengan penuh sukacita

Aku datang dengan segenap jiwa-raga

dan, 

Aku mengetuk pintu negaramu dengan kasih asmara 


Wahai... Malaysia, Thailand, dan Singapura!

Saksikanlah bahwa aku datang sebagai seorang pecinta

Laksana seorang kekasih yang merindukan belahan jiwa 





Karya: Trimanto B. Ngaderi 

 

 

 

 


Senin, 30 Maret 2020

Puisi Gus Mus tentang Corona


*TUHAN MENGAJARKAN MELALUI CORONA*

*Karya : KH Mustofa Bisri*



Vatikan sepi
Yerusalem sunyi
Tembok Ratapan dipagari
Paskah tak pasti
Ka'bah ditutup
Shalat Jumat dirumahkan
Umroh batal
Shalat Tarawih Ramadhan mungkin juga bakal sepi.

Corona datang
Seolah-olah membawa pesan bahwa ritual itu rapuh!
Bahwa "hura-hura" atas nama Tuhan itu semu
Bahwa simbol dan upacara itu banyak yang hanya menjadi topeng dan komoditi dagangan saja.

sumber gambar: https://ajnn.net


Ketika Corona datang,
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di Basilika Santo Petrus
Bukan di Ka'bah.
Bukan di dalam gereja.
Bukan di masjid
Bukan di mimbar khotbah
Bukan di majels taklim
Bukan dalam misa Minggu
Bukan dalam sholat Jumat.

Melainkan,
Pada kesendirianmu
Pada mulutmu yang terkunci.
Pada hakikat yang senyap
Pada keheningan yang bermakna.

Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada ritual
Tuhan itu ada pada jalan keputus-asaanmu dengan dunia yang berpenyakit.

Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa.
Kecuali Tuhan itu sendiri!
Tidak ada lagi indoktrinasi yang menjajah nalar.
Tidak ada lagi sorak sorai memperdagangkan nama Tuhan.

Datangi, temui dan kenali DIA di dalam relung jiwa dan hati nuranimu sendiri.
Temukan Dia di saat yang teduh dimana engkau hanya sendiri bersamaNya.

Sesungguhnya Kerajaan Tuhan ada dalam dirimu.
Qalbun mukmin baitullah.
Hati orang yang beriman adalah rumah Tuhan.

Biarlah hanya Tuhan yang ada.
Biarlah hanya nuranimu yang bicara.
Biarlah para pedagang, makelar, politikus dan para penjual agama disadarkan oleh Tuhan melalui kejadian ini.
Semoga kita bisa belajar dan mengambil hikmah dari kejadian ini.

____
Surabaya. 22 Maret 2020 ikhtiar dan bermunajat

Minggu, 29 Maret 2020

Puisi tentang Corona


*KEAGUNGAN CORONA CINTA*
 (karya: Uten Sutendy)



Sambutlah kehadiran keagungan cinta dalam gelombang besar bernama corona.

Ia datang menakutkan banyak orang. Padahal tuk mengingatkan berapa banyak aturan hidup yang dilanggar karena menistakan cinta.

Katanya ia menjadi pandemi,  menghancurkan banyak ruang kehidupan. Padahal hadir tuk membersihkan dan memurnikan cinta kehidupan dari rupa-rupa kotoran dan kemubaziran.

Menyerupai monster global menghantui para penguasa adikuasa dunia. Padahal muncul tuk menutup mulut kesombongan dan menghentikan langkah keangkuhan  mereka, yang  mengatur dunia tanpa aura cinta.

Menjadi bayangan kematian hingga mengoyak-ngoyak  pribadi manusia di banyak negeri. Padahal ia menjelma tuk merapatkan jiwa- jiwa robek, karena kehilangan dan kekeringan mata air cinta.

Mengepung para orang tua hingga mengkhawatirkan anak-anak sekolah. Padahal ia menampakan diri untuk memberi jalan, agar kita segera pulang mendekap mesra anggota keluarga di rumah dengan semangat cinta.

Menghentikan aneka jenis pekerjaan, menghilangkan pendapatan. Padahal ia menunjukkan, bagaimana cara  kita mendekatkan diri kepada pemilik semua pekerjaan  dengan sujud  cinta.

sumber gambar: https://kompas.com


Corona adalah bentuk lain dari cintaNya.

Seperti cinta matahari,  memanaskan bumi lalu menumbuhkan pohon.
Bagai cinta air hujan pada tanah mengalir, menghanyutkan, menenggelamkan, lalu menyuburkan.
Bak cinta api pada tungku, menyala, membakar, lalu mematangkan.
Juga seperti cinta rembulan pada malam, bercahaya, menerangi, lalu menyembunyikan  cinta.





Rabu, 15 Juli 2015

Puisi: Tuhan dan "Tuhan" Kita



Puisi
TUHAN DAN “TUHAN” KITA

Sekarang ini,
Baik Tuhan maupun “Tuhan” telah kian populer
namaNya amat sering disebut-sebut
peran sertanya dalam pembangunan (lokal, nasional, regional, internasional) dan akhirat makin diperhitungkan
dengan kalkulator, orang menghitung berapa potensi Tuhan sebagai faktor produksi
Ia sama sekali tidak konsumtif
Ia merupakan blunder dari mekanisme pasar
Tapi Ia juga dipuja-puji
Sebaliknya, tak jarang Ia juga dimaki-maki dan di-gerundeli
Orang minta di-keloni Tuhan bak babi buta atau kerbau tuli
Tapi orang juga ngambek, purik, bahkan minggat dariNya,
Meskipun terpaksa ketemu Dia juga di mana pun,
Dalam wajahNya yang mungkin sudah tidak mirip dengan yang dianggapnya semula

Tuhan menjadi psikiater, sekaligus kambing hitam
Bagi orang yang mengalami patah hati sosial, ekonomi, politik, dan budaya
Tuhan juga menjadi sepah, yang habis manis lantas dibuang
Orang baik-baikan sama Tuhan kalau lagi butuh
Dipuji wajahnya ganteng ketika orang mendapat rejeki
Tuhan dipanggil-panggil, di-rasani sambil petan, lobi, andok di warung bajigur, rapat redaksi, atau seminar kemiskinan di hotel bintang 6
Tuhan makin dicintai baik dengan cara menggandeng tanganNya maupun dengan membenciNya
Tuhan ‘diadakan’ dan ‘ditiadakan
Keduanya sama mesranya, sama sakralnya, sama khusyu’ dan fanatiknya

Tuhan makin populer,
Namun karena itu, berlangsung di kalangan masyarakat manusia, maka popularitasNya bersifat manusiawi
Kadang agak hewani, terkadang bau-bau Ilahi
Manusia hanya sedikit lebih dari binatang
tapi ia menjadi istimewa karena seolah-olah kerasukan Tuhan
di satu pihak, ia merasa dialah sang Tuhan
di lain pihak, manusia saja yang terasa ada
dalam formulasi ke-ada-an yang nge-Tuhan jua
demikianlah, Tuhan bagaikan Cocacola, Cocacola bagaikan Tuhan
‘di mana saja’ dan ‘kapan saja’
Dengan pengakuan atau pengingkaran
Dengan namaNya maupun pseudo-asmaNya
Manusia mengepung Tuhan
Manusia mengepung yang disebut ketiadaan Tuhan
Atau,
Tuhan mengepung manusia
Tuhan mengepung lingkaran ketiadaan Tuhan dalam diri manusia
Asyik .....
Tuhan sendirian, namun mengepung miliaran manusia

Saudara, saudara!
Sepengetahuan orang banyak, Tuhan berdomisili di rumah agama
begitu banyak orang mengerumuni rumah itu
Baik untuk tempat pelarian maupun sebagai sumur dari teori kemajuan
Rumah tinggal Tuhan seperti gua Ali Baba – yang menyimpan harta karun misterius
Yang kini orang datang untuk menagih ‘hutang
Ayo Tuhan, katanya Kamu adil, mana keadilan sosial?
Katanya agamaMu merangsang kreativitas
Mengapa orang-orang lama mementingkan kejumudan dan orang-orang baru menyembah konsumsi?
Rumah Tuhan dianggap warisan tuan-tuan tanah kaya Eropa abad pertengahan atau haji-haji desa Jawa
Kini orang-orang berduyun-duyun menyelenggarakan ‘duel’ perhitungan baru, politis dan ekonomis
Tuhan merupakan oknum yang tersangkut amat serius dalam hal ini
Orang bertanya “Apakah Tuhan bersedia menjadi salah seorang menteri dalam kabinet pembangunan, inisiator industri, manajer perusahaan, pengiklan politik, misionaris Keluarga Berencana, legitimator tebu intensifikasi, hostes pariwisata Borobudur, memobolisasi buruh pabrik

Apakah Tuhan merupakan faktor produktif atau menjadi biang kebangkrutan pembangunan
Sama sekali tidak tergantung pada Tuhan, melainkan pada diri kita sendiri
Pada semua pejalan pembangunan dan pengubah sosial
Sejak sekian ribu juta tahun sebelum Masehi
Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kini merepotkan kita
Dengan segala pekerjaan internasional yang kita sebut pembangunan
Kini, ...
Ketika banyak hal di dalam yang disebut pembangunan itu, ternyata omong kosong
Tiba-tiba kita menggugat Tuhan, menuduhNya, membuangNya
Atau justru mengadu kepadaNya
Seakan-akan Ia adalah putra Pak Karto Semprul
Yang kita kejar-kejar supaya ikut gugur-gunung melaksanakan pembangunan
Kita mengembangkan peradaban yang cenderung makin keliru mengenaliNya
Keliru mengeksploitasi Tuhan untuk kepentingan monopoli ekonomi-politik
Keliru memahami Tuhan sebagai Bhatara Wisnu
Yang akan menitis lagi ke satu oknum di bumi setelah Sri Kresna – titisan ke-10

Kita kurang melihat Tuhan sebagai nilai yang merangsang cakrawala kreativitas manusia
Tuhan kita asosiasikan sebagai suatu kuantitas personal atau figur yang berada di luar diri kita – langit yang mewah dan elitis
Tuhan seperti seorang pemberi hadiah yang seolah-olah masih punya hutang anugerah kepada kita
Seolah-olah apa yang sudah dimiliki oleh manusia di dalam dirinya belum merupakan anugerah
Kita memanggil-manggil Tuhan sebagai sesuatu yang luks
Sehingga orang lain berputus asa
Menganggap Tuhan itu bikinan kita sendiri
Tuhan dianggap sebagai penghalang pembangunan

Di satu pihak,
Orang mengeksploitir nilai Tuhan untuk menindas
Di pihak lain,’orang meratuadilkan Tuhan
Sehingga mereka tak bekerja keras untuk memperjuangkan dirinya

(diambil dari buku “Sedang Tuhan pun Cemburu” karya Emha Ainun Nadjib subjudul Petruk, Agama, dan Perubahan Sosial)