Cari Blog Ini

Rabu, 12 Maret 2014

10 TIPS MEMPERERAT CINTA SUAMI-ISTERI



Artikel
10 TIPS MEMPERERAT CINTA SUAMI-ISTERI
Oleh: Trimanto*)

Cinta merupakan sesuatu yang abstrak dan menyangkut perasaan manusia. Cinta bukanlah pada pandangan pertama, apalagi hanya didasarkan pada penampilan fisik, kepemilikan harta, atau status sosial.
Cinta sejati adalah sebuah proses. Sesuatu yang mesti dirawat dan dipelihara. Ibarat tanaman, perlu disiram dan diberi pupuk. Cinta hakiki tidak datang begitu saja. Butuh kehendak bersama untuk membangun dan membesarkan. Lebih dari itu, dibutuhkan kesungguhan dan juga pengorbanan.
Berikut ini akan disampaikan tips-tips yang bisa dilakukan agar cinta di antara pasangan suami-isteri semakin erat dan langgeg, sesuai yang diajarkan oleh Islam dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw:

1)      Menampakkan Wajah yang Ceria
Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Nabi saw. bersabda:
Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria.[H.R. Muslim]
Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut, sedih atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang berkata atau melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar.        
Kewajiban atas suami atau istri adalah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh kecintaan. Firman Allah swt:
“… Pergaulilah mereka dengan baik…(An Nisa’: 19)
Sabda Nabi saw yang lain:
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.” [H.R. Tirmidzi]

2)      Berkata yang Baik
Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan dan membangkitkan semangat. Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Kata-kata lebih tajam daripada pisau. Tusukannya akan terasa lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik. Dan luka bekas kata-kata yang buruk akan sangat lama sembuhnya, bahkan seumur hidup tak bisa dilupakan.
Sebuah hadits mengatakan, “Fal yaqul khairan au liyas muut” (Berkatalah yang baik atau diamlah).


3)      Mengkhususkan Waktu Duduk Bersama
Jangan sampai antara suami dan isteri sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga tidak ada waktu lagi untuk duduk bersama. Rasulullah saw pernah menasihati Amr bin Ash, ketika ia disibukkan dengan shalat malam dan puasa sunnah, sehingga lupa dan lalai terhadap istrinya.
Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak.[Muttafaqun ‘alaihi]
Diperintahkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.
Rasulullah saw. bersabda:
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.[H.R. Tirmidzi]

4)      Saling Memberi Hadiah
Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.
Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang isteri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh isterinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadian meski sederhana.
Sabda Nabi saw: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”

5)      Memberikan Penghormatan dengan Hangat kepada Pasangan
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah, ataupun ketika pulang. Penghormatan itu, hendaklah dilakukan dengan mesra.
Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah saw. mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.
Sedangkan pada sebagian orang, ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat.
Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang telah disetrika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.

6)      Melakukan Tugas-tugas Ringan secara Bersama
Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar. Nabi saw memberi contoh dalam hal ini. Ia melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya.
Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan menggendong, memandikan atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.

7)      Memuji Pasangan dengan Tulus
.Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk dipuji -dalam batas-batas yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan, bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar ra pernah dipuji, dan dia berdo’a kepada Allah: “Ya, Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui”.
Perkatanan ini juga diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau dipuji-puji oleh seseorang di hadapan manusia. Beliau menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.
Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya di hadapan orang lain. Termasuk jika masakan isteri kurang sedap, maka jangan dicela.

8)      Adanya Keterbukaan
Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.

9)      Berempati pada Pasangan
Rasulullah saw.bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam”.
Ini berlaku secara umum kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring di tempat tidur, isteri tertawa-tawa di sampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.

10)  Rekreasi Berdua Tanpa Anak
Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi jenuh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri.
Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! Kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.

Referensi:
·         Lautan Cinta, Fariq Gasim Anuz, Darul Qolam, Cet. I, Th. 1426H/2005M
·         Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.

*) Penulis lepas dan bergiat di Forum Lingkar Pena


Senin, 27 Januari 2014

WELCOME TO 17th FLP



WELCOME TO 17th FLP


Tanggal 22 Februari 2014 besok, FLP genap berusia 17 tahun. Sweet seventeen-lah untuk istilah remaja sekarang. Usia remaja akhir atau menginjak usia dewasa. Wow, tidak berasa, sudah selama itu FLP berdiri.
Dalam perjalanan panjangnya itu, banyak hal yang telah dicapai, akan tetapi lebih banyak hal lagi yang belum tercapai. Kalau untuk anak mereka sebentar lagi akan dewasa, maka apakah FLP juga sudah dewasa? Dewasa dalam pengelolaan organisasi; dewasa dalam pendanaan, dewasa dalam karya, dewasa dalam partisipasi pembangunan bangsa; dan serta sederetan dewasa-dewasa lainnya.
Kita tidak akan menutup mata dengan berbagai prestasi, penghargaan, dan capaian yang telah diraih selama ini. Namun, tujuh belas tahun telah berlalu. Dan selama itu pula kita masih disibukkan dan berkutat pada masalah-masalah klasik seperti pengurus tidak aktif-lah, kegiatan vakum, tidak ada dana-lah, komunikasi dan koordinasi antarcabang-wilayah-pusat yang belum klop, dan berbagai persoalan klise lainnya.
Semuanya berulang, dan terjadi berulang-ulang. Akan sampai kapan? 5, 10, 15, 25, atau bahkan 50 tahun lagi.
Kita sebenarnya punya potensi dan sumber daya yang besar untuk mencapai kemajuan, bahkan menjadi sebuah pergerakan perubahan. Tapi potensi dan sumber daya itu belum dikelola secara baik dan optimal. Seharusnya, umur tujuh belas tahun adalah saatnya untuk EKSTENSIFIKASI. Lha ini, intensifikasi (urusan internal) aja hampir tak pernah beres dan selesai.

FLP Pusat sebagai Kunci
Sebagai pemegang “kekuasaan” dan koordinasi tertinggi, Pusat sudah semestinya menjadi penggerak kemajuan. Menyaring berbagai aspirasi dari wilayah maupun cabang sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan yang bersifat nasional.
Agar fungsi komunikasi dan koordinasi bisa berjalan dengan baik, Pusat seyogyanya sering berkunjung ke wilayah atau cabang (syukur terjadwal) untuk mengetahui kondisi riil dan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Hal ini akan lebih mendekatkan Pusat dengan wilayah-cabang. Jadi, Pusat tidak sekedar “mitos”, tapi nyata dan berbuat sesuatu.
Bahkan, ada cara yang lebih mudah dan murah (malah bisa gratis) untuk membangun kedekatan, misalnya lewat SMS, BBM, inbox dll. Misalnya bisa bertanya: Bagaimana kabar FLP anu, apa kegiatannya, apa kendalanya, apa yang perlu dibantu, dan berbagai bentuk perhatian lainnya.
Lebih dari itu, syukur-syukur ada perhatian secara personal kepada pengurus atau anggotanya. Misalnya saja, ada pengurus Pusat yang menanyakan kabar Ketua FLP Solo lewat SMS. Wah, ini kan luar biasa banget (tapi sayangnya tidak ada, hehe….:)). Hal sepele dan remeh-temeh, tapi dampaknya besar.

*****
Tidak perlu berpanjang kata atau banyak berteori. Intinya kita semua berharap kepengurusan baru FLP Pusat dan semua FLP wilayah-cabang di seluruh Indonesia dan dunia bisa membawa perubahan dan kemajuan yang berarti, minimal untuk internal FLP; terlebih lagi bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Jikalau hal ini bisa diwujudkan, sangat layak kita mengucapkan “sweet seventeen” untuk FLP, bukannya “bitter seventen”. (Trimanto)


Selasa, 31 Desember 2013

REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP



REFLEKSI AKHIR TAHUN: THANKS TO FLP


Adakalanya rasa syukur itu disimpan dalam hati dan tidak diungkapkan; adakalanya diekspresikan lewat kata-kata; dan ada pula yang diawujudkan dalam tindak-laku perbuatan. Nah, melalui tulisan ini, aku ingin sekali mengungkapkan rasa syukurku kepada FLP lewat untaian kata dan kalimat.

Dulu, sebelum aku bergabung di FLP Depok, aku orangnya sangat pemalu dan minderan. Bertemu dengan orang yang lebih kaya atau lebih pandai aku minder. Berbicara di depan umum juga malu dan tidak percaya diri. Aku merasa lebih rendah dari orang lain. Merasa banyak kekurangan, merasa tidak mampu, dan berbagai atribut negatif lainnya.

Akan tetapi, setelah bergabung di FLP (2006) dan tiga tahun kemudian dijadikan pengurus – walau sebenarnya aku ini belum bisa nulis “beneran” – telah merubah segalanya. Percaya diri meningkat (terkadang over-pede malah, hehe…), diminta berbicara di depan hayuk aja (yang penting berani dulu to).

Lebih dari itu, setelah melewati perenungan yang panjang, ternyata menjadi orang itu yang benar haruslah rendah hati, bukan rendah diri. Berhadapan dengan siapapun tidak boleh merasa minder atau rendah diri. Keyakinan ini lama-kelamaan membentuk konsep diri aku yang utuh. Bahwa manusia ini sejajar-setara, yang membedakan hanyalah ilmu dan amalnya (Islam = taqwa). Sehingga kalau aku ketemu pejabat kek, kyai-lah, guru besar, pakar, atau apalah, aku menempatkan diri setara dengannya.

Yang tak kalah penting adalah dengan gabung di FLP aku bisa belajar banyak hal dan belajar kepada banyak orang. Jika boleh menyebut di antaranya: dengan Taufan E. Prast bisa belajar bagaimana menikmati dan memaknai hidup ini secara sederhana sekaligus benar; dengan Yanuardi Syukur bisa belajar bagaimana menjadi seorang “priyayi” terpelajar; dengan M. Irfan Hidayatullah belajar akan kelembutan dan kehalusan budi; dengan Pipiet Senja meneladani semangat hidup dan perjuangan; dan masih banyak lagi.

Dengan FLP Hongkong belajar soal kerja keras dan  pengorbanan; dengan FLP Ciputat belajar tentang konsep nasionalisme, demokrasi dan pluralisme (tiga kata yang terkadang cukup “sensitif” di FLP).

Pokoknya banyak hal dech yang sudah aku dapatkan di FLP dan banyak perubahan hidup pada diriku. Terima kasih FLP, terima kasih semuanya.

Menjadi Pengurus FLP
Menjadi pengurus FLP tidaklah mudah, tapi juga tidaklah sulit. Memang, butuh niat dan pengorbanan. Pengalaman menjadi pengurus cabang, pengurus wilayah, dan kemudian pengurus cabang lagi (harusnya naik pangkat jadi pengurus pusat ya, hihi…) membuatku memiliki sudut pandang yang berbeda terkait amanah di FLP.

Doktrin-doktrin seperti ingin berdakwah, ladang amal, pahala atau semacamnya; sepertinya tidak lagi ampuh agar seseorang mau menjadi pengurus atau berbuat sesuatu untuk FLP. Dalam berbagai bidang kehidupan, biasanya motif ekonomi dan disusul kemudian motif sosial lebih dominan daripada sekedar motif agama. Motif agama bersifat abstrak dan tidak bisa dinikmati saat ini, terlebih di zaman yang cenderung hedonistik dan materialistik ini. Bukti nyata adalah banyak FLP yang tidak aktif, mati suri, antara ada dan tiada, gonta-ganti pengurus, besar di permukaan.

Sebagai perbandingan, mengapa motif agama tidak begitu menarik adalah dalam hal sebaliknya, yaitu banyak orang yang tak lagi takut dosa, siksa, neraka, adzab dll walau ia seorang tokoh agama sekalipun (kasus korupsi).

Kembali ke laptop, eh kembali ke FLP. Kalau aku sendiri yang saat ini dijadikan ketua (walau aku sudah menolak sedemikian rupa, tapi sedikit “diperkosa”), ya yang jelas aku lebih mengutamakan kepentingan keluargaku dululah, soalnya kalau mengabaikan mereka aku kan bisa berdosa; sedangkan kalau menomorduakan FLP paling di-unek-unekke thok.

Penumpang Gelap
Kita sih sudah pada sepakat kalau FLP itu gerakan dakwah bil qalam, memberikan pencerahan, kampanye gemar membaca-menulis dan semacamnya. Tapi menurutku, jika ada yang punya motif politik di FLP, ya bisa jadi. Dalam pandangan “mata batin” ku kiranya adalah yang seperti itu. Ibarat satu gerbong yang disusupi penumpang gelap.

Menarik juga akhir-akhir ini FLP sering dihubung-hubungkan dengan parpol tertentu. Bahkan ada yang berani menyatakan “hampir 100% pengurus BPP adalah kader partai tertentu”. Kok tanggung amat, kok nggak dibilang sekalian “hampir 100% pengurus FLP cabang dan wilayah di Indonesia dan luar negeri adalah kader partai tertentu” (jadi pingin mengucapkan amin 1000x dah J).

Pastinya kalau sering disebut-sebut gitu tetap ada dampak positifnyalah bagi partai tersebut. Walupun kader partai itu sedang ada noda atau koreng, paling tidak nama partai itu menguat di memori dan makin mudah diingat, dan suatu saat nanti noda atau koreng tadi akan dilupakan orang.

Kekhawatiran akan adanya "pekaesisasi" di tubuh FLP sepertinya terlalu berlebihan, tapi bisa juga benar adanya. Berlebihan karena orang-orang FLP pintar dan cerdas, tentu tidak mudah dipengaruhilah. Bisa benar jika para “penumpang gelap” itu melakukan gerakan bawah tanah, aksi laten, atau pandai menjadi bunglon.

Terlepas dari semua itu, aku pribadi sangat senang dengan dunia politik.

Akhir kata, selamat memasuki tahun 2014 ya. (Trimanto)

Jumat, 06 Desember 2013

MERAJUT ASA PADA IRMAN GUSMAN



MERAJUT ASA PADA IRMAN GUSMAN


Siapa yang tak mengenal tokoh yang satu ini. Pria kelahiran Padang Panjang, 11 Februari 1962 ini sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2009-2014. Dialah Irman Gusman, alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Perusahaan, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dan S2 Majoring in Marketing School of Business, University of Bridgeport, Connecticut, USA. Sebagai tokoh kebangsaan, banyak sudah peran yang telah dilakukannya, baik dalam bidang politik, bisnis, sosial keagamaan, maupun pendidikan.

Di bidang politik, ia mengawali karirnya ketika terpilih menjadi anggota MPR tahun 1999 dari utusan daerah melalui fraksi TNI/Polri. Pada pemilu 2004, dialah yang mencetuskan gagasan untuk membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di MPR, dan terpilih menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Sumatera Barat dan menjadi Wakil Ketua DPD RI . pada tahun 2009, ia terpilih kembali menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Sumatera Barat dan menjadi Ketua DPD RI.

Selain itu, Irman juga menjadi penggagas sistem politik dua kamar (bikameral), yaitu praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Termasuk menjadi salah satu pejuang perubahan dalam sistem ketatanegaraan bangsa Indonesia, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung oleh rakyat, pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode dan pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Begitu banyak peran dan jasa yang telah diberikan Irman kepada bangsa ini, sehingga sudah sepatutnyalah kita sebagai putra daerah berharap banyak kepadanya. Harapan akan adanya perubahan besar di daerah, kemajuan pembangunan, termasuk percepatan di daerah-daerah tertinggal dan perbatasan.

Sebagai warga daerah Jawa Tengah khususnya, saya pun menambatkan asa kepada beliau. Pulau Jawa yang secara umum lebih padat penduduknya dan lebih maju pembangunannya; bukan berarti harus luput dari perhatian dan dinomorduakan. Sebab di Pulau Jawa masih banyak penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, tinggal di pelosok dan tertinggal, serta minim prasarana dan sarana kehidupan. Makanan pokok yang belum terpenuhi secara baik, tidak mampu melanjutkan pendidikan, biaya berobat yang tidak terjangkau, dan masalah-masalah sosial yang kian kompleks adalah beberapa PR yang mesti segera pemerintah tangani.

Termasuk masalah perimbangan pembangunan antara di pesisir pantai (utara dan selatan) dan daerah pedalaman (pegunungan) dengan kota-kota besar dan daerah-daerah trans-Jawa.  Juga terkait pemerataan ekonomi dan infrastruktur yang berbeda antara kabupaten/kota yang satu dengan kabupaten/kota lainnya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, demi tercapainya pembangunan nasional yang adil dan merata, maka sudah seyogyanya dimulai dari membangun daerah-daerah. Untuk ide otonomi daerah dan desentralisasi dalam berbagai bidang yang dipelopori Irman Gusman diharapkan mampu mendongkrak semangat daerah untuk membangun diri dan maju bersama serta mengejar ketertinggalan dari daerah lain.

Daerah-daerah sangat membutuhkan sumbangsih pemikiran dan cita-cita yang secara konsisten ditunjukkan oleh Irman sebagai bentuk pengabdiannya pada bangsa selama ini. Dengan DPD RI yang dibentuknya, semoga dapat mempercepat pembangunan di daerah.

Dalam “Jiwa yang Merajut Nusantara” buku yang ditulisnya dan diluncurkan dalam memperingati setengah abad usianya di Hotel Sahid Jaya Jakarta, suami dari Liestyana Rizal ini mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan politiknya di pentas politik nasional, usahanya dalam menyempurnakan tatacara pengelolaan negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta partisipasinya dalam dinamika demokrasi dalam 12 tahun terakhir.

Dan ketika jiwa Irman Gusman terpanggil untuk “merajut Nusantara” demi masa depan Indonesia yang lebih baik, maka tidak berlebihan jika kami dari daerah berharap banyak kepadanya untuk memberikan ide dan gagasannya serta melakukan tindakan nyata demi perubahan dan kemajuan daerah. Semoga!

(Trimanto B. Ngaderi)