Cari Blog Ini

Jumat, 16 Agustus 2013

PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI



PUASA, DARI RITUAL IBADAH KE RITUAL TELEVISI
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Ramadhan adalah bulan yang mulia, bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan. Selama sebulan penuh, umat Islam diwajibkan untuk melakukan puasa. Sedangkan puasanya sendiri adalah sebagai sarana untuk menempa badan dan jiwa, pensucian diri, dan peningkatan amal. Kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah vertical maupun ibadah horizontal demi tercapainya derajat “la’allakum tattaquun” (Al Baqarah: 183).
Banyak sekali amalan-amalan yang bisa dilakukan selama bulan puasa, di antaranya shalat tarawih, tilawah Al Qur’an, memperbanyak sedekah, menjaga hati dan lisan, aktivitas social dan masih banyak lagi. Apalagi Allah swt menjanjikan pahala yang besar dan berlipat untuk setiap amalan yang dilakukan. Untuk itu, di bulan puasa ini, umat Islam dianjurkan untuk mengurangi aktivitas kerja dan berbagai aktivitas lainnya, agar punya waktu lebih banyak untuk beribadah dan beramal.
Namun, pertanyaannya adalah benarkah selama Ramadhan umat Islam semakin meningkat ritual ibadahnya? Atau malah ritual-ritual lainnya yang kurang atau tidak bermanfaat yang justru semakin meningkat?

Godaan Televisi
Biasanya, satu atau dua minggu sebelum Ramadhan tiba, semua televisi berlomba-lomba menawarkan berbagai program dan acara unggulan mereka selama bulan puasa hingga masa Lebaran berakhir. Begitu gencarnya, sehingga iklan spot program Ramadhan muncul hamper setiap saat, terutama prime time. Program yang ditawarkan amat beragam, mulai dari sinetron religi, ceramah, tabligh akbar, panggung komedi, film tentang nabi/tokoh Islam, music religi, program kuis, ziarah situs/tempat ibadah, kuliner, dan masih banyak lagi.
Semua program yang ditawarkan dibuat semenarik mungkin, dikemas sedemikian cantik, dan dikomunikasikan lewat iklan sebegitu menggoda. Tayangan iklan yang begitu intens dan kontinyu mampu menancapkan pesan-pesan ke benak pemirsa. Akibatnya, para pemirsa mulai memilih atau menjadwal program apa saja yang hendak mereka tonton nantinya. Bahkan, ketika godaan program yang ditawarkan begitu menyihir, sudah timbul rasa tidak sabar untuk segera menontonnya. Dalam hal ini, Melvin de Fleur (1970: 129-131) menyatakan bahwa pada dasarnya media massa lewat sajiannya yang selektif dan tekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayaknya mengenai topic-topik yang ditonjolkan yang didefinisikan dengan cara tertentu.
Selain penawaran dalam bentuk program atau acara tertentu, karena puasa tidak jauh dengan urusan makan dan minum, maka iklan yang terkait dengan produk makanan dan minuman terutama sajian untuk menu buka puasa dan sahur pun tak kalah gencarnya. Seperti iklan sirup, snack, aneka kue, softdrink, fastfood, serta iklan rumah makan dan restoran. Demikian pula iklan yang terkait dengan momen Idul Fitri juga sudah ikut meramaikan iklan layar kaca. Seperti iklan sarung, tempat wisata, hotel/penginapan, tarif seluler, dll.

Ritual Televisi Lebih Dominan
Pada sebagian kaum Muslimin, tawaran pahala berlipat-lipat dan janji Allah swt akan indah dan nikmatnya surga, tak jua menarik perhatian dan minat mereka untuk berbuat dan beramal lebih baik dan lebih banyak. Justru mereka lebih tertarik pada berbagai program yang ditawarkan oleh televisi.
Implikasinya, bukanya mereka memperbanyak ibadah tapi malah memperbanyak duduk di depan televisi. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengkonsumsi media. Bahkan, ketika acara-acara tertentu ditayangkan pada jam prime time, berbarengan dengan waktu menjelang berbuka, saat shalat Tarawih, atau sebelum dan sesudah Subuh; mereka rela menunda atau malah mengabaikan ritual ibadah yang sangat dianjurkan tersebut.
Padahal, jika kita cermati lebih mendalam, semenarik atau sememikat apapun program Ramadhan yang diklaim bernuansa religi, pada kenyataannya sebagian besar masih jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Dalam sinetron misalnya, walau judul atau ceritanya terkesan “islam(i)”, tapi pada hakikatnya setali tiga uang dengan sinetron-sinetron pada umumnya di luar Ramadhan. Hanya kemasan, tampilan, kostum, atau “manipulasi” tertentu saja yang berbeda, substansinya tetap sama. Misalnya, para pemain yang tadinya tidak berjilbab mendadak memakai busana muslimah. Yang tadinya tidak pernah menampilkan masjid atau musholla, kini sengaja diikutsertakan. Sementara mengenai tema masih tidak jauh dari seputar percintaan, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, kehidupan glamor dan hedonis atau semacamnya.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah acara yang berbau komedi atau humor begitu dominan. Hamper semua stasiun televise menayangkannya. Waktunya pun mengambil jam prime time, sekitar waktu berbuka, shalat Tarawih atau menjelang Subuh. Pertanyaannya adalah mengapa prioritasnya berupa komedi, apakah umat Islam saat puasa sedang mengalami kesedihan, musibah, atau masalah; sehingga membutuhkan hiburan?
Secara umum, acara-acara yang diklaim sebagai program religi tersebut tetap saja kurang edukatif, kering akan nilai dan makna, apalagi mengusung spiritualitas tertentu; alih-alih mampu mendorong umat untuk lebih rajin beribadah. Yang terjadi justru sebaliknya, ritual ibadah yang seharusnya ia lakukan selama bulan Ramadhan, telah tergantikan dengan ritual televisi yang sebenarnya hanya membawa kenikmatan sesaat dan semu. 

Penutup
Tentu tidaklah bijak jika kita menyalahkan pihak media atau televisi akan berbagai kecenderungan dan fenomena di atas. Karena pada kenyataannya, kita tidak akan mungkin mencegah atau menolak program-program yang disajikan oleh televisi. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kemampuan kita dalam memilih dan memilah acara apa saja yang perlu dan layak kita tonton. Filter dan keputusan ada di tangan kita. Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk menonton televisi. Cuma Islam memerintahkan agar kita bisa selektif dan pintar memilih program mana saja yang bermanfaat dan berbobot.
Lagipula amatlah disayangkan, jika bulan mulia, yang Allah swt berikan hanya sebulan dalam setahun, harus kita lewatkan begitu saja tanpa mengisinya dengan berbagai amalan dan kegiatan yang bermanfaat; apalagi kita sia-siakan dengan menggantinya dengan ritual televisi. Wallahua’lam bish-shawab.

*) Penulis lepas, bergiat di Forum Lingkar Pena

Jumat, 12 Juli 2013

CERPEN "SI BUDUL"



SI BUDUL
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Darah segar masih terus menetes. Sembari duduk dan beristirahat di bawah pohon beringin besar di depan gapura kadipaten, lelaki setengah baya itu mencoba memegangi telapak kakinya yang berlumuran darah. Ia mengambil daun-daun beringin kering yang jatuh untuk mengusap darah yang terus mengalir.
Rupanya, penyakit budul pada kaki yang dideritanya sejak puluhan tahun silam itu, membuatnya tak mampu melakukan perjalanan jauh dan berhari-hari. Telapak kakinya yang tebal dan bengkak-bengkak akan terasa sakit sekali untuk berjalan dan pasti mengeluarkan darah. Apalagi jalan yang harus dilalui medannya cukup sulit, naik-turun gunung, dan berbatu.
Ia mencoba mengatur napas yang mulai menggeh-menggeh. Meluruskan kakinya. Sesekali ia meringis menahan rasa sakit dan perih di kakinya. Kemudian ia membuka buntalan dari kain, bekal yang diberikan oleh Demang Sabrang, tuannya tempat mengabdi. Beberapa potong wajik ketam hitam mampu mengobati perutnya yang sudah keroncongan.
Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa hawa kesejukan di sekitar alun-alun kadipaten Purwantoro. Namun, hawa sejuk dan angin semilir tak lantas membuat hatinya tenang. Perasaan kesal, jengkel, dongkol, marah masih terus menghantui jiwanya.
“Ndoro Demang benar-benar keterlaluan!” begitulah mulutnya masih terus mengumpat. Matanya menatap kosong alun-alun yang luas itu. Tampak beberapa kuda sedang merumput tak jauh dari tempatnya duduk. Andong dan para abdi dalem yang hilir-mudik di sekitar gapura tak jua menarik hati dan menenangkan pikirannya.
“Apa memang beginilah nasib orang kecil?” mulutnya kembali mengeluh. Sebuah kata-kata yang terus-menerus ia ucapkan selama mengabdi kepada Demang.
Sejenak kemudian, pikirannya mengembara ke rumah Demang. Ia mengingat bagaimana ia harus jalan beberapa kilometer jauhnya untuk mengambil air setiap harinya. Ngangsu[1] untuk keperluan hidup Ki Demang dan para abdi dalemnya. Inilah pekerjaan yang ia lakoni selama puluhan tahun, sejak ia masih perjaka hingga mempunyai tiga anak.
Walau dengan penyakit budul di kakinya, ia tetap melakoni pekerjaannya itu tanpa pernah membantah sekalipun. Dawuh dari Ki Demang adalah ibarat sabda. Tidak bisa ditolak dalam keadaan apapun. Harus dikerjakan dengan baik sesuai keinginan si empunya perintah.
Namun, walau tidak pernah membantah, Budul sebenarnya sangat keberatan dengan pekerjaannya itu. “Sudah tahu kakiku budul begini, kok Si Demang masih saja menyuruhku untuk mengambil air”, keluhnya kepada istrinya. Begitulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut Si Budul setiap harinya. Sebenarnya istrinya juga merasa kasihan melihat kaki suaminya setiap hari tambah keras, bengkak, dan selalu berdarah. Tapi apa mau dikata, memang itulah yang harus ia kerjakan. Tidak ada pilihan lain.
Dan ketika kejengkelannya memuncak, Si Budul tak segan-segan mencaci dan memaki tuannya di depan istrinya itu. “Dasar Demang edan, Demang gendeng”, umpatnya sembari meludah pada suatu hari.  
Sementara itu, matahari semakin meninggi. Tubuh Si Budul mulai berkeringat. Ia membuka kancing atas bajunya. Dan mengibas-ngibaskan caping penutup kepala untuk mengusir hawa panas di tubuhnya. Jalan utama menuju gapura kadipaten pun tampak mulai sepi.
Ia tak jua mau beranjak dari tempatnya berteduh untuk segera memberikan surat itu kepada kanjeng adipati. Malah pikirannya teringat kembali peristiwa setelah ia memaki Demang di hadapan istrinya beberapa waktu lalu. Saat secara mendadak ia dipanggil Ki Demang. Belum tahu apa yang hendak dikatakan oleh tuannya itu, ia sudah ketakutan bukan kepalang. “Jangan-jangan Ndoro Demang mendengar umpatanku kemarin”, begitu bisiknya dalam hati. Maka, ketika sampai di hadapan tuannya, ia langsung bersujud di depan kaki Demang dan meminta maaf.
Dan ketika tahu bahwa Ki Demang memanggilnya bukan ingin memarahinya, tapi mendapat tugas baru mengantarkan surat kepada Kanjeng Adipati, seketika itu juga legalah hatinya.  Ia diberi bekal uang lima benggol[2].
Sekalipun demikian, ketika sampai di hadapan istrinya, ia tambah mengeluh. “Pancen Ki Demang ki wis picek, wis budheg[3]. Buat mengambil air saja kakiku sakitnya minta ampun, eh sekarang malah disuruh pergi ke kadipaten yang sangat jauh tempatnya. Dia benar-benar tidak punya perasaan,” keluhnya dengan penuh emosi.
Hari semakin siang. Panas matahari terasa menyengat. Si Budul masih terus melamun. Merenungi nasib yang dirasanya amatlah malang. Sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang putus asa.
***
“Ada apa Pak, kok sendirian di sini? Sepertinya sedang ada yang dipikirkan?” tanya seorang pemuda yang datang menghampirinya.
Si Budul sedikit kaget. Tapi ia kemudian tersenyum karena merasa ada yang memberi perhatian terhadapnya.
“Ini lho Nak, tuan saya itu tega sekali. Masak kaki sakit seperti ini disuruh melakukan perjalanan jauh untuk mengantar surat ke Kanjeng Adipati,” jawab Si Budul sembari menunjuk kakinya yang masih berlumuran darah.
Melihat hal itu, si pemuda merasa iba. Tapi ia merasa beruntung bisa bertemu dengan bapak tua ini. Ia jauh-jauh dari pelosok desa pergi ke kadipaten ini memang untuk mencari pekerjaan.
“Bagaimana kalau saya bantu bapak untuk mengantarkan surat ini ke Kanjeng Adipati?” ujar si pemuda mencoba menawarkan diri.
“Wah, kamu baik sekali Nak. Malah kebetulan,” jawab Si Budul dengan muka berseri-seri. “Tapi aku hanya diberi bekal tiga benggol, jadi yang satu benggol untukmu, bagaimana?”
Si pemuda mengangguk gembira.
Lalu berangkatlah si pemuda itu masuk ke dalam pendopo kadipaten yang sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat Si Budul beristirahat tadi. Setelah menyampaikan keperluannya kepada para penjaga gapura, maka ia diperkenankan masuk.
“Apakah kamu sudah tahu apa isi surat ini?” tanya Kanjeng Adipati kepada si pemuda usai membuka surat itu.
“Belum Kanjeng. Jika saya sudah membacanya, nyawa saya taruhannya”, jawab si pemuda masih tetap menunduk.  
Sembari membaca isi surat itu, Kanjeng Adiputi melirik kepada si pemuda itu yang menurutnya cukup tampan dan berbudi. Ia pun melirik kepada putrinya yang duduk di sampingnya, yang mukanya kelihatan berseri-seri dan matanya berkilat-kilat menatap pemuda itu.
“Sesuai isi surat ini, Ki Demang memerintahkan agar orang yang membawa surat ini dijadikan sebagai demang pengganti dirinya, karena dia sudah cukup tua dan tidak memiliki keturunan.”
“Dan untuk mengemban tugasmu sebagai demang di sana, maka kamu akan saya nikahkan dengan putri saya ini,” titah Kanjeng Adipati.
Si pemuda sangat terkejut sekaligus senang luar biasa. Ia merasa perjalanan jauhnya tidaklah sia-sia. Dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada ibunya yang telah merestui dan mendoakan perjalanannya.
Keesokan harinya, digelarlah pesta pernikahan antara si pemuda dengan putri Adipati. Hajat berlangsung meriah dan diadakan secara besar-besaran. Para petinggi kadipaten, priyayi, abdi dalem hingga rakyat jelata bersukacita.
Sementara itu, Si Budul sedang dalam perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir. Bagaimana caranya agar nanti ia tidak dipersalahkan oleh Ki Demang, karena telah menyuruh orang untuk menyampaikan surat itu. Padahal, sebelumnya ia telah berjanji akan memberikan langsung surat itu kepada Kanjeng Adipati.
Lalu setan pun membisikinya. Ia pun merobek-robek pakaiannya dan melumurinya dengan darah yang mengucur dari kakinya. Hal ini dilakukan agar nantinya Ki Demang menyangka bahwa ia telah diserang oleh kawanan perampok atau hewan buas.
***
Ki Demang yang sedang santai di pendopo rumahnya, nampak terkejut melihat ada serombongan prajurit dari kejauhan yang sedang mengiring seseorang. “Apa itu Si Budul yang telah diangkat oleh Kanjeng Adipati menjadi demang sebagai penggantiku ya?” begitu gumamnya dalam hati.
Tapi setelah rombongan itu kian mendekati pendoponya, ternyata orang yang diiring oleh prajurit tersebut bukanlah Si Budul, tapi seorang pemuda gagah dan tampan yang berpakaian ala seorang demang. Hal ini membuat Ki Demang semakin heran.
Setelah si pemuda itu menghadap Ki Demang, berceritalah ia tentang hal ikhwal pertemuannya dengan Si Budul. Ki Demang nampak terkejut dan sedikit pucat. Padahal ia menyuruh Si Budul mengantarkan surat itu agar Kanjeng Adipati berkenan mengangkatnya menjadi demang sebagai balas budi atas pengabdiannya selama ini kepadanya. Sambil manggut-manggut ia pun berkata lirih, “Berarti Si Budul memang tidak kuat kanggonan drajat[4]”.

*) Wirausahawan


[1] Mengambil air
[2] Mata uang pada zaman Belanda
[3] Memang Ki Demang  itu sudah buta, sudah tuli
[4] Menerima kehormatan atau kemuliaan

Selasa, 11 Juni 2013

JUJUR, MODAL DASAR KEHIDUPAN



JUJUR, MODAL DASAR KEHIDUPAN
Oleh: Trimanto*)

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah dari khalifah Umar ra dengan gadis penjual susu. Pada suatu malam, Umar ra sampai di sebuah rumah yang sangat sederhana. Dari dalam rumah terdengar percakapan antara ibu dan anak perempuannya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu murni yang hendak dijual keesokan paginya dengan air agar menjadi lebih banyak. Namun si anak menolak dengan alasan bahwa khalifah Umar melarang mencampur susu murni dengan air, karena hal itu merupakan perbuatan curang.
Sang ibu tetap bersikukuh meminta anaknya mencampur susu dengan air karena merasa khalifah tidak berada di sana dan tidak melihat perbuatannya. Hingga akhirnya si anak menjawab, “Ibu, Umar memang tidak melihat kita. Namun Allah, Tuhannya Umar dan Tuhan kita mengetahui apapun yang kita kerjakan”. Singkat cerita, khalifah Umar melamar gadis itu dan menikahkan dengan putranya yang bernama Asim.
Jujur atau kejujuran, barangkali merupakan hal atau barang yang sangat langka saat ini. Terlebih pada zaman globalisasi seperti sekarang ini, di mana orientasi materi dan kedudukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Tidak sedikit orang yang ingin cepat kaya atau meraih jabatan tertentu dengan cara yang cepat, instan dan tentu tidak jujur. Ditambah lagi, ia tidak memiliki pondasi nilai-nilai agama yang kuat dalam dirinya.
Dan pada taraf tertentu, perbuatan tidak jujur sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Dilakukan banyak orang dan dilakukan di banyak tempat, bahkan dilakukan secara berjamaah. Berbuat jujur dinilai telah menyia-nyiakan kesempatan, membuang peluang yang ada, perbuatan bodoh, dicap pegawai munafik dan sebagainya. Lebih parahnya lagi, orang yang jujur malah dijauhi, dikucilkan, dan kalau perlu disingkirkan.

Penyebab Ketidakjujuran
Setidaknya ada lima hal yang mendorong manusia untuk berbuat tidak jujur. Pertama, keserakahan. Manusia yang telah dihinggapi sifat ini, akan merasa tidak pernah puas terhadap apa yang telah dimilikinya. Di sepanjang hidupnya, ia akan selalu merasa kurang. Ia akan terus mencari, mengumpulkan, dan menumpuk hal-hal yang dapat memuaskan syahwat duniawinya. Dan jika keserakahannya sudah kronis, ia akan melakukan apa saja untuk meraih keinginannya, termasuk berbuat tidak jujur.
Kedua, menganggap manusia hanyalah makhluk fisik semata. Orang yang berparadigma demikian, seumur hidupnya yang ia pikir dan usahakan hanyalah untuk kepentingan dan kebutuhan jasmaniah semata. Ia menganggap bahwa hidup hanya butuh makan, pakaian, tidur, seks, dan harta benda. Hidupnya hanya disibukkan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahwa hidup ini cuma sekali, di dunia ini saja. Hidup hanya untuk bersenang-senang, berpesta, memuaskan hawa nafsu. Pola pikir demikian bisa memicu seseorang berbuat tidak jujur.
Ketiga, mental kelangkaan (scarcity mentality). Adalah manusia yang berwatak serigala. Serigala saja tidak pernah mau memakan serigala lain, tapi manusia tega “memakan” manusia lainnya. Kisah kedengkian 10 bersaudara Nabi Yusuf as adalah contohnya. Hanya disebabkan oleh rasa kecemburuan dan iri hati, mereka rela menyakiti saudara sendiri dengan memasukkan Yusuf ke dalam sumur dan mengatakan kepada ayah mereka (Nabi Ya’qub as) bahwa Yusuf  telah dimakan serigala. Padahal serigalanya adalah mereka sendiri. Inilah bentuk kebohongan besar atau ketidakjujuran yang diabadikan dalam Al Qur’an.
Keempat, paradigma “memiliki” dan “menjadi”. Paradigma memiliki selalu menganggap bahwa kebahagiaan hidup tergantung pada apa-apa yang kita miliki. Harta-benda, jabatan, anak-istri, perusahaan, kendaraan dll. Agar memiliki lebih banyak, maka ia akan mengumpulkan dan mencari yang lebih banyak lagi. Dan jika sudah gelap mata, untuk mendapatkan semua itu bisa saja ia melakukan tindak kecurangan, penipuan, dan ketidakjujuran.
Terakhir, mengira Allah tak melihat. Biasanya inilah penyebab terbesar orang melakukan korupsi. Ketika melakukan korupsi, ia menyangka kalau tidak ada orang yang melihat. Mereka hanya takut kalau ketahuan orang, tapi tak pernah takut kalau ketahuan Allah. Ia seakan telah lupa atau malah sengaja lupa, bahwa Allah ada di mana-mana, Allah Mahamelihat setiap perbuatan kita. Padahal ia juga rajin shalat, puasa, zakat, dzikir dan ibadah-ibadah lainnya; tapi ketika melakukan korupsi, Allah dicampakkan atau dianggap tidak ada.

Mengapa kita harus jujur?
Pada hakikatnya jujur adalah fitrah manusia. Hati dan jiwa manusia tak pernah dusta. Bisikan dan rayuan setanlah yang membuat hati dan jiwa berpaling dari kebenaran. Jujur juga merupakan parameter utama kemuliaan akhlak seseorang. Serajin apapun ibadah seseorang, sepandai apapun ilmu seseorang, dan sebesar apapun harta-benda seseorang, jika ia suka berdusta maka semua itu tiada nilainya.
Seorang nabi harus punya sifat shiddiq, dapat dipercaya. Nabi Muhammad saw dipercaya Khadijah untuk menjualkan barang dagangannya ke negeri Syam karena kejujurannya. Walau ia dibenci sebagian besar penduduk Mekkah, tapi mereka tetap tak mengingkari kejujuran Muhammad. Oleh karena itu, umat Islam harus mencontoh sifat jujur yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam surat Al-Anfal: 58 Allah berfirman, “…..Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat khianat.” Dalam surat Al Baqarah: 282, secara eksplisit Allah memerintahkan kita untuk jujur dalam bermuamalah (berhubungan dengan sesama manusia di berbagai bidang).
Melakukan perbuatan jujur bagi sebagian besar orang mungkin terasa berat. Terlebih jika ia berada di lingkungan yang penuh kebohongan dan kemunafikan. Walau ia tidak ikut berbuat dusta, tapi ia memilih untuk diam, memilih untuk selamat; tanpa berani menegur atau berbuat sesuatu agar lingkungannya bisa berubah. Ini berarti bahwa jujur saja belumlah cukup, perlu keberanian untuk mengungkapkan dan mengajak orang lain.
Menyampaikan kejujuran dan kebenaran memang sangat pahit. Tidak semua orang bisa melakukannya. Diperlukan keimanan yang kokoh dan keberanian khusus, karena kejujuran seringkali memiliki risiko. Namun, sekalipun demikian, jujur adalah sifat yang mulia dan luhur. Sesuatu yang terasa pahit tapi berbuah manis. Jujur adalah modal dasar untuk meraih kepercayaan dari orang lain. Jujur juga merupakan aset berharga untuk meraih kebahagiaan hidup. Semua orang, siapapun dan di manapun ia, selalu mendambakan kejujuran. Bahkan, bagi orang yang paling jahat sekalipun, ia tetap membutuhkan seorang kawan yang jujur.
Akhirnya, siapapun kita, marilah kita berusaha untuk selalu berbuat jujur dan benar. Jika Anda seorang pejabat, maka jadilah pejabat yang tidak korup dan mengutamakan kepentingan rakyat. Jika Anda seorang pedagang atau pengusaha, jadilah pedagang yang tidak mengurangi timbangan. Jika Anda seorang penulis, jadilah penulis yang tidak menjiplak karya orang lain. Dan sebagainya.  

*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar Pena

MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?



MASIHKAH RUMAH KITA BERFUNGSI SOSIAL?
Oleh: Trimanto Ngaderi*)

Secara dasar, rumah berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas, hujan, hewan liar, atau orang jahat. Lebih dari itu, rumah adalah tempat kita melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak kita. Rumah sebagai tempat berkumpul, bercengkerama, bermain, dan berbagai aktivitas keluarga lainnya. Rumah juga kita fungsikan sebagai tempat berkumpul dengan sanak-saudara, famili, atau keluarga dekat untuk membangun silaturrahmi, komunikasi, keakraban, kasih-sayang dan sebagainya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bersifat pribadi. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap rumah sebagai benar-benar milik pribadi. Hal ini tampak pada kecenderungan orang sekarang dalam membangun sebuah rumah. Depan rumah atau beranda dipagar tinggi, dinding paling atas diberi beling atau kawat berduri, jika perlu ada anjing penunggu pintu gerbang dan juga satpam pribadi. Dan untuk memanggil yang empunya rumah harus dengan bel, bukan dengan salam atau panggilan suara khas kita.

Apakah hal tersebut semata-mata hanya untuk alasan keamanan semata? Memang seberapa banyak harta-benda yang ada di dalamnya? Seberapa terancamkah para penghuni rumah tersebut? Atau malah menunjukkan sifat penghuninya yang individualis atau antisosial?

Lalu, bagaimana dengan para tetangga atau orang lainnya yang hendak berkunjung ke rumah dengan desain seperti di atas? Tentu ada yang merasa takut (terutama dengan anjing galaknya), merasa segan, malu, tidak enak, ragu dan sebagainya. Paling banter, orang yang mau datang ke rumah tersebut hanya orang-orang yang benar-benar ada keperluan dengan si penghuni rumah, itu pun sebagian dari mereka mungkin merasa terpaksa untuk masuk ke rumah tersebut.

Rumah-rumah di Desa
Fenomena membangun rumah seperti tersebut di atas ternyata tidak saja melanda di daerah perkotaan, di pedesaan pun kecenderungan tersebut mulai ada. Dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat pedesaan atau keberhasilan mereka di daerah perantauan, mereka pun membangun rumah di pedesaan dengan dipagar tinggi atau tembok yang ada belingnya.

Rumah desa pada zaman dulu besar-besar dan luas. Selain memang bisa untuk menampung hasil panen, ruangan tengah sengaja dibuat sangat lebar (luas) agar bisa dipakai untuk acara dalam skala besar, seperti selamatan, kenduri, acara kegamaan, kumpulan, hingga acara khitanan dan pernikahan.

Para sanak saudara dan tetangga pun masih sering berkumpul di serambi atau ruang tengah, sekedar untuk ngobrol sembari menikmati teh atau ubi rebus. Tak jarang, salah seorang di antara mereka mendongeng atau bercerita. Tampak suasana yang akrab, rukun dan santai. Bahkan, ada yang sudah menganggap rumah saudara atau tetangga sebagai rumah sendiri. Mereka sering menginap atau menjaga rumahnya ketika ditinggal pergi.

Lebih dari itu, malah ada yang memfungsikan rumahnya sebagai sarana aktivitas sosial. Misalnya, tempat belajar membaca Al Qur’an, belajar kerajinan, belajar seni, tempat diskusi atau rembug desa. Orang-orang yang rumahnya berfungsi sosial, rela jika rumahnya menjadi kotor, suara berisik, istirahatnya jadi terganggu, atau harus menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya.

Bagaimanakah dengan rumah kita?
Mungkin suasana rumah yang terbuka, saling kumpul, saling bertandang, dan rumah yang berfungsi sosial sudah jarang kita temui sekarang ini; kecuali di daerah pedesaan yang masih amat terpencil dan pelosok.

Melihat kondisi seperti di atas, kita tidak bisa menyalahkan perkembangan zaman atau peningkatan taraf ekonomi semata. Kita, para manusia sebagai pemilik rumah pun punya andil terhadap perubahan tersebut. Pertama, sifat individualis. Kita merasa bahwa rumah kita adalah benar-benar milik kita pribadi. Milik privat. Kita kurang suka jika ada yang datang, apalagi hanya sekedar untuk silaturrahmi atau ngobrol, tidak ada keperluan tertentu. atau kita hanya menemui tamu kita di depan atau beranda rumah. Atau kita tahu jika di beranda rumah kita ada yang berteduh karena kehujanan, tapi kita enggan untuk mengajaknya masuk ke rumah.    

Kedua, berorientasi pada materi. Kita lebih suka menjadikan ruang tamu atau ruang depan sebagai kios, toko, atau tempat usaha; atau menyewakan kamar atau rumah kosong kita kepada orang lain, daripada memberikan kepada saudara kita yang belum punya rumah. Kita juga sering menolak jika ada pengemis atau peminta sumbangan yang datang ke rumah kita. Apalagi jika rumah kita difungsikan secara sosial, tentu akan dianggap merugikan atau tidak memberikan keuntungan materi.

Ketiga, rumah dianggap sebagai tempat tinggal semata. Walaupun rumahnya bagus dan besar, megah dan mewah, lengkap dengan sarana seperti taman, kolam renang, kebun dan sebagainya; rumah tak lebih dari sekedar tempat istirahat, tempat berteduh, tempat eksistensi dan status sosial, tempat mampir kalau kita sangat sibuk di luar. Rumah belum bisa berfungsi sebagai tempat berkumpul dan menjalin kebersamaan, media pendidikan dan pembelajaran, apalagi sebagai ruang sosial yang bermanfaat bagi orang banyak.

Fungsi rumah dulu dan sekarang sudah mengalami banyak pergeseran. Banyak yang telah hilang dan berubah dari keberadaan rumah kita. Dan jika sekarang masih ada rumah yang berfungsi sosial, itu suatu hal yang patut dibanggakan. Rumah yang bisa memberi makan orang yang lapar, memberi ilmu bagi orang yang bodoh, tempat melatih keterampilan, tempat yang nyaman dan damai bagi yang sedang punya masalah. Semoga rumah kita termasuk dalam kategori ini. Amin.

*) Penulis, Wirausahawan, Pegiat Forum Lingkar Pena