Cari Blog Ini

Senin, 09 November 2015

Peluang Bisnis Herbal untuk Kesehatan dan Kecantikan


Bismillah...

Punya banyak kenalan, relasi, komunitas, pertemuan arisan, PKK, pengajian, organisasi, dll?

Yuk, kita potensialkan, jadikan setiap aktivitas kita lebih bermanfaat dan produktif.

Insya Allah HPAI siap berbagi peluang yang sangat luar biasa.

Peluang meraih sukses dunia akhirat dengan sesuatu yang halal. Peluang meraih hidup sehat penuh makna dengan konsep Thibbun Nabawi. Peluang menjadi Dokter Pribadi di rumah sendiri dengan mudah dan sederhana. Peluang bisnis yang halal dan barakah dengan konsep rumahan, mudah, murah, dan prospektif. Peluang bertemu saudara yang penuh semangat.

Anda Mau?
 
(Persembahan PT Herbal Penawar Alwahida Indonsia – HPAI)

Untuk bisa mendapatkan produk HPAI, kita bisa menjadi KONSUMEN Biasa atau AGEN. Yang pasti, dengan menjadi AGEN akan lebih banyak keuntungannya dibanding hanya sekedar menjadi KONSUMEN.

HPAI memberikan dua PELUANG yang bisa kita ambil selaku AGEN, yaitu:
1.      BISNIS
2.      ILMU

Dengan BISNIS, kita bisa menjadi usahawan Muslim layaknya Abdurrahman bin Auf atau Siti Khodijah abad 21. BISNIS HPAI yang bisa kita jalankan adalah: Agen Herba, Bisnis Jaringan, Halalmart HPAI.

Dengan ILMU, kita berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan mampu memaksimalkan potensi yang Allah anugerahkan kepada kita. ILMU yang bisa kita dapatkan antara lain: Kuliah Herba Thibbunnabawi (KHT), HPAI Business Coaching (HBC), Kepemimpinan, Pembinaan Karakter, dll.

Insya Allah dengan kita berada di komunitas Halal Network HPAI membuat diri kita menjadi (5-S): Selamat, Sehat, Smart, Sejahtera, dan banyak Saudara.

Untuk mendaftar menjadi Agen HPAI hanya Rp 30.000,- dengan fasilitas:
1)      Kartu Agen (Diskon)
2)      Buku Panduan Sukses
3)      Buku Katalog Produk
4)      Personal Web AVO (Agent Virtual Office)
5)      Free Konsultasi Bisnis dan Herbalis

Anda dan keluarga sudah menjadi AGEN HPAI?

Atau mau langsung punya Toko Herbal-Halalmart, bisa langsung menjadi Stokist. Hanya dengan modal Rp 5 juta, barang akan dikirim sampai tujuan di seluruh Indonesia tanpa ongkos kirim/GRATIS. Barang yang dibeli bisa sesuai pilihan sendiri berdasarkan yang ada di katalog produk. Ada garansi 3 (tiga) bulan, jika ada barang yang tidak laku bisa ditukar; bahkan jika tidak laku sama sekali bisa dikembalikan (syarat dan ketentuan berlaku).
Jika menjadi Stockist tidak harus ditunggu setiap hari seperti toko biasa, tapi bisa dipasarkan orang per orang (door to door) atau mencari agen (member) baru HPAI di daerah sana agar mereka yang membantu memasarkannya.

Info Member/Stockist: Trimanto (0817-6041817 WA / 0857-19856253)

Rabu, 15 Juli 2015

Puisi: Tuhan dan "Tuhan" Kita



Puisi
TUHAN DAN “TUHAN” KITA

Sekarang ini,
Baik Tuhan maupun “Tuhan” telah kian populer
namaNya amat sering disebut-sebut
peran sertanya dalam pembangunan (lokal, nasional, regional, internasional) dan akhirat makin diperhitungkan
dengan kalkulator, orang menghitung berapa potensi Tuhan sebagai faktor produksi
Ia sama sekali tidak konsumtif
Ia merupakan blunder dari mekanisme pasar
Tapi Ia juga dipuja-puji
Sebaliknya, tak jarang Ia juga dimaki-maki dan di-gerundeli
Orang minta di-keloni Tuhan bak babi buta atau kerbau tuli
Tapi orang juga ngambek, purik, bahkan minggat dariNya,
Meskipun terpaksa ketemu Dia juga di mana pun,
Dalam wajahNya yang mungkin sudah tidak mirip dengan yang dianggapnya semula

Tuhan menjadi psikiater, sekaligus kambing hitam
Bagi orang yang mengalami patah hati sosial, ekonomi, politik, dan budaya
Tuhan juga menjadi sepah, yang habis manis lantas dibuang
Orang baik-baikan sama Tuhan kalau lagi butuh
Dipuji wajahnya ganteng ketika orang mendapat rejeki
Tuhan dipanggil-panggil, di-rasani sambil petan, lobi, andok di warung bajigur, rapat redaksi, atau seminar kemiskinan di hotel bintang 6
Tuhan makin dicintai baik dengan cara menggandeng tanganNya maupun dengan membenciNya
Tuhan ‘diadakan’ dan ‘ditiadakan
Keduanya sama mesranya, sama sakralnya, sama khusyu’ dan fanatiknya

Tuhan makin populer,
Namun karena itu, berlangsung di kalangan masyarakat manusia, maka popularitasNya bersifat manusiawi
Kadang agak hewani, terkadang bau-bau Ilahi
Manusia hanya sedikit lebih dari binatang
tapi ia menjadi istimewa karena seolah-olah kerasukan Tuhan
di satu pihak, ia merasa dialah sang Tuhan
di lain pihak, manusia saja yang terasa ada
dalam formulasi ke-ada-an yang nge-Tuhan jua
demikianlah, Tuhan bagaikan Cocacola, Cocacola bagaikan Tuhan
‘di mana saja’ dan ‘kapan saja’
Dengan pengakuan atau pengingkaran
Dengan namaNya maupun pseudo-asmaNya
Manusia mengepung Tuhan
Manusia mengepung yang disebut ketiadaan Tuhan
Atau,
Tuhan mengepung manusia
Tuhan mengepung lingkaran ketiadaan Tuhan dalam diri manusia
Asyik .....
Tuhan sendirian, namun mengepung miliaran manusia

Saudara, saudara!
Sepengetahuan orang banyak, Tuhan berdomisili di rumah agama
begitu banyak orang mengerumuni rumah itu
Baik untuk tempat pelarian maupun sebagai sumur dari teori kemajuan
Rumah tinggal Tuhan seperti gua Ali Baba – yang menyimpan harta karun misterius
Yang kini orang datang untuk menagih ‘hutang
Ayo Tuhan, katanya Kamu adil, mana keadilan sosial?
Katanya agamaMu merangsang kreativitas
Mengapa orang-orang lama mementingkan kejumudan dan orang-orang baru menyembah konsumsi?
Rumah Tuhan dianggap warisan tuan-tuan tanah kaya Eropa abad pertengahan atau haji-haji desa Jawa
Kini orang-orang berduyun-duyun menyelenggarakan ‘duel’ perhitungan baru, politis dan ekonomis
Tuhan merupakan oknum yang tersangkut amat serius dalam hal ini
Orang bertanya “Apakah Tuhan bersedia menjadi salah seorang menteri dalam kabinet pembangunan, inisiator industri, manajer perusahaan, pengiklan politik, misionaris Keluarga Berencana, legitimator tebu intensifikasi, hostes pariwisata Borobudur, memobolisasi buruh pabrik

Apakah Tuhan merupakan faktor produktif atau menjadi biang kebangkrutan pembangunan
Sama sekali tidak tergantung pada Tuhan, melainkan pada diri kita sendiri
Pada semua pejalan pembangunan dan pengubah sosial
Sejak sekian ribu juta tahun sebelum Masehi
Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kini merepotkan kita
Dengan segala pekerjaan internasional yang kita sebut pembangunan
Kini, ...
Ketika banyak hal di dalam yang disebut pembangunan itu, ternyata omong kosong
Tiba-tiba kita menggugat Tuhan, menuduhNya, membuangNya
Atau justru mengadu kepadaNya
Seakan-akan Ia adalah putra Pak Karto Semprul
Yang kita kejar-kejar supaya ikut gugur-gunung melaksanakan pembangunan
Kita mengembangkan peradaban yang cenderung makin keliru mengenaliNya
Keliru mengeksploitasi Tuhan untuk kepentingan monopoli ekonomi-politik
Keliru memahami Tuhan sebagai Bhatara Wisnu
Yang akan menitis lagi ke satu oknum di bumi setelah Sri Kresna – titisan ke-10

Kita kurang melihat Tuhan sebagai nilai yang merangsang cakrawala kreativitas manusia
Tuhan kita asosiasikan sebagai suatu kuantitas personal atau figur yang berada di luar diri kita – langit yang mewah dan elitis
Tuhan seperti seorang pemberi hadiah yang seolah-olah masih punya hutang anugerah kepada kita
Seolah-olah apa yang sudah dimiliki oleh manusia di dalam dirinya belum merupakan anugerah
Kita memanggil-manggil Tuhan sebagai sesuatu yang luks
Sehingga orang lain berputus asa
Menganggap Tuhan itu bikinan kita sendiri
Tuhan dianggap sebagai penghalang pembangunan

Di satu pihak,
Orang mengeksploitir nilai Tuhan untuk menindas
Di pihak lain,’orang meratuadilkan Tuhan
Sehingga mereka tak bekerja keras untuk memperjuangkan dirinya

(diambil dari buku “Sedang Tuhan pun Cemburu” karya Emha Ainun Nadjib subjudul Petruk, Agama, dan Perubahan Sosial)




Jumat, 19 Juni 2015

Hakikat Kerja Dalam Agama




HAKIKAT KERJA DALAM AGAMA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Ada orang yang bekerja sekedar menjalankan perintah, mengerjakan tugas. Ada lagi yang bekerja hanya ABS (Asal Bapak Senang), menyenangkan atasannya. Ada pula yang bekerja cuma setengah hati, tanpa kualitas tanpa spiritualitas.
Ada orang bekerja dengan cara merugikan orang lain, berbuat curang, zhalim, hingga menipu. Pada tingkatan yang parah, bekerja dengan cara yang tidak halal, seperti mencuri, baik mencuri dalam pengertian yang sesungguhnya maupun mencuri secara “halus” atau kita kenal sebagai korupsi.
Banyak orang menganggap bahwa bekerja hanya sekedar mencari uang semata. Bekerja hanya untuk mencari penghidupan jasmaniah saja. Bekerja cuma agar bisa makan dan tidak sampai kelaparan. Mereka memisahkan urusan kerja dengan urusan ibadah. Mereka memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Bahwa kerja tak ada hubungannya dengan kehidupan rohaniah. Bahwa kerja terbebas dari nilai-nilai spiritual.

Hakikat Kerja
Secara etimologis, “kerja” berarti kegiatan melakukan sesuatu. Sebagai kata dasar, istilah kerja mengandung suatu proses dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan berkaitan dengan gerakan yang dilakukan manusia.  Menurut Abdul Aziz al-Qussy yang menulis buku diterjemahkan oleh Zakiah Daradjat dengan judul Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental,menjelaskan bahwa perbuatan atau gerak yang terjadi pada diri manusia terdiri dari dua jenis, yaitu pertama, perbuatan atau gerak yang dilakukan dengan sengaja yang didasari oleh akal pikiran, kedua, perbuatan atau gerak yang dilakukan secara spontan, seperti gerakan pada bayi. 
Kerja yang didasari oleh akal untuk mencapai tujuan tertentu biasanya diiringi proses melakukan tindakan atau pekerjaan secara sistematis dan beraturan. Sisi beraturan satu pekerjaan merupakan gambaran yang nyata bahwa setiap pekerjaan tersebut mengandung makna tertentu. Sementara kerja sisi yang kedua hanya merupakan gerak atau kerja yang terjadi tanpa dorongan atau proses berpikir.
Dalam Islam disebutkan “Tiadalah Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dari ayat ini jelas bahwa manusia diciptakan ke dunia tiada lain hanya untuk beribadah kepada Allah. Namun, tidak sedikit umat Islam yang menafsirkan ibadah di sini hanya ibadah mahdhah (vertikal) semata, seperti shalat, puasa, zakat, dzikir, atau membaca kitab suci. Padahal ibadah yang dimaksud mencakup pula ibadah ghairu-mahdhah (horisontal), seperti belajar, bertetangga, kegiatan sosial, dan tentunya bekerja.
Dalam Alkitab dinyatakan “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose 3:23-24). Dalam keyakinan Hindu pun, dalam Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa “yadnya berasal dari karma”.  Ini berarti bahwa dalam yadnya perlu adanya kerja, karena dalam yadnya menuntut adanya perbuatan. Tuhan menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan yadnya maka patutlah manusia pun melaksanakan yadnya untuk memelihara kehidupan didunia ini. Tanpa adanya yadnya maka perputaran roda kehidupan akan berhenti.
KERJA mendapat tempat dan perhatian khusus dalam agama-agama. Orang yang meyakini Tuhan akan melakukan kerja. Kerja dan amal shalih merupakan wujud iman seseorang. Bergerak dan berbuat sesuatu karena dorongan ilahiyah.
Antara ibadah vertikal dan ibadah horisontal terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Orang yang melakukan shalat atau puasa, harus tergerak untuk bekerja dan beramal kebajikan untuk kemaslahatan bersama. Sebaliknya, orang melakukan kerja harus diniatkan untuk beribadah dan dalam rangka menebarkan nilai-nilai rohaniah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah (bekerja) sejalan dengan peran yang akan dijalankan manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi.
Ketika banyak PNS yang keluyuran saat jam kerja atau pulang sebelum waktunya, reward yang tak berbanding lurus dengan kinerja, anggota dewan yang absen rapat, mereka belum memahami hakikat kerja. Ketika orang menghabiskan waktunya untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul, nongkrong atau kongkow, main game, main kartu, bahkan hanya duduk berdiam diri; ia sesungguhnya telah membuang-buang waktu dan mengingkari kerja.
Begitu banyak oknum di negeri ini yang sedikit bekerja tapi mengharap hasil atau imbalan yang banyak, bahkan lebih dari banyak. Mereka belum memberikan yang terbaik untuk negara, bahkan belum bekerja, tapi sudah menuntut berbagai fasilitas dan tunjangan. Dan ketika keserakahan mereka telah memuncak, tanpa malu dan tanpa ragu mereka menilep uang negara lewat korupsi.

Kerja adalah Amanah
Ketika orang memandang kerja bukan sebagai amanah, tapi lebih kepada alat, kekuasaan, aji mumpung; maka sudah pasti ia akan memanfaatkan pekerjaan itu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, untuk menumpuk kekayaan, atau memuaskan nafsu keserakahan. Bahkan, ia rela melakukan tindakan amoral dan melawan hukum demi mencapai tujuannya, seperti manipulasi, rekayasa, kolusi, markup, dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya.
Lain halnya yang memandang kerja sebagai amanah, ia akan melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan berdedikasi, penuh semangat dan antusias, produktif dan prestatif; serta yang amat vital adalah bahwa pekerjaannya itu nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan dengan semangat keimanan, lewat pekerjaannya ia akan berusaha memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.
Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan, manusia harus melaksanakan tugas dan amanat kekhalifahannya dengan baik di muka bumi. Hidup tidak hanya dimaknai sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi sebagai amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Sekurang-kurangnya ada empat tingkatan pemahaman manusia dalam memaknai pekerjaannya. Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material, atau sekedar mencari sesuap nasi. Ini merupakan fenomena orang kebanyakan. Kedua, orang yang bekerja untuk memperbanyak pertemanan (to love), ia memaknai pekerjaannya tak sekedar mencari uang dan harta, tapi juga untuk memperbanyak pergaulan. Motif utamanya adalah silaturrahmi, relasi sosial, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations).
Ketiga, orang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai sarana mencari ilmu, menambah wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Motif utama tipe ketiga ini adalah intelektualisme. Terakhir, orang yang bekerja untuk berbagi kebahagiaan dan mewariskan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave legacy). Motif utamanya adalah spiritualisme (rohaniyah). Tipe yang keempat inilah orang yang oleh Nabi saw disebut sebagai khairu an-nas, orang yang paling besar manfaatnya bagi orang lain.
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat tersebut bisa diberikan melalui ihsan, yaitu kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain baik melalui harta (bil al-mal) maupun kekuasan (bi al-jah) yang kita miliki. Sedangkan warisan kebaikan bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi (bantuan material) maupun sesuatu yang bernilai ukhrawi, seperti ilmu, ide, pemikiran, atau nasihat yang membawa manusia kepada kebaikan.

Penutup
Sudah seyogyanya seorang yang mengaku beriman dan beragama untuk memahami hakihat bekerja secara baik dan komprehensif agar setiap hal yang dikerjakannya memiliki manfaat bagi dirinya sendiri, bagi orang lain, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Bekerja adalah tugas suci dan mulia yang harus diemban oleh setiap manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah di bumi, dan menjadi perpanjangan “tangan” Tuhan dalam menegakkan kebenaran.

Rabu, 25 Februari 2015

Resensi novel “Bulan Nararya” karya Sinta Yudisia



NARARYA, BULANNYA PENDERITA SKIZOFRENIA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)


Novel terbaru dari novelis perempuan Indonesia, Sinta Yudisia berjudul “Bulan Nararya” yang diterbitkan oleh Indiva Media Kreasi, termasuk novel dengan “nuansa” baru, berbeda dengan novel-novel Sinta Yudisia sebelumnya, bahkan berbeda dengan novel-novel yang menjadi ciri khas karya anggota Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya.
Novel ini menceritakan seorang terapis bernama Nararya (dipanggil Rara), yang bekerja di sebuah pusat rehabilitasi mental, terutama untuk para penderita skizofrenia. Bagaimana suka-duka dalam merawat dan menghadapi klien (sebutan untuk pasien); bagaimana berinteraksi dan membangun hubungan dengan mereka termasuk dengan keluarganya; berusaha mencari tahu latar belakang mereka dan keluarga (mengapa bisa mengalami skizofrenia); termasuk meyakinkan pihak keluarga agar bisa menerima mereka kembali.

Tokoh lain dalam novel ini adalah Bu Sausan, pemilik pusat rehabilitasi, perempuan setengah baya yang tidak pernah menolak klien, generasi senior, patuh pada klien, dan kurang menyukai inovasi. Moza, teman kerja Rara sekaligus sahabat dekat. Pak Gatot dan Pak Taufiq, penjaga. Sedangkan para klien seperti Sania, Pak Bulan, dan Yudistira.
Walau seorang terapis skizofrenia, ternyata Rara juga memiliki masalah pribadi yang menyebabkan dia mengalami gangguan halusinasi. Tak jarang ia seperti melihat kelopak mawar dan ceceran darah di ruang kerjanya maupun di tempat lain. Ia juga mengalami kegagalan dalam berumah tangga. Drama cinta segitiga terjadi ketika Angga mantan suami Rara mencinta dan menikahi Moza. Selain itu, Rara pun mengagumi Yudistira, kliennya.
Diceritakan, bagaimana perjuangan Rara untuk meyakinkan Pak Robin, yang seorang pemabuk, agar mau menerima Sania putrinya. Dulunya, Sania adalah dari keluarga miskin, penuh tindak kekerasan, hanya sampai kelas 2 SD, ditemukan di terminal dengan kondisi mengenaskan oleh Dinsos saat razia. Juga meyakinkan Bu Weni, ibu Yudistira, kakak-kakak Yudistira (Srikandi, Ajani, Utari), serta Diana, istri Yudistira. Konflik semakin rumit ketika siapa kelak yang akan merawat Yudistira.
Yang tak kalah menarik dalam novel ini adalah perjuangan Rara dalam meyakinkan Bu Sausan dan klinik akan sebuah metode terapi yang dianjurkannya, yaitu metode transpersonal, yang tujuannya adalah agar klien tidak selalu tergantung pada farmakologi. Walau pada akhir cerita Bu Sausan mulai melunak dan bisa menerima gagasan Rara, tapi ide itu belum bisa diterapkan dalam waktu saat ini.
Novel ini ditulis dengan gaya dan pendekatan baru, yang berbeda dengan novel-novel Sinta sebelumnya atau FLP pada umumnya. Biasanya novel-novel FLP terkenal Islami atau kental nuansa dakwahnya. Sedangkan dalam novel ini, hampir tidak kita temui nama-nama Islam, ungkapan-ungkapan Islami, atribut atau simbol keagamaan, atau perilaku yang menggambarkan tingkat kesalehan tertentu.
Sekalipun demikian, bukan berarti novel ini tidak Islami, tetap ada nilai-nilai Islam di dalamnya, hanya digambarkan secara implisit atau tersirat saja. Contoh: nilai-nilai seperti panggilan untuk membantu sesama, menghargai orang lain, peduli kepada yang sedang menderita, kesabaran, toleran, keyakinan akan kesembuhan, dan lain-lain).
Adapun beberapa pesan yang dapat diambil pelajaran dari novel ini di antaranya: (1) teguh memegang prinsip atau ide yang diperjuangkan sampai terwujud; (2) penderita skizofrenia bukanlah orang yang tak berguna, dibuang, atau dijauhi; tapi harus dirawat layaknya manusia seutuhnya, agar bisa kembali pada kehidupan normal, kembali pada keluarganya; (3) yang punya masalah kehidupan tidak hanya klien saja, terapisnya pun bisa punya masalah, termasuk halusinasi yang dialami kliennya; (4) banyak hikmah dan pelajaran hidup yang bisa diambil dari para klien.
Beberapa hal yang bisa menjadi titik lemah dari novel ini adalah soal tema. Tidak semua orang menyukai tema tersebut, terlebih bercerita tentang “orang gila” yang secara umum masih dihindari banyak orang. Apa menariknya mengetahui hal-ihwal orang gila secara lebih mendalam. Termasuk istilah-istilah asing yang mungkin membuat kening pembaca berkerut. Dari segi jalan cerita maupun peristiwa-peristiwa “aneh” yang terjadi, terkadang pembaca merasa kesulitan untuk dapat menikmati cerita secara enak dan terang.
Akhirul kata, secara umum novel ini cukup kuat karena isi ceritanya merupakan apa yang sedang digeluti oleh penulisnya saat ini. (Surakarta; 24/02/2015 17:40:21)


*) Pegiat Forum Lingkar Pena