Cari Blog Ini

Senin, 27 Januari 2014

WELCOME TO 17th FLP



WELCOME TO 17th FLP


Tanggal 22 Februari 2014 besok, FLP genap berusia 17 tahun. Sweet seventeen-lah untuk istilah remaja sekarang. Usia remaja akhir atau menginjak usia dewasa. Wow, tidak berasa, sudah selama itu FLP berdiri.
Dalam perjalanan panjangnya itu, banyak hal yang telah dicapai, akan tetapi lebih banyak hal lagi yang belum tercapai. Kalau untuk anak mereka sebentar lagi akan dewasa, maka apakah FLP juga sudah dewasa? Dewasa dalam pengelolaan organisasi; dewasa dalam pendanaan, dewasa dalam karya, dewasa dalam partisipasi pembangunan bangsa; dan serta sederetan dewasa-dewasa lainnya.
Kita tidak akan menutup mata dengan berbagai prestasi, penghargaan, dan capaian yang telah diraih selama ini. Namun, tujuh belas tahun telah berlalu. Dan selama itu pula kita masih disibukkan dan berkutat pada masalah-masalah klasik seperti pengurus tidak aktif-lah, kegiatan vakum, tidak ada dana-lah, komunikasi dan koordinasi antarcabang-wilayah-pusat yang belum klop, dan berbagai persoalan klise lainnya.
Semuanya berulang, dan terjadi berulang-ulang. Akan sampai kapan? 5, 10, 15, 25, atau bahkan 50 tahun lagi.
Kita sebenarnya punya potensi dan sumber daya yang besar untuk mencapai kemajuan, bahkan menjadi sebuah pergerakan perubahan. Tapi potensi dan sumber daya itu belum dikelola secara baik dan optimal. Seharusnya, umur tujuh belas tahun adalah saatnya untuk EKSTENSIFIKASI. Lha ini, intensifikasi (urusan internal) aja hampir tak pernah beres dan selesai.

FLP Pusat sebagai Kunci
Sebagai pemegang “kekuasaan” dan koordinasi tertinggi, Pusat sudah semestinya menjadi penggerak kemajuan. Menyaring berbagai aspirasi dari wilayah maupun cabang sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan yang bersifat nasional.
Agar fungsi komunikasi dan koordinasi bisa berjalan dengan baik, Pusat seyogyanya sering berkunjung ke wilayah atau cabang (syukur terjadwal) untuk mengetahui kondisi riil dan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Hal ini akan lebih mendekatkan Pusat dengan wilayah-cabang. Jadi, Pusat tidak sekedar “mitos”, tapi nyata dan berbuat sesuatu.
Bahkan, ada cara yang lebih mudah dan murah (malah bisa gratis) untuk membangun kedekatan, misalnya lewat SMS, BBM, inbox dll. Misalnya bisa bertanya: Bagaimana kabar FLP anu, apa kegiatannya, apa kendalanya, apa yang perlu dibantu, dan berbagai bentuk perhatian lainnya.
Lebih dari itu, syukur-syukur ada perhatian secara personal kepada pengurus atau anggotanya. Misalnya saja, ada pengurus Pusat yang menanyakan kabar Ketua FLP Solo lewat SMS. Wah, ini kan luar biasa banget (tapi sayangnya tidak ada, hehe….:)). Hal sepele dan remeh-temeh, tapi dampaknya besar.

*****
Tidak perlu berpanjang kata atau banyak berteori. Intinya kita semua berharap kepengurusan baru FLP Pusat dan semua FLP wilayah-cabang di seluruh Indonesia dan dunia bisa membawa perubahan dan kemajuan yang berarti, minimal untuk internal FLP; terlebih lagi bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Jikalau hal ini bisa diwujudkan, sangat layak kita mengucapkan “sweet seventeen” untuk FLP, bukannya “bitter seventen”. (Trimanto)


Selasa, 31 Desember 2013

REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP



REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP


Adakalanya rasa syukur itu disimpan dalam hati dan tidak diungkapkan; adakalanya diekspresikan lewat kata-kata; dan ada pula yang diawujudkan dalam tindak-laku perbuatan. Nah, melalui tulisan ini, aku ingin sekali mengungkapkan rasa syukurku kepada FLP lewat untaian kata dan kalimat.

Dulu, sebelum aku bergabung di FLP Depok, aku orangnya sangat pemalu dan minderan. Bertemu dengan orang yang lebih kaya atau lebih pandai aku minder. Berbicara di depan umum juga malu dan tidak percaya diri. Aku merasa lebih rendah dari orang lain. Merasa banyak kekurangan, merasa tidak mampu, dan berbagai atribut negatif lainnya.

Akan tetapi, setelah bergabung di FLP (2006) dan tiga tahun kemudian dijadikan pengurus – walau sebenarnya aku ini belum bisa nulis “beneran” – telah merubah segalanya. Percaya diri meningkat (terkadang over-pede malah, hehe…), diminta berbicara di depan hayuk aja (yang penting berani dulu to).

Lebih dari itu, setelah melewati perenungan yang panjang, ternyata menjadi orang itu yang benar haruslah rendah hati, bukan rendah diri. Berhadapan dengan siapapun tidak boleh merasa minder atau rendah diri. Keyakinan ini lama-kelamaan membentuk konsep diri aku yang utuh. Bahwa manusia ini sejajar-setara, yang membedakan hanyalah ilmu dan amalnya (Islam = taqwa). Sehingga kalau aku ketemu pejabat kek, kyai-lah, guru besar, pakar, atau apalah, aku menempatkan diri setara dengannya.

Yang tak kalah penting adalah dengan gabung di FLP aku bisa belajar banyak hal dan belajar kepada banyak orang. Jika boleh menyebut di antaranya: dengan Taufan E. Prast bisa belajar bagaimana menikmati dan memaknai hidup ini secara sederhana sekaligus benar; dengan Yanuardi Syukur bisa belajar bagaimana menjadi seorang “priyayi” terpelajar; dengan M. Irfan Hidayatullah belajar akan kelembutan dan kehalusan budi; dengan Pipiet Senja meneladani semangat hidup dan perjuangan; dan masih banyak lagi.

Dengan FLP Hongkong belajar soal kerja keras dan  pengorbanan; dengan FLP Ciputat belajar tentang konsep nasionalisme, demokrasi dan pluralisme (tiga kata yang terkadang cukup “sensitif” di FLP).

Pokoknya banyak hal dech yang sudah aku dapatkan di FLP dan banyak perubahan hidup pada diriku. Terima kasih FLP, terima kasih semuanya.

Menjadi Pengurus FLP
Menjadi pengurus FLP tidaklah mudah, tapi juga tidaklah sulit. Memang, butuh niat dan pengorbanan. Pengalaman menjadi pengurus cabang, pengurus wilayah, dan kemudian pengurus cabang lagi (harusnya naik pangkat jadi pengurus pusat ya, hihi…) membuatku memiliki sudut pandang yang berbeda terkait amanah di FLP.

Doktrin-doktrin seperti ingin berdakwah, ladang amal, pahala atau semacamnya; sepertinya tidak lagi ampuh agar seseorang mau menjadi pengurus atau berbuat sesuatu untuk FLP. Dalam berbagai bidang kehidupan, biasanya motif ekonomi dan disusul kemudian motif sosial lebih dominan daripada sekedar motif agama. Motif agama bersifat abstrak dan tidak bisa dinikmati saat ini, terlebih di zaman yang cenderung hedonistik dan materialistik ini. Bukti nyata adalah banyak FLP yang tidak aktif, mati suri, antara ada dan tiada, gonta-ganti pengurus, besar di permukaan.

Sebagai perbandingan, mengapa motif agama tidak begitu menarik adalah dalam hal sebaliknya, yaitu banyak orang yang tak lagi takut dosa, siksa, neraka, adzab dll walau ia seorang tokoh agama sekalipun (kasus korupsi).

Kembali ke laptop, eh kembali ke FLP. Kalau aku sendiri yang saat ini dijadikan ketua (walau aku sudah menolak sedemikian rupa, tapi sedikit “diperkosa”), ya yang jelas aku lebih mengutamakan kepentingan keluargaku dululah, soalnya kalau mengabaikan mereka aku kan bisa berdosa; sedangkan kalau menomorduakan FLP paling di-unek-unekke thok.

Penumpang Gelap
Kita sih sudah pada sepakat kalau FLP itu gerakan dakwah bil qalam, memberikan pencerahan, kampanye gemar membaca-menulis dan semacamnya. Tapi menurutku, jika ada yang punya motif politik di FLP, ya bisa jadi. Dalam pandangan “mata batin” ku kiranya adalah yang seperti itu. Ibarat satu gerbong yang disusupi penumpang gelap.

Menarik juga akhir-akhir ini FLP sering dihubung-hubungkan dengan parpol tertentu. Bahkan ada yang berani menyatakan “hampir 100% pengurus BPP adalah kader partai tertentu”. Kok tanggung amat, kok nggak dibilang sekalian “hampir 100% pengurus FLP cabang dan wilayah di Indonesia dan luar negeri adalah kader partai tertentu” (jadi pingin mengucapkan amin 1000x dah J).

Pastinya kalau sering disebut-sebut gitu tetap ada dampak positifnyalah bagi partai tersebut. Walupun kader partai itu sedang ada noda atau koreng, paling tidak nama partai itu menguat di memori dan makin mudah diingat, dan suatu saat nanti noda atau koreng tadi akan dilupakan orang.

Kekhawatiran akan adanya "pekaesisasi" di tubuh FLP sepertinya terlalu berlebihan, tapi bisa juga benar adanya. Berlebihan karena orang-orang FLP pintar dan cerdas, tentu tidak mudah dipengaruhilah. Bisa benar jika para “penumpang gelap” itu melakukan gerakan bawah tanah, aksi laten, atau pandai menjadi bunglon.

Terlepas dari semua itu, aku pribadi sangat senang dengan dunia politik.

Akhir kata, selamat memasuki tahun 2014 ya. (Trimanto)

Jumat, 06 Desember 2013

MERAJUT ASA PADA IRMAN GUSMAN



MERAJUT ASA PADA IRMAN GUSMAN


Siapa yang tak mengenal tokoh yang satu ini. Pria kelahiran Padang Panjang, 11 Februari 1962 ini sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2009-2014. Dialah Irman Gusman, alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Perusahaan, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dan S2 Majoring in Marketing School of Business, University of Bridgeport, Connecticut, USA. Sebagai tokoh kebangsaan, banyak sudah peran yang telah dilakukannya, baik dalam bidang politik, bisnis, sosial keagamaan, maupun pendidikan.

Di bidang politik, ia mengawali karirnya ketika terpilih menjadi anggota MPR tahun 1999 dari utusan daerah melalui fraksi TNI/Polri. Pada pemilu 2004, dialah yang mencetuskan gagasan untuk membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di MPR, dan terpilih menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Sumatera Barat dan menjadi Wakil Ketua DPD RI . pada tahun 2009, ia terpilih kembali menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Sumatera Barat dan menjadi Ketua DPD RI.

Selain itu, Irman juga menjadi penggagas sistem politik dua kamar (bikameral), yaitu praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Termasuk menjadi salah satu pejuang perubahan dalam sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung oleh rakyat, pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode dan pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Begitu banyak peran dan jasa yang telah diberikan Irman kepada bangsa ini, sehingga sudah sepatutnyalah kita sebagai putra daerah berharap banyak kepadanya. Harapan akan adanya perubahan besar di daerah, kemajuan pembangunan, termasuk percepatan di daerah-daerah tertinggal dan perbatasan.

Sebagai warga daerah Jawa Tengah khususnya, saya pun menambatkan asa kepada beliau. Pulau Jawa yang secara umum lebih padat penduduknya dan lebih maju pembangunannya; bukan berarti harus luput dari perhatian dan dinomorduakan. Sebab di Pulau Jawa masih banyak penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, tinggal di pelosok dan tertinggal, serta minim prasarana dan sarana kehidupan. Makanan pokok yang belum terpenuhi secara baik, tidak mampu melanjutkan pendidikan, biaya berobat yang tidak terjangkau, dan masalah-masalah sosial yang kian kompleks adalah beberapa PR yang mesti segera pemerintah tangani.

Termasuk masalah perimbangan pembangunan antara di pesisir pantai (utara dan selatan) dan daerah pedalaman (pegunungan) dengan kota-kota besar dan daerah-daerah trans-Jawa.  Juga terkait pemerataan ekonomi dan infrastruktur yang berbeda antara kabupaten/kota yang satu dengan kabupaten/kota lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, demi tercapainya pembangunan nasional yang adil dan merata, maka sudah seyogyanya dimulai dari membangun daerah-daerah. Untuk ide otonomi daerah dan desentralisasi dalam berbagai bidang yang dipelopori Irman Gusman diharapkan mampu mendongkrak semangat daerah untuk membangun diri dan maju bersama serta mengejar ketertinggalan dari daerah lain.

Daerah-daerah sangat membutuhkan sumbangsih pemikiran dan cita-cita yang secara konsisten ditunjukkan oleh Irman sebagai bentuk pengabdiannya pada bangsa selama ini. Dengan DPD RI yang dibentuknya, semoga dapat mempercepat pembangunan di daerah.

Dalam “Jiwa yang Merajut Nusantara” buku yang ditulisnya dan diluncurkan dalam memperingati setengah abad usianya di Hotel Sahid Jaya Jakarta, suami dari Liestyana Rizal ini mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan politiknya di pentas politik nasional, usahanya dalam menyempurnakan tatacara pengelolaan negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta partisipasinya dalam dinamika demokrasi dalam 12 tahun terakhir.

Dan ketika jiwa Irman Gusman terpanggil untuk “merajut Nusantara” demi masa depan Indonesia yang lebih baik, maka tidak berlebihan jika kami dari daerah berharap banyak kepadanya untuk memberikan ide dan gagasannya serta melakukan tindakan nyata demi perubahan dan kemajuan daerah. Semoga!

(Trimanto B. Ngaderi)

Sabtu, 19 Oktober 2013

QURBAN DAN KESALEHAN MULTIKULTURAL



Opini
QURBAN DAN KESALEHAN MULTIKULTURAL
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Qurban adalah salah satu perintah Allah swt kepada hamba-Nya dengan cara menyembelih hewan qurban untuk dibagikan kepada kaum dhuafa dan fakir-miskin. Sejarah perintah qurban dapat kita baca dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102-107. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan setelah shalat Idul Adha (hari nahar) hingga tiga hari setelahnya (hari tasyrik).
Qurban sendiri hukumnya adalah sunnah muakkadah (utama) bagi orang-orang yang mampu melaksanakannya. Melaksanakan qurban merupakan buah kesadaran iman seseorang sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah swt sekaligus sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Inilah wujud dari kesalehan pribadi seorang hamba kepada Penciptanya. Selain itu, juga sebagai wujud kesalehan sosial yaitu kesediaan berbagi kepada mereka yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan.
Akan tetapi, benarkah ibadah qurban hanya sebatas ungkapan rasa syukur dan tindak ketaatan kepada Sang Pencipta dan tindak solidaritas sosial sesama Muslim semata? Tidakkah ibadah qurban juga bermakna dan bermanfaat bagi mereka yang berbeda etnis dan bangsa, bahkan berbeda agama dan paham keagamaan?

Reinterpretasi Kesalehan
Kesalehan adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas kesadaran ketundukan pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata “amal saleh”) merupakan hasil keberimanan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar (Abdul Munir Mulkan; 2005:7).
Secara otentik, kesalehan berarti ketaatan dan ketundukan terhadap hal-hal yang menjadi perintah Tuhan. Orang yang melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat fitrah, dan berbagai ibadah mahdhah lainnya disebut sebagai orang yang saleh. Sedangkan kosa-kata “amal saleh” sendiri masih dimaknai secara sempit dan terbatas ruang, seperti berdzikir, bersedekah, menengok orang sakit, takziah; dan perbuatan baik lainnya yang masih dilakukan kepada orang yang seagama atau yang satu etnis/bangsa.
Di satu sisi, ia adalah orang yang sangat patuh terhadap Tuhan dan tidak pernah lalai akan perintah-perintahNya; tapi di sisi lain, ia belum (tidak) memiliki kepekaan sosial terhadap berbagai kesulitan dan penderitaan orang lain, terlebih kepada yang berbeda agama dan paham keagamaan. Ritual ibadah qurban yang berfungsi sosial pun masih dimaknai hanya sekedar pembersihan diri dan harta benda.
Padahal, orang yang saleh adalah orang yang menyadari sepenuhnya bahwa dirinya diciptakan ke dunia ini adalah sebagai khalifah fil ardh (pengelola/penguasa bumi) untuk memberikan rahmatal lil a’alamin (rahmat bagi seluruh semesta). Seluruh semesta di sini adalah semua manusia, baik yang seagama maupun yang tidak seagama dan berbeda paham keagamaan.
Sedangkan esensi qurban sendiri tidak sekedar menyembelih hewan dan membagikannya kepada fakir-miskin, tapi kesediaan setiap pemeluk agama dalam keseharian hidup untuk mau mengorbankan diri dan hartanya-mengorbankan pikiran dan tenaganya demi kemaslahatan umat manusia, terlebih kepada mereka yang menderita dan tertindas tanpa memandang etnis dan agama. Inilah tingkat kesalehan yang berakar pada misi kenabian profetik Muhammad saw dalam masyarakat multikultural Madinah.
Qurban sendiri bisa dijadikan sebagai media dakwah dalam arti yang luas. Qurban tidak hanya sebatas kesalehan simbolik tanpa memiliki makna kemaslahatan bagi kesejahteraan dan perdamaian. Ketika mereka yang tidak seagama dan tidak sebangsa juga bisa menikmati pembagian daging qurban, diharapkan akan menimbulkan rasa simpati dan menghilangkan kebencian dan permusuhan dari mereka. Dari sinilah akan tercipta kehidupan multikultural yang damai, saling pengertian dan hormat-menghormati.
Ketika sesama umat Islam sendiri masih sering terjadi pertikaian dan konflik, maka ibadah qurban dalam rangkaian ibadah haji bisa dijadikan momen untuk menjalin kembali ukhuwah Islamiyyah yang selama ini sering terkoyak akibat perbedaan prinsip dan paham keagamaan; sekaligus sebagai simbol bahwa umat Islam pun mau dan mampu membina hubungan baik kepada seluruh umat manusia tanpa pandang bulu.

Perintah untuk Semua Agama
Sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al Hajj [22): 34 bahwa perintah qurban tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi juga telah disyariatkan kepada tiap-tiap umat terdahulu. Kita bisa membaca pengorbanan yang dilakukan oleh Qabil dan Habil putra Adam as dalam semua kitab suci agama samawi, pengorbanan Nabi Musa dan Isa untuk umatnya yaitu Bani Israil. Termasuk pengorbanan Nabi Muhammad saw yang kemudian terangkum dalam rangkaian ibadah haji.
Dengan demikian, ibadah qurban tidak hanya sebatas amal saleh untuk mencari pahala dan jalan menuju surga, tapi sebuah upaya menuju kesalehan universal (kemanusiaan), sebagai landasan rahmatal lil a’lamin. Di sinilah terjadi perubahan dari ibadah yang berfokus teosentris menuju antroposentris.
Semangat qurban pun diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran akan adanya “the other”. Bahwa di sekeliling kita ada orang atau komunitas lain yang berbeda etnis dan bangsa, yang berbeda agama dan paham keagamaan; di mana mereka harus merasa aman dan selamat berada di tengah-tengah kita. Inilah esensi dari kata “Islam” itu sendiri yaitu mampu membawa keselamatan dan kedamaian.
Jika ibadah qurban merupakan wujud kepedulian dan cinta-kasih terhadap mereka yang lemah dan miskin, maka orang-orang yang berqurban seyogyanya memiliki spirit untuk peduli dan mencintai sesama manusia dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.  Inilah esensi dari apa yang disebut sebagai kesalehan multikultural.

*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena