Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Oktober 2013

QURBAN DAN KESALEHAN MULTIKULTURAL



Opini
QURBAN DAN KESALEHAN MULTIKULTURAL
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Qurban adalah salah satu perintah Allah swt kepada hamba-Nya dengan cara menyembelih hewan qurban untuk dibagikan kepada kaum dhuafa dan fakir-miskin. Sejarah perintah qurban dapat kita baca dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102-107. Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan setelah shalat Idul Adha (hari nahar) hingga tiga hari setelahnya (hari tasyrik).
Qurban sendiri hukumnya adalah sunnah muakkadah (utama) bagi orang-orang yang mampu melaksanakannya. Melaksanakan qurban merupakan buah kesadaran iman seseorang sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah swt sekaligus sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Inilah wujud dari kesalehan pribadi seorang hamba kepada Penciptanya. Selain itu, juga sebagai wujud kesalehan sosial yaitu kesediaan berbagi kepada mereka yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan.
Akan tetapi, benarkah ibadah qurban hanya sebatas ungkapan rasa syukur dan tindak ketaatan kepada Sang Pencipta dan tindak solidaritas sosial sesama Muslim semata? Tidakkah ibadah qurban juga bermakna dan bermanfaat bagi mereka yang berbeda etnis dan bangsa, bahkan berbeda agama dan paham keagamaan?

Reinterpretasi Kesalehan
Kesalehan adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas kesadaran ketundukan pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata “amal saleh”) merupakan hasil keberimanan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar (Abdul Munir Mulkan; 2005:7).
Secara otentik, kesalehan berarti ketaatan dan ketundukan terhadap hal-hal yang menjadi perintah Tuhan. Orang yang melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat fitrah, dan berbagai ibadah mahdhah lainnya disebut sebagai orang yang saleh. Sedangkan kosa-kata “amal saleh” sendiri masih dimaknai secara sempit dan terbatas ruang, seperti berdzikir, bersedekah, menengok orang sakit, takziah; dan perbuatan baik lainnya yang masih dilakukan kepada orang yang seagama atau yang satu etnis/bangsa.
Di satu sisi, ia adalah orang yang sangat patuh terhadap Tuhan dan tidak pernah lalai akan perintah-perintahNya; tapi di sisi lain, ia belum (tidak) memiliki kepekaan sosial terhadap berbagai kesulitan dan penderitaan orang lain, terlebih kepada yang berbeda agama dan paham keagamaan. Ritual ibadah qurban yang berfungsi sosial pun masih dimaknai hanya sekedar pembersihan diri dan harta benda.
Padahal, orang yang saleh adalah orang yang menyadari sepenuhnya bahwa dirinya diciptakan ke dunia ini adalah sebagai khalifah fil ardh (pengelola/penguasa bumi) untuk memberikan rahmatal lil a’alamin (rahmat bagi seluruh semesta). Seluruh semesta di sini adalah semua manusia, baik yang seagama maupun yang tidak seagama dan berbeda paham keagamaan.
Sedangkan esensi qurban sendiri tidak sekedar menyembelih hewan dan membagikannya kepada fakir-miskin, tapi kesediaan setiap pemeluk agama dalam keseharian hidup untuk mau mengorbankan diri dan hartanya-mengorbankan pikiran dan tenaganya demi kemaslahatan umat manusia, terlebih kepada mereka yang menderita dan tertindas tanpa memandang etnis dan agama. Inilah tingkat kesalehan yang berakar pada misi kenabian profetik Muhammad saw dalam masyarakat multikultural Madinah.
Qurban sendiri bisa dijadikan sebagai media dakwah dalam arti yang luas. Qurban tidak hanya sebatas kesalehan simbolik tanpa memiliki makna kemaslahatan bagi kesejahteraan dan perdamaian. Ketika mereka yang tidak seagama dan tidak sebangsa juga bisa menikmati pembagian daging qurban, diharapkan akan menimbulkan rasa simpati dan menghilangkan kebencian dan permusuhan dari mereka. Dari sinilah akan tercipta kehidupan multikultural yang damai, saling pengertian dan hormat-menghormati.
Ketika sesama umat Islam sendiri masih sering terjadi pertikaian dan konflik, maka ibadah qurban dalam rangkaian ibadah haji bisa dijadikan momen untuk menjalin kembali ukhuwah Islamiyyah yang selama ini sering terkoyak akibat perbedaan prinsip dan paham keagamaan; sekaligus sebagai simbol bahwa umat Islam pun mau dan mampu membina hubungan baik kepada seluruh umat manusia tanpa pandang bulu.

Perintah untuk Semua Agama
Sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al Hajj [22): 34 bahwa perintah qurban tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi juga telah disyariatkan kepada tiap-tiap umat terdahulu. Kita bisa membaca pengorbanan yang dilakukan oleh Qabil dan Habil putra Adam as dalam semua kitab suci agama samawi, pengorbanan Nabi Musa dan Isa untuk umatnya yaitu Bani Israil. Termasuk pengorbanan Nabi Muhammad saw yang kemudian terangkum dalam rangkaian ibadah haji.
Dengan demikian, ibadah qurban tidak hanya sebatas amal saleh untuk mencari pahala dan jalan menuju surga, tapi sebuah upaya menuju kesalehan universal (kemanusiaan), sebagai landasan rahmatal lil a’lamin. Di sinilah terjadi perubahan dari ibadah yang berfokus teosentris menuju antroposentris.
Semangat qurban pun diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran akan adanya “the other”. Bahwa di sekeliling kita ada orang atau komunitas lain yang berbeda etnis dan bangsa, yang berbeda agama dan paham keagamaan; di mana mereka harus merasa aman dan selamat berada di tengah-tengah kita. Inilah esensi dari kata “Islam” itu sendiri yaitu mampu membawa keselamatan dan kedamaian.
Jika ibadah qurban merupakan wujud kepedulian dan cinta-kasih terhadap mereka yang lemah dan miskin, maka orang-orang yang berqurban seyogyanya memiliki spirit untuk peduli dan mencintai sesama manusia dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.  Inilah esensi dari apa yang disebut sebagai kesalehan multikultural.

*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena


Jumat, 11 Oktober 2013

POLA PIKIR DAN POLA LAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA SUMBER



POLA PIKIR DAN POLA LAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA SUMBER
Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Kesehatan adalah modal dasar kehidupan. Kesehatan adalah dambaan setiap orang. Kesehatan mencakup kesehatan tubuh (diri) dan kesehatan lingkungan.  
Untuk meraih lingkungan yang bersih dan sehat, penduduk di Desa Sumber, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah telah memiliki kesadaran akan pentingnya membangun sanitasi yang layak dan ramah lingkungan. Seiring dengan peningkatan taraf ekonomi dan perkembangan pembangunan di Desa Sumber pada umumnya, mereka telah memiliki sumur sendiri beserta WC dan kamar mandinya.
Pola pikir dan pola laku penduduk telah mengalami transformasi pada satu dasawarsa ini. Ketika dulu mereka terbiasa mandi atau mencuci di sungai, mengambil air ke mata air atau sendang, atau memakai sumur beramai-ramai; sekarang keinginan untuk memiliki air bersih dan milik sendiri adalah sebuah keharusan tiap warga. 
 Gambar 1. Sendang yang dulu dipakai warga sebelum punya sumur sendiri

Perubahan pola pikir dan pola laku tersebut didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1.    Kesadaran iman  
Yaitu perintah agama untuk selalu menjaga kebersihan, sebab “kebersihan adalah sebagian dari iman”.
2.    Memiliki budaya hidup bersih
Seperti kebiasaan menyapu halaman, membuat saluran pembuangan air, menguras kulah dan bak, kerja bakti membersihkan selokan, membakar sampah anorganik.
3.    Peningkatan taraf ekonomi 
 Gambar 2. Salah satu sumur warga (ada kamar mandi, WC dan saluran pembuangan)

4.    Sosialisasi pemerintah tentang pentingnya kebersihan
5.    Program pembangunan dari pemerintah
Biasanya dalam bentuk bantuan dana untuk membuat bak penampungan air yang bisa dipakai untuk umum dan disalurkan ke rumah-rumah penduduk.


 Gambar 3. Salah satu bak air untuk umum yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk

Penutup
Secara umum, perubahan pola pikir dan pola laku yang terjadi pada masyarakat Desa Sumber terkait system sanitasi dan pengelolaan air bersih adalah modal utama bagi sebuah pembangunan. Masyarakat yang sadar akan arti pentingnya air bersih akan berupaya mewujudkan lingkungan yang sehat dan terjaga. Jika pola pikir konstruktif tersebut terus terpelihara, maka akan menghasilkan pola laku hidup sehat. Gabungan dari pola pikir dan pola laku sehat akan terwujud sebuah budaya bersih yang menjadi kebiasaan sehari-hari. 

(Untuk mengetahui lebih jauh dan cek kebenaran artikel ini, bisa langsung hub Kepala Desa Sumber, Bapak Sajidan 0823 2980 2283)

Jumat, 16 Agustus 2013

PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI



PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Ramadhan adalah bulan yang mulia, bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan. Selama sebulan penuh, umat Islam diwajibkan untuk melakukan puasa. Sedangkan puasanya sendiri adalah sebagai sarana untuk menempa badan dan jiwa, pensucian diri, dan peningkatan amal. Kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah vertical maupun ibadah horizontal demi tercapainya derajat “la’allakum tattaquun” (Al Baqarah: 183).
Banyak sekali amalan-amalan yang bisa dilakukan selama bulan puasa, di antaranya shalat tarawih, tilawah Al Qur’an, memperbanyak sedekah, menjaga hati dan lisan, aktivitas social dan masih banyak lagi. Apalagi Allah swt menjanjikan pahala yang besar dan berlipat untuk setiap amalan yang dilakukan. Untuk itu, di bulan puasa ini, umat Islam dianjurkan untuk mengurangi aktivitas kerja dan berbagai aktivitas lainnya, agar punya waktu lebih banyak untuk beribadah dan beramal.
Namun, pertanyaannya adalah benarkah selama Ramadhan umat Islam semakin meningkat ritual ibadahnya? Atau malah ritual-ritual lainnya yang kurang atau tidak bermanfaat yang justru semakin meningkat?

Godaan Televisi
Biasanya, satu atau dua minggu sebelum Ramadhan tiba, semua televisi berlomba-lomba menawarkan berbagai program dan acara unggulan mereka selama bulan puasa hingga masa Lebaran berakhir. Begitu gencarnya, sehingga iklan spot program Ramadhan muncul hamper setiap saat, terutama prime time. Program yang ditawarkan amat beragam, mulai dari sinetron religi, ceramah, tabligh akbar, panggung komedi, film tentang nabi/tokoh Islam, music religi, program kuis, ziarah situs/tempat ibadah, kuliner, dan masih banyak lagi.
Semua program yang ditawarkan dibuat semenarik mungkin, dikemas sedemikian cantik, dan dikomunikasikan lewat iklan sebegitu menggoda. Tayangan iklan yang begitu intens dan kontinyu mampu menancapkan pesan-pesan ke benak pemirsa. Akibatnya, para pemirsa mulai memilih atau menjadwal program apa saja yang hendak mereka tonton nantinya. Bahkan, ketika godaan program yang ditawarkan begitu menyihir, sudah timbul rasa tidak sabar untuk segera menontonnya. Dalam hal ini, Melvin de Fleur (1970: 129-131) menyatakan bahwa pada dasarnya media massa lewat sajiannya yang selektif dan tekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayaknya mengenai topic-topik yang ditonjolkan yang didefinisikan dengan cara tertentu.
Selain penawaran dalam bentuk program atau acara tertentu, karena puasa tidak jauh dengan urusan makan dan minum, maka iklan yang terkait dengan produk makanan dan minuman terutama sajian untuk menu buka puasa dan sahur pun tak kalah gencarnya. Seperti iklan sirup, snack, aneka kue, softdrink, fastfood, serta iklan rumah makan dan restoran. Demikian pula iklan yang terkait dengan momen Idul Fitri juga sudah ikut meramaikan iklan layar kaca. Seperti iklan sarung, tempat wisata, hotel/penginapan, tarif seluler, dll.

Ritual Televisi Lebih Dominan
Pada sebagian kaum Muslimin, tawaran pahala berlipat-lipat dan janji Allah swt akan indah dan nikmatnya surga, tak jua menarik perhatian dan minat mereka untuk berbuat dan beramal lebih baik dan lebih banyak. Justru mereka lebih tertarik pada berbagai program yang ditawarkan oleh televisi.
Implikasinya, bukanya mereka memperbanyak ibadah tapi malah memperbanyak duduk di depan televisi. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengkonsumsi media. Bahkan, ketika acara-acara tertentu ditayangkan pada jam prime time, berbarengan dengan waktu menjelang berbuka, saat shalat Tarawih, atau sebelum dan sesudah Subuh; mereka rela menunda atau malah mengabaikan ritual ibadah yang sangat dianjurkan tersebut.
Padahal, jika kita cermati lebih mendalam, semenarik atau sememikat apapun program Ramadhan yang diklaim bernuansa religi, pada kenyataannya sebagian besar masih jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Dalam sinetron misalnya, walau judul atau ceritanya terkesan “islam(i)”, tapi pada hakikatnya setali tiga uang dengan sinetron-sinetron pada umumnya di luar Ramadhan. Hanya kemasan, tampilan, kostum, atau “manipulasi” tertentu saja yang berbeda, substansinya tetap sama. Misalnya, para pemain yang tadinya tidak berjilbab mendadak memakai busana muslimah. Yang tadinya tidak pernah menampilkan masjid atau musholla, kini sengaja diikutsertakan. Sementara mengenai tema masih tidak jauh dari seputar percintaan, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, kehidupan glamor dan hedonis atau semacamnya.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah acara yang berbau komedi atau humor begitu dominan. Hamper semua stasiun televise menayangkannya. Waktunya pun mengambil jam prime time, sekitar waktu berbuka, shalat Tarawih atau menjelang Subuh. Pertanyaannya adalah mengapa prioritasnya berupa komedi, apakah umat Islam saat puasa sedang mengalami kesedihan, musibah, atau masalah; sehingga membutuhkan hiburan?
Secara umum, acara-acara yang diklaim sebagai program religi tersebut tetap saja kurang edukatif, kering akan nilai dan makna, apalagi mengusung spiritualitas tertentu; alih-alih mampu mendorong umat untuk lebih rajin beribadah. Yang terjadi justru sebaliknya, ritual ibadah yang seharusnya ia lakukan selama bulan Ramadhan, telah tergantikan dengan ritual televisi yang sebenarnya hanya membawa kenikmatan sesaat dan semu. 

Penutup
Tentu tidaklah bijak jika kita menyalahkan pihak media atau televisi akan berbagai kecenderungan dan fenomena di atas. Karena pada kenyataannya, kita tidak akan mungkin mencegah atau menolak program-program yang disajikan oleh televisi. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kemampuan kita dalam memilih dan memilah acara apa saja yang perlu dan layak kita tonton. Filter dan keputusan ada di tangan kita. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk menonton televisi. Cuma Islam memerintahkan agar kita bisa selektif dan pintar memilih program mana saja yang bermanfaat dan berbobot.
Lagipula amatlah disayangkan, jika bulan mulia, yang Allah swt berikan hanya sebulan dalam setahun, harus kita lewatkan begitu saja tanpa mengisinya dengan berbagai amalan dan kegiatan yang bermanfaat; apalagi kita sia-siakan dengan menggantinya dengan ritual televisi. Wallahua’lam bish-shawab.

*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena

Jumat, 12 Juli 2013

CERPEN "SI BUDUL"



SI BUDUL
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Darah segar masih terus menetes. Sembari duduk dan beristirahat di bawah pohon beringin besar di depan gapura kadipaten, lelaki setengah baya itu mencoba memegangi telapak kakinya yang berlumuran darah. Ia mengambil daun-daun beringin kering yang jatuh untuk mengusap darah yang terus mengalir.
Rupanya, penyakit budul pada kaki yang dideritanya sejak puluhan tahun silam itu, membuatnya tak mampu melakukan perjalanan jauh dan berhari-hari. Telapak kakinya yang tebal dan bengkak-bengkak akan terasa sakit sekali untuk berjalan dan pasti mengeluarkan darah. Apalagi jalan yang harus dilalui medannya cukup sulit, naik-turun gunung, dan berbatu.
Ia mencoba mengatur napas yang mulai menggeh-menggeh. Meluruskan kakinya. Sesekali ia meringis menahan rasa sakit dan perih di kakinya. Kemudian ia membuka buntalan dari kain, bekal yang diberikan oleh Demang Sabrang, tuannya tempat mengabdi. Beberapa potong wajik ketam hitam mampu mengobati perutnya yang sudah keroncongan.
Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa hawa kesejukan di sekitar alun-alun kadipaten Purwantoro. Namun, hawa sejuk dan angin semilir tak lantas membuat hatinya tenang. Perasaan kesal, jengkel, dongkol, marah masih terus menghantui jiwanya.
“Ndoro Demang benar-benar keterlaluan!” begitulah mulutnya masih terus mengumpat. Matanya menatap kosong alun-alun yang luas itu. Tampak beberapa kuda sedang merumput tak jauh dari tempatnya duduk. Andong dan para abdi dalem yang hilir-mudik di sekitar gapura tak jua menarik hati dan menenangkan pikirannya.
“Apa memang beginilah nasib orang kecil?” mulutnya kembali mengeluh. Sebuah kata-kata yang terus-menerus ia ucapkan selama mengabdi kepada Demang.
Sejenak kemudian, pikirannya mengembara ke rumah Demang. Ia mengingat bagaimana ia harus jalan beberapa kilometer jauhnya untuk mengambil air setiap harinya. Ngangsu[1] untuk keperluan hidup Ki Demang dan para abdi dalemnya. Inilah pekerjaan yang ia lakoni selama puluhan tahun, sejak ia masih perjaka hingga mempunyai tiga anak.
Walau dengan penyakit budul di kakinya, ia tetap melakoni pekerjaannya itu tanpa pernah membantah sekalipun. Dawuh dari Ki Demang adalah ibarat sabda. Tidak bisa ditolak dalam keadaan apapun. Harus dikerjakan dengan baik sesuai keinginan si empunya perintah.
Namun, walau tidak pernah membantah, Budul sebenarnya sangat keberatan dengan pekerjaannya itu. “Sudah tahu kakiku budul begini, kok Si Demang masih saja menyuruhku untuk mengambil air”, keluhnya kepada istrinya. Begitulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut Si Budul setiap harinya. Sebenarnya istrinya juga merasa kasihan melihat kaki suaminya setiap hari tambah keras, bengkak, dan selalu berdarah. Tapi apa mau dikata, memang itulah yang harus ia kerjakan. Tidak ada pilihan lain.
Dan ketika kejengkelannya memuncak, Si Budul tak segan-segan mencaci dan memaki tuannya di depan istrinya itu. “Dasar Demang edan, Demang gendeng”, umpatnya sembari meludah pada suatu hari.  
Sementara itu, matahari semakin meninggi. Tubuh Si Budul mulai berkeringat. Ia membuka kancing atas bajunya. Dan mengibas-ngibaskan caping penutup kepala untuk mengusir hawa panas di tubuhnya. Jalan utama menuju gapura kadipaten pun tampak mulai sepi.
Ia tak jua mau beranjak dari tempatnya berteduh untuk segera memberikan surat itu kepada kanjeng adipati. Malah pikirannya teringat kembali peristiwa setelah ia memaki Demang di hadapan istrinya beberapa waktu lalu. Saat secara mendadak ia dipanggil Ki Demang. Belum tahu apa yang hendak dikatakan oleh tuannya itu, ia sudah ketakutan bukan kepalang. “Jangan-jangan Ndoro Demang mendengar umpatanku kemarin”, begitu bisiknya dalam hati. Maka, ketika sampai di hadapan tuannya, ia langsung bersujud di depan kaki Demang dan meminta maaf.
Dan ketika tahu bahwa Ki Demang memanggilnya bukan ingin memarahinya, tapi mendapat tugas baru mengantarkan surat kepada Kanjeng Adipati, seketika itu juga legalah hatinya.  Ia diberi bekal uang lima benggol[2].
Sekalipun demikian, ketika sampai di hadapan istrinya, ia tambah mengeluh. “Pancen Ki Demang ki wis picek, wis budheg[3]. Buat mengambil air saja kakiku sakitnya minta ampun, eh sekarang malah disuruh pergi ke kadipaten yang sangat jauh tempatnya. Dia benar-benar tidak punya perasaan,” keluhnya dengan penuh emosi.
Hari semakin siang. Panas matahari terasa menyengat. Si Budul masih terus melamun. Merenungi nasib yang dirasanya amatlah malang. Sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang putus asa.
***
“Ada apa Pak, kok sendirian di sini? Sepertinya sedang ada yang dipikirkan?” tanya seorang pemuda yang datang menghampirinya.
Si Budul sedikit kaget. Tapi ia kemudian tersenyum karena merasa ada yang memberi perhatian terhadapnya.
“Ini lho Nak, tuan saya itu tega sekali. Masak kaki sakit seperti ini disuruh melakukan perjalanan jauh untuk mengantar surat ke Kanjeng Adipati,” jawab Si Budul sembari menunjuk kakinya yang masih berlumuran darah.
Melihat hal itu, si pemuda merasa iba. Tapi ia merasa beruntung bisa bertemu dengan bapak tua ini. Ia jauh-jauh dari pelosok desa pergi ke kadipaten ini memang untuk mencari pekerjaan.
“Bagaimana kalau saya bantu bapak untuk mengantarkan surat ini ke Kanjeng Adipati?” ujar si pemuda mencoba menawarkan diri.
“Wah, kamu baik sekali Nak. Malah kebetulan,” jawab Si Budul dengan muka berseri-seri. “Tapi aku hanya diberi bekal tiga benggol, jadi yang satu benggol untukmu, bagaimana?”
Si pemuda mengangguk gembira.
Lalu berangkatlah si pemuda itu masuk ke dalam pendopo kadipaten yang sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat Si Budul beristirahat tadi. Setelah menyampaikan keperluannya kepada para penjaga gapura, maka ia diperkenankan masuk.
“Apakah kamu sudah tahu apa isi surat ini?” tanya Kanjeng Adipati kepada si pemuda usai membuka surat itu.
“Belum Kanjeng. Jika saya sudah membacanya, nyawa saya taruhannya”, jawab si pemuda masih tetap menunduk.  
Sembari membaca isi surat itu, Kanjeng Adiputi melirik kepada si pemuda itu yang menurutnya cukup tampan dan berbudi. Ia pun melirik kepada putrinya yang duduk di sampingnya, yang mukanya kelihatan berseri-seri dan matanya berkilat-kilat menatap pemuda itu.
“Sesuai isi surat ini, Ki Demang memerintahkan agar orang yang membawa surat ini dijadikan sebagai demang pengganti dirinya, karena dia sudah cukup tua dan tidak memiliki keturunan.”
“Dan untuk mengemban tugasmu sebagai demang di sana, maka kamu akan saya nikahkan dengan putri saya ini,” titah Kanjeng Adipati.
Si pemuda sangat terkejut sekaligus senang luar biasa. Ia merasa perjalanan jauhnya tidaklah sia-sia. Dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada ibunya yang telah merestui dan mendoakan perjalanannya.
Keesokan harinya, digelarlah pesta pernikahan antara si pemuda dengan putri Adipati. Hajat berlangsung meriah dan diadakan secara besar-besaran. Para petinggi kadipaten, priyayi, abdi dalem hingga rakyat jelata bersukacita.
Sementara itu, Si Budul sedang dalam perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir. Bagaimana caranya agar nanti ia tidak dipersalahkan oleh Ki Demang, karena telah menyuruh orang untuk menyampaikan surat itu. Padahal, sebelumnya ia telah berjanji akan memberikan langsung surat itu kepada Kanjeng Adipati.
Lalu setan pun membisikinya. Ia pun merobek-robek pakaiannya dan melumurinya dengan darah yang mengucur dari kakinya. Hal ini dilakukan agar nantinya Ki Demang menyangka bahwa ia telah diserang oleh kawanan perampok atau hewan buas.
***
Ki Demang yang sedang santai di pendopo rumahnya, nampak terkejut melihat ada serombongan prajurit dari kejauhan yang sedang mengiring seseorang. “Apa itu Si Budul yang telah diangkat oleh Kanjeng Adipati menjadi demang sebagai penggantiku ya?” begitu gumamnya dalam hati.
Tapi setelah rombongan itu kian mendekati pendoponya, ternyata orang yang diiring oleh prajurit tersebut bukanlah Si Budul, tapi seorang pemuda gagah dan tampan yang berpakaian ala seorang demang. Hal ini membuat Ki Demang semakin heran.
Setelah si pemuda itu menghadap Ki Demang, berceritalah ia tentang hal ikhwal pertemuannya dengan Si Budul. Ki Demang nampak terkejut dan sedikit pucat. Padahal ia menyuruh Si Budul mengantarkan surat itu agar Kanjeng Adipati berkenan mengangkatnya menjadi demang sebagai balas budi atas pengabdiannya selama ini kepadanya. Sambil manggut-manggut ia pun berkata lirih, “Berarti Si Budul memang tidak kuat kanggonan drajat[4]”.

*) Wirausahawan


[1] Mengambil air
[2] Mata uang pada zaman Belanda
[3] Memang Ki Demang  itu sudah buta, sudah tuli
[4] Menerima kehormatan atau kemuliaan